IX. Sang Putri dan Kesatria para Setan [1]

212 31 4
                                    

Dan-alias Dadang curiga, kenapa Alsava mulai membelot padanya.

Semua bermula pada acara jalan-jalan mereka yang formal sekaligus terkesan kaku dan memaksa. Dadang-seperti biasa-membujuk Alsava lewat ibunya, dan anak itu biasanya tidak akan pernah menolak permintaan sang nyonya besar. Beberapa kali mereka jalan, hanya pemberontakan remaja yang Dadang dapatkan. Mulai dari permintaan aneh Alsava untuk berkubang di toko buku, menonton film-film absurd, atau minta traktir dengan porsi jumbo. Kadang hari lain Alsava hanya diam tidak mau bicara dan terus menjawab 'terserah' saat ditanya mau ke mana.

Tapi akhir-akhir ini Alsava makin membangkang. Berapa kali pun ibunya meminta, gadis itu akan berkeras kepala dan menandaskan setiap ajakan Dadang dengan:

"Maaf, aku harus mengerjakan PR."

Titik. Tapi bagi ibu Alsava, itu masih koma yang harus dilanjut. "PR bisa dikerjakan nanti malam."

"Terus aku jadi bodoh, nilai anjlok, dan peringkat turun, begitu?"

"Ibu cuma mau kamu mengenal Dan."

"Tapi bukan begini caranya," jawab Alsava, halus. Saat itu mereka tengah berada di ruang keluarga dengan tiga cangkir teh dan bertoples-toples biskuit. Silatuhrami rutin.

"Lantas, bagaimana? Kamu selalu menghindari dia."

"Karena aku punya prioritas lain. Tugas pelajar ya belajar. Nilai untukku adalah segalanya."

"Alsa ...."

"Bu, aku capek. Aku pengin istirahat. Jalan-jalan itu bisa kapan saja. Kami masih terikat juga. Gak akan ke mana-mana."

"Tapi ibu takut, kamu akan jatuh cinta pada laki-laki lain."

Kedua bola mata Alsava bergulir ke samping. Sangat jelas muak, tapi tetap berusaha tersenyum, dan jadi anak yang penurut. Ia bukan lagi pengabdi yang hanya menaati tiap titah ibunya. Dadang dapat menilai, gadis itu semakin lihai mempermainkan kata-kata ibunya.

"Aku gak akan jatuh cinta pada laki-laki lain. Selama Dadang-Dan masudku, layak. Kenapa tidak? Ya, 'kan?" Alsava melemparinya senyuman maut. Senyum yang berkata: lihat besok, gue bakal ngancurin hari-hari lo.

"Saya akan berusaha sebaik mungkin. Perasaan tidak bisa dipaksa, butuh proses."

"Nah." Alsava melanjutkan. "Semua butuh proses, Bu. Pelan-pelan, tidak usah terburu-buru."

Wanita paruh baya itu mendesah pasrah. "Ibu cuma mau yang terbaik untukmu, Alsa. Kamu satu-satunya anak ibu. Ibu hanya lega jika kamu nanti menikah dengan Dan. Cukup ibu yang merasakan pahitnya pilihan sendiri. Perceraian itu ... lumayan menguras perasaan."

Alsava mengelus punggung tangan ibunya, simpati. "Iya, aku paham."

****

Adrian menggerutu setengah mati. Setengah hidupnya lagi, sedang kebingungan tatkala ketua kelasnya mengumumkan bahwa seminggu yang lalu, Pak Arman selaku guru biologi berkata akan mengadakan ulangan harian.

"Nilainya lumayan, cukup buat nentuin kita lulus KKM apa gak."

Arrghh! Adrian semakin kalut. Kalau begini, rasanya ia ingin mengubur diri hidup-hidup, atau memakan anak orang. Yang mana pun, Adrian cuma ingin melampiaskan rasa berat di pundak dan kepalanya.

"Yan, bukannya meremehkan, tapi nilai lo semester lalu parah semua." Ketua kelas-yang juga sebangsa kaum Adrian namun lebih beradab, bersabda, "Nanti gak naik kelas."

Kalimat itu sontak menohok jantung Adrian hingga laki-laki itu menegakkan duduknya. Teringat di kepala Adrian akan memori masa SMP, masa di mana Adrian hanya seorang Adrian biasa, yang dikatai gajah, babi lumpur, dan peranakan bison.

Between Bad Boy and Fiancè [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang