XIIV. Perjanjian Terakhir

123 6 0
                                    

Beberapa hari kemudian, setelah mendengar penuturan Aya. Alsava pun paham. Adrian kini sudah sadar dan bisa berjalan walau harus dibantu kruk dan terpincang-pincang. Kadar toleransi rasa sakitnya seimbang dengan kekebalannya yang tidak mau istirahat lama-lama di kamar perawatan. Sebaliknya, Dadang masih terkapar lemah dan belum sadar dari tidurnya.

Tubuh Dadang hancur lebur, perban di dadanya, patah di tangan, collar neck membungkus leher, dan memar di kepala. Seluruh hidupnya bertopang pada kanula oksigen, layat elektrokardiogram, dan cairan infus. Seketika Alsava merasa kasihan.

Pria itu ... sejak awal mengorbankan segala-galanya untuk seseorang yang ia cintai. Dadang tidak jahat, hanya saja ia salah cara untuk menyelamatkan kekasihnya. Apapun akan saya lakukan untuk mengembalikan senyumannya, kalimat itu pernah Alsava dengar dan menjadi awal mula konfrontasi mereka.

Sekarang Alsava paham. Senyum Aya, gadis manis yang kehilangan rambut, rona di wajah, dan daging di balik kulitnya—orang yang Dadang sayangi sepenuh hati melebihi kasihnya pada siapa pun.

Siapa pun akan berlaku gila jika orang yang dicintainya perlahan sekarat dimakan penyakit mematikan.

Namun, Aya tegar. Tidak sedikit pun ia mengutuk sakitnya. Justru keselamatan Dadang-lah yang membuatnya was-was. Sorot khawatir terpancar jelas ketika wanita tersebut mengulurkan tangan ke wajah Dadang, mengelusnya, menyentuh memar demi memar dengan lembut: seperti kaki peri melangkan di atas permukaan danau tanpa menimbulkan riak.

“Dia laki-laki terbodoh sekaligus paling berani yang pernah kutemui,” celetuk Aya. Tubuhnya membungkuk, mengecup hidung dan dahi Dadang. Lamat-lamat, bibir pucat itu menyesap penyesalan berbalurkan air mata. Aya menangis.

Hati Alsava semakin perih. Adrian menenangkannya dengan menggenggam tangan Alsava erat-erat. “Gak apa-apa.” Dibanding Dadang, Adrian hanya mengalami luka ringan dan retak di lengan kanan. Masih sadar dan mampu berjalan.

“Kalau nyokap lo nanya kenapa, lo jawab apa?”

Adrian terdiam, agak bingung dengan pertanyaan mendadak tersebut. “Gue bilang habis berantem. Selesai.”

“Kalau Pak Dadang kenapa-kenapa, bokap nyokapnya bakal peduli gak?” Tatapan Alsava menerawang ke depan. Berkabut, ada air mata menggumpal di pelupuk matanya. “Gue kasihan. Selama ini gue ngira dia cuma orang tamak. Gue gak peka.”

Adrian mendesah, “Bukan salah lo. Pak Dadang juga gak mau cerita.”

“Pantas Pak Dadang marah banget ke gue. Gue emang anak manja.” Alsava menghapus air matanya dengan lengan baju. “Gue ngerasa bersalah, aneh.”

“Kasihan ke diri sendiri gak bakal bikin Pak Dadang sehat. Mending kita keluar.”

Alsava mengangguk. Namun, baru dua langkah mereka beranjak. Dadang tiba-tiba mengerang. Kedua tangannya bergerak terangkat, seolah mencari sesuatu. Kedua matanya terbuka separuh, seperti orang mengantuk. Ada ringisan nyeri ketika ia mencoba duduk, dan Aya segera mencegahnya bergerak lebih jauh.

“A-air,” pinta Dadang. Aya segera mencari-cari di nakas. Tidak ada apa-apa. Ruangan sempit berisi satu ranjang dan kamar mandi dalam itu baru saja mereka masuki.

“Gue yang beli.” Adrian keluar kamar. Sedetik kemudian, kepalanya muncul seperti jamur di balik pintu. “Diem di sini ya, jangan ke mana-mana.”  Ia menunjuk Alsava.

“Iya, gue gak bakal lari kok.” Alsava tersenyum. Adrian balas dengan senyum yang lebih manis.

“Kalian ... kenapa masih di sini?” tanya Dadang, suaranya parau dan kering. Aya masih di sampingnya, berusaha menenangkan. “Ay, kamu seharusnya istirahat. Sudah saya bilang, jangan pergi sendiri. Siapa yang menemanimu ke sini? Kenapa, kenapa menangis? Siapa yang membuatmu sedih?” Dadang menjulurkan jari telunjuknya, berusaha menghapus basah dari pipi kekasihnya.

Between Bad Boy and Fiancè [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang