Persetan dengan segala peraturan lalu lintas sialan ini. Toh, Alsava bukan jenis warga negara penuh dedikasi yang jika melakukan apa pun harus berkiblat pada tata tertib. Paling tidak—yang Alsava yakini—akan ada lebih dari selusin aturan ibu yang bakal dia langgar dalam beberapa jam ke depan. Ya, bukannya aturan ini dan itu adalah dua hal yang sama, sih. Tapi ayolah, berhadapan dengan ibu jauh lebih menyeramkan daripada ditilang polisi, ‘kan?
Tidak peduli ada polisi yang berjaga, ditambah beberapa pelanggar lalu-lintas berjejer-jejer di tepian jalan raya, Alsava malah menginjak gas dalam-dalam. Sengaja tidak memperhatikan warna kuning dari lampu lalu-lintas, dan menerobos cepat sebelum berganti merah.
Adakah polisi yang melihat mobilnya? Atau malah ada yang mencatat nomor platnya? Masa bodoh, Alsava sudah kehabisan waktu untuk sekadar memikirkannya. Saat ini, isi kepalanya terlalu penuh dengan perasaan bersalah bercampur kalut. Bagaimana kondisi laki-laki yang beberapa hari belakangan ini dia abaikan? Apa dia mendapat perawatan yang baik? Luka-lukanya tidak parah, ‘kan?
Tanpa sadar, pijakkan pada pedal gas semakin dalam.
Alsava membayangkan ada tubuh setengah jangkung terbujur lemas di ranjang rumah sakit, dengan puluhan lebam menyakitkan. Genggamannya pada setir kemudi mengerat.
Tidak salah lagi. Semua masalah memuakkan ini sudah pasti dan selalu bermula dari satu orang yang sama. Dadang.
Entah cara balas dendam paling menyakitkan apa yang pantas diterima Dadang, Alsava akan memikirkannya nanti. Sekarang, dia hanya merasa perlu melihat kondisi Adrian.
****
Baru saja kakinya menginjak kaveling rumah sakit, smartphone di tas tangannya berdering. Sejujurnya, Alsava ingin berlari sekarang dan mengabaikan siapa pun orang di balik telepon. Namun, mengingat tempat yang dia kunjungi sekarang, juga kemungkinan ibunya yang menghubungi, Alsava mencoba menahan diri.
Perempuan itu terdiam beberapa saat menatapi layar pipih di tangan.
Baiklah. Alsava memang sudah memikirkan untuk balas dendam, bahkan dengan cara paling kriminal sekalipun. Entah menguliti hidup-hidup, memotong menjadi bagian kecil-kecil, atau mengikat di rel kereta. Dia belum memutuskan.
Tapi tetap saja, bukan berarti Alsava mau berhadapan dengan iblis idiot itu detik ini juga, ‘kan? Lagi pula, Alsava yakin seribu persen, menjawab panggilan Dadang hanya akan menyulut emosinya.Dengan kalap, Alsava mengetuk-ngetuk kasar ikon merah di smartphone-nya, mematikan sambungan. Kalau bisa, sekalian pengganggunya ikutan mati.
Ping!
Satu notifikasi masuk saat Alsava akan menonaktifkan smartphone. Di layar menampilkan pesan pop up dengan nama Dadang.
Alsava berniat langsung mematikan smartphone saat tanpa sengaja membaca pesan dari Dadang. Mendapati nama Adrian di sana, Alsava langsung membaca cepat.
Kamu suka hadiah saya? Tempat yang cocok untuk ngengat seperti Adrian memang di sana, rumah sakit.
Alsava bahkan belum sempat menunjukkan reaksi murka saat smartphone-nya kembali berdering nyaring. Tanpa melihat nama penelepon—lebih dari yakin yang menghubungi adalah Dadang—Alsava langsung mengangkatnya.
“Mau lo apa?” Basa-basi dan bermanis ria, terlebih pada makhluk sejenis Dadang adalah daftar paling terakhir yang Alsava inginkan. Persetan dengan kalimat, menjadi orang sabar, berarti harus bersabar sampai akhir. Bukan manusia, namanya, kalau selalu pasrah setiap kali diinjak.
Terdengar kekehan kecil di sambungan. Alsava jadi membayangkan Dadang sedang tersenyum miring, terang-terangan mengoloknya. “Bukannya sudah jelas? Kamu menjadi tunangan yang baik, Adrian kembali ke tempatnya, saya mendapat apa yang saya mau. Semua senang.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Bad Boy and Fiancè [Tamat]
Teen FictionAlsava yang masih ingin menikmati masa remajanya, harus ditunangkan dengan pria pilihan ibunya. Awalnya dia pasrah ketika cincin melekat di jari manisnya. Sampai kemudian ia bertemu Adrian, si berandalan kecil pecinta kucing yang hobi tawuran. Bersa...