IV. Reputasi

285 38 11
                                    

Pelan, Alsava memasuki kelas barunya. Sudah beberapa hari ia berada di kelas itu dan berusaha beradaptasi dengan iklimnya. Meski masih terasa agak asing, Alsava mulai mengenal beberapa orang yang cukup potensial untuk dijadikan temannya selama beberapa tahun ke depan.

Tak peduli pendiam atau bawel, murid pindahan memang selalu menarik perhatian,  bukan? Beberapa orang menyerah di awal perkenalan, namun ada pula orang-orang yang berhasil mendapatkan sambutan tangan dari Alsava ketika mereka ingin menjabatnya untuk tanda resmi perkenalan.

Seperti Nadira, yang notabene adalah teman sebangku Alsava sendiri. Kebiasaannya yang suka mengoceh panjang lebar ternyata memiliki efek hiburan tersendiri bagi Alsava. Nadira bahkan tak peduli apakah teman barunya akan menanggapi atau tidak.

Pernah pada suatu siang terik, di tengah-tengah jam istirahat kedua, di hari kedua Alsava bersekolah di sana, Nadira menyeret paksa Alsava agar keluar kelas dan mengunjungi kantin terjauh dari kelas mereka. Hanya untuk sengaja memandangi seorang guru Bahasa Inggris yang terbiasa makan siang di kantin itu. Yang tidak salah lagi adalah si Dadang. Alsava mendadak kesal begitu melihat sosok itu dan kharismanya bahkan ketika sedang makan di kantin. Apa hanya di depannya saja Dadang menampakkan wajah aslinya yang tanpa pencitraan?

"Al, cogan banget nggak sih, Pak Dadang tuh." Nadira mendesis di samping Alsava, radius sepuluh meter dari sang guru.

Alsava memutar bola matanya tanpa sepengetahuan Nadira. Dalam hati menggerutu tentang nasibnya yang harus terjebak dalam pertunangan paksa dengan laki-laki bermuka dua dan tua seperti lelaki itu. "Biasa aja."

"Ih, luar biasa tau, Al. Masih muda tapi udah punya karisma yang bikin cewek-cewek silau. Lo nggak kena silaunya apa?"

"Biasa aja, Nadira."

"Lo buta apa gimana ya? Pak Dadang tuh guru yang paling banyak penggemar. Ketua OSIS aja kalah pamor dari beliau. Setiap hari pasti ada aja yang ngasih bunga, cokelat, surat dan segala embel-embelnya ke meja dia. Belum lagi pas hari Valentine, beuh, udah kayak toko apa kali mejanya," jelas Nadira berapi-api, tampak tersinggung dengan respons Alsava yang kelewat monoton.

Alsava tidak buta,  makanya  ia memahami seberapa menyebalkannya lelaki itu. Tampan bukanlah tolok ukur segalanya, tampan bukanlah mutlak sebagai tolok ukur pantas atau tidaknya ia dikagumi.

"Tapi sayang," ujar Nadira tiba-tiba. Kali ini Alsava memperhatikan gadis itu sepenuhnya. Lalu Nadira melanjutkan kata-katanya, "katanya beliau udah tunangan."

Entah mengapa Alsava tiba-tiba saja menyesal telah membiarkan Nadira menyita waktu istirahatnya siang itu.

"Pak Arman kesandung batu segede gaban di lapangan depan!" Seorang laki-laki baru saja meringsek masuk ke kelas sambil terbahak-bahak ketika Alsava baru meletakkan tasnya di atas meja. Mendengar kabar itu, kelas Alsava mendadak riuh. Semua kepala dipenuhi tanda tanya, bagaimana bisa sang wakil kesiswaan menjadi seceroboh itu?

"Gimana? Gimana?" Nadira langsung bangkit dari tempat duduknya dan melirik Alsava, ia sudah siap untuk memonopoli gadis itu lagi jika nanti mereka harus keluar kelas untuk menyelidiki kebenaran kabar itu.

“Gara-gara ngejer si Adrian, makanya sampe kesandung gitu. Denger-denger kepalanya benjol, dikit," jawab si pembawa berita itu.

Alih-alih keluar kelas untuk mengamati keadaan, Nadira kembali duduk di kursinya sambil menggelengkan kepala, persis lakon seorang ibu yang baru saja mendapatkan kabar mengenai kenakalan anaknya.

“Siapa, Nad?" Alsava ikut duduk di sebelah Nadira, seraya membuka tutup botol mineralnya berniat memuaskan dahaganya setelah berlarian dari gerbang ke kelas, karena takut terlambat.

“Adrian, anak kelas satu yang tukang buat onar," jelas Nadira singkat.

Lalu seseorang yang berada di bangku depan Alsava berbalik ke arah mereka seakan tertarik dengan topik obrolan itu. Lelaki itu bertubuh jangkung dan memakai kacamata, menampakkan setengah kecerdasan yang dimilikinya.

“Semester lalu, pas baru MOS, dia satu-satunya bocah yang nggak mau diatur. Dikasih peringatan, bukannya nurut malah ninju panitia. Jelmaan setan,” sahut lelaki di depannya itu, yang ternyata adalah ketua pelaksana penyelenggaraan kegiatan MOS semester lalu.

“Iya, bukan itu aja. Dia juga suka tawuran, bikin reputasi sekolah jadi buruk. Belum lagi sering kepergok merokok di belakang sekolah,” tambah Nadira kemudian. Seakan tak ada hal baik yang bisa mendeskripsikan seorang Adrian.

"Nah, tuh orangnya!" Telunjuk Nadira tiba-tiba mengarah ke luar kelas. Menunjuk tepat ke seseorang yang melangkah sambil mengendap-endap. Penampilannya memang berantakan, namun wajahnya sama sekali tidak kriminal, menurut Alsava.

Tanpa sadar, Alsava terkikik. Tingkah lucu anak itu tiba-tiba saja memicu reaksi menggelitik di benak Alsava. Percuma saja ia mengendap-endap seperti itu, toh tubuhnya masih tertangkap kaca jendela. Ia adalah pemuda yang sama yang bersembunyi di mobilnya tempo hari, ekspresi itu juga adalah ekspresi yang sama.

Adrian, ya. Otak Alsava secara otomatis terprogram untuk menyimpan nama itu. Adrian, rentetan abjad yang terasa pas dalam pikirannya.

****

Dan is calling...

"Bodo amat!" umpat gadis itu kesal. Entah sudah yang ke berapa kali lelaki itu menelponnya. Kali itu pun sama, Alsava masih tak berminat menjawab panggilan itu.

Kemudian, sebuah pesan singkat muncul di layar ponselnya seperti pop-up. Lelaki itu ingin mengajaknya ke toko buku. Alsava tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Nadira jika memergokinya pergi ke toko buku dengan Pak Dadang tercintanya itu.

Dan is calling...

Lagi-lagi panggilan itu membuat seluruh layar ponsel Alsava menjadi gelap. Ia sudah begitu muak dan ingin memukul kepala laki-laki itu sekarang juga dengan jangkar kapal yang paling besar. Meski keinginan itu hanya mampu terealisasi dalam kepalanya sendiri.

Panggilan itu berhenti sesaat, sebelum kembali muncul. Hingga kemudian, kesabaran Alsava habis terkuras. Dibantingnya ponsel itu ke jok tengah mobilnya. Dering ponsel itu lumayan teredam. Alsava mencoba menenangkan diri dengan cara andalannya, mengusap tangannya dari kening hingga ke belakang kepala. Rasanya sudah seperti diteror mafia saja.

Selagi menenangkan suasana hatinya yang buruk, ia memperhatikan suasana di area sekolahnya pasca pulang sekolah melalui kaca mobilnya yang buram. Sekolah masih ramai oleh murid-murid yang meniti jalan pulang mereka. Alsava setengah berharap ia akan bertemu Adrian, pemuda yang bersembunyi di mobilnya beberapa hari lalu. Mungkin cowok itu butuh tempat sembunyi lagi?

Begitu ia yakin tunangannya takkan menelepon lagi, barulah Alsava mencari-cari ponsel yang tadi dilemparnya asal. Ternyata ponsel itu terselip di bawah jok, mendekam di sana menunggu untuk dipungut. Namun selain ponsel, tangannya menyentuh sesuatu yang asing.

"Dompet?" gumamnya, seraya mengamati dompet kulit berwarna cokelat kayu tersebut. Ragu, ia membuka dompet itu untuk menemukan kartu identitas yang mungkin ada di sana.

Benar saja, ada kartu pelajar yang masih baru, tinta-tinta timbulnya seakan menuntun Alsava untuk membaca nama yang tertera di sana, Adrian Nirwasita.

Bibir Alsava membentuk sebuah senyum simpul. Sudah tentu itu adalah dompet milik pemuda yang bersembunyi di mobilnya waktu itu. Ia masih ingat bagaimana lelaki itu menyunggingkan senyum jenakanya yang khas. Benarkah lelaki yang dilihatnya kala itu adalah lelaki yang sama yang dijuluki setan sekolah oleh teman-temannya?

****

Setelah empat bab di-update, gimana menurut kalian cerita ini? Bagi pendapatnya dong❤

Thanks for reading!^^

Between Bad Boy and Fiancè [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang