Aku sakit hati melihat suamiku terluka seperti itu, Kinan! Aku tidak tega!
******
AUTHOR POV
Bram berjalan memasuki rumahnya yang sepi. Senyap, tidak ada suara apapun kecuali suara nyamuk—Itupun kalau dia lewat. Yang terdengar hanyalah suara mesin pengharum ruangan yang menyala setiap 15 menit sekali. Hanya suara itu, selebihnya tidak ada. Hening, begitu sunyi. Tanpa ada suara yang menyambutnya.
"Ayah pulang."
Bram menghentikan langkahnya ketika suara itu terngiang dikepalanya.
"Yaaay Ayahku pulang."Ia mendongkakkan kepalanya, melihat dihadapannya terdapat sosok anak laki-laki berdiri dengan mengenakan piyama motif luar angkasa sambil memeluk teddy bear. Bocah lelaki itu begitu menggemaskan. Walaupun wajahnya terlingat mengantuk, ia tetap berusaha menyunggingkan senyum kearah Bram yang baru pulang kerja.
Senyum anak itu memudar ketika ia mulai menguap, matanya yang semakin mengantuk ia kucek dengan tangannya yang ia kepal. Ia kembali menatap kearah Bram."Ayah, aku udah ngantuk. Ayah bobo sama aku yah."
Sebulir air mata jatuh membasahi pipinya yang mulai ditumbuhi jenggot halus. Dadanya terasa begitu sesak. Ia menutup mulutnya untuk menahan isakannya yang hendak keluar. Sebulir air mata itu pun semakin deras dan berubah menjadi tangisan menyayat hati.
Ia mengusap wajahnya hingga kerambut belakangnya. Tangannya ia kepal lalu digigitnya kepalan itu agar isakannya tidak membangunkan istrinya yang sedang berada dirumah.
Kakinya mulai terasa begitu lemah untuk ia topang. Ia melangkah mendekati kursi dihadapannya namun rasanya kursi itu begitu jauh hingga ia tak sanggup lagi untuk melangkah dan terjatuh duduk dilantai. Ia menekuk kedua kakinya dan menenggelamkan kepalanya diantara lututnya.Meringkuk. Meringkuk seperti janin yang ada didalam perut ibunya. Seperti menahan rasa dingin yang menembus kulit.
Isakan yang sudah tidak dapat ia tahan lagi perlahan-lahan mulai terdengar. Suaranya terdengar pilu, siapapun pasti bisa ikut merasakan kesedihannya.
Inilah titik terlemahnya. Titik paling lemah dalam hidupnya. Setelah sekian tahun menahan, menampung ribuan pertanyaan tentang 'kapan punya anak?', menampung kesedihan melihat saudara sepupu atau sahabat sudah menggendong anak sendiri, menampung kerinduan begitu mendalam, dan menampung harapan yang begitu besar akhirnya tumpah ruah menjadi tangisan pilu.
Pada akhirnya dia tidak bisa menampung segalanya sendirian. Sekuat-kuatnya dia, dia tetaplah manusia biasa. Yang tidak bisa menahan segalanya seorang diri. Wajahnya yang tampan mungkin bisa menipu, dan senyumnya yang memikat hanyalah tameng untuk menutupi semua raut kesedihan dan seluruh jungkir balik kehidupannya yang pelik.
Bram tidak bisa, tidak bisa lagi menghadapi semua itu. Tidak bisa menyimpan semua itu seorang diri. Kepada siapa ia harus bercerita jika orang lain hanya terus-menerus memberikan nasehat yang sama berulang kali? Harus berapa kali lagi ia berdoa kepada Tuhan yang hingga sekarang tidak mendengar doanya?
Sebuah usapan lembut dipunggunggnya membuat Bram mengangkat kepalanya, ia mendongkak dan menatap istrinya yang ikut merasakan kesedihannya.
Tidak Bram semakin tidak bisa. Tatapan istrinya membuatnya semakin lemah.
Ia segera memeluk istrinya begitu erat, menenggelamkan wajahnya pada cekukan leher Sarah dan menangis sejadi-jadinya.
Sarah yang mendengar suara isakan tangis dari luar kamarnya segera keluar, dan begitu ia keluar ia mendapati suaminya duduk meringkuk dilantai sambil menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semerdu Tangisan Bayi
Roman d'amourHatiku juga tak kalah hancur, ketika secara terus-menerus mendengar bisikan yang lama-lama membuat panas telinga. Apakah harus kerap menangis saat semua pergi? Dan lagi-lagi tak ada seorang pun yang mampu memahami itu. Tapi semakin aku terluka, se...