Chapter 28 : Desperately in Love

1.2K 62 2
                                    

Aku sakit hati melihat suamiku terluka seperti itu, Kinan! Aku tidak tega!

******


AUTHOR POV

Bram berjalan memasuki  rumahnya yang sepi. Senyap, tidak ada suara apapun kecuali suara nyamuk—Itupun kalau dia lewat. Yang terdengar hanyalah suara mesin pengharum  ruangan yang menyala setiap 15 menit sekali. Hanya suara itu, selebihnya tidak ada. Hening, begitu sunyi. Tanpa ada suara  yang menyambutnya.



"Ayah pulang."


Bram menghentikan langkahnya ketika suara itu terngiang dikepalanya.
"Yaaay Ayahku pulang."

Ia mendongkakkan  kepalanya, melihat dihadapannya terdapat sosok anak laki-laki berdiri  dengan mengenakan piyama motif luar angkasa sambil memeluk teddy bear.  Bocah lelaki itu begitu menggemaskan. Walaupun wajahnya terlingat  mengantuk, ia tetap berusaha menyunggingkan senyum kearah Bram yang baru  pulang kerja.
Senyum anak itu memudar ketika ia mulai menguap,  matanya yang semakin mengantuk ia kucek dengan tangannya yang ia kepal.  Ia kembali menatap kearah Bram.

"Ayah, aku udah ngantuk. Ayah bobo sama aku yah."

Sebulir air mata jatuh  membasahi pipinya yang mulai ditumbuhi jenggot halus. Dadanya terasa  begitu sesak. Ia menutup mulutnya untuk menahan isakannya yang hendak  keluar. Sebulir air mata itu pun semakin deras dan berubah menjadi  tangisan menyayat hati.

Ia mengusap wajahnya  hingga kerambut belakangnya. Tangannya ia kepal lalu digigitnya kepalan  itu agar isakannya tidak membangunkan istrinya yang sedang berada  dirumah.
Kakinya mulai terasa begitu lemah untuk ia topang. Ia  melangkah mendekati kursi dihadapannya namun rasanya kursi itu begitu  jauh hingga ia tak sanggup lagi untuk melangkah dan terjatuh duduk  dilantai. Ia menekuk kedua kakinya dan menenggelamkan kepalanya diantara  lututnya.

Meringkuk. Meringkuk seperti janin yang ada didalam perut ibunya. Seperti menahan rasa dingin yang menembus kulit.

Isakan yang sudah tidak  dapat ia tahan lagi perlahan-lahan mulai terdengar. Suaranya   terdengar pilu, siapapun pasti bisa ikut merasakan kesedihannya.

Inilah titik  terlemahnya. Titik paling lemah dalam hidupnya. Setelah sekian tahun  menahan, menampung ribuan pertanyaan tentang 'kapan punya anak?',  menampung kesedihan melihat saudara sepupu atau sahabat sudah  menggendong anak sendiri, menampung kerinduan begitu mendalam, dan  menampung harapan yang begitu besar akhirnya tumpah ruah menjadi  tangisan pilu.

Pada akhirnya dia tidak  bisa menampung segalanya sendirian. Sekuat-kuatnya dia, dia tetaplah  manusia biasa. Yang tidak bisa menahan segalanya seorang diri.  Wajahnya yang tampan mungkin bisa menipu, dan senyumnya yang memikat hanyalah tameng untuk menutupi semua raut kesedihan dan seluruh jungkir balik kehidupannya yang pelik.

Bram tidak bisa, tidak  bisa lagi menghadapi semua itu. Tidak bisa menyimpan semua itu seorang  diri. Kepada siapa ia harus bercerita jika orang lain hanya  terus-menerus memberikan nasehat yang sama berulang kali? Harus berapa  kali lagi ia berdoa kepada Tuhan yang hingga sekarang tidak mendengar  doanya?

Sebuah usapan lembut  dipunggunggnya membuat Bram mengangkat kepalanya, ia mendongkak dan  menatap istrinya yang ikut merasakan kesedihannya.

Tidak Bram semakin tidak bisa. Tatapan istrinya membuatnya semakin lemah.

Ia segera memeluk istrinya begitu erat, menenggelamkan wajahnya pada cekukan leher Sarah dan menangis sejadi-jadinya.

Sarah yang mendengar  suara isakan tangis dari luar kamarnya segera keluar, dan begitu ia  keluar ia mendapati suaminya duduk meringkuk dilantai sambil menangis.

Semerdu Tangisan BayiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang