XXIV. Titik Terang

73 7 0
                                    

Adrian menganalisa ulang situasi. Dadang masih menatapnya dengan intensitas kewaspadaan penuh, tanpa kedip. Seolah khawatir Adrian bisa tiba-tiba mencekik lehernya apabila ia lengah sedikit saja. Adrian tahu keadaan sama sekali tidak menguntungkan baginya. Ia tak tahu sampai kapan tubuhnya bisa bertahan, entah berapa lama lagi, tak ada jaminannya sekali pun ia memaksakan diri. Tak mungkin ia kuat menahan serangan-serangan Dadang lebih lama lagi. Jadi, di antara jeda yang penuh kewaspadaan itu, Adrian memikirkan cara lain agar bisa menang melawan Dadang. Cara apa pun juga selain baku hantam.

Namun, sebelum Adrian sempat memutuskan sesuatu, Dadang tiba-tiba menyergapnya. Sebelum Dadang sempat mengunci atau bahkan mematahkan lehernya, Adrian balik melancarkan serangan. Mengerahkan seluruh tenaganya untuk menundukkan Dadang, tetapi ia tak lagi cukup kuat untuk membuat Dadang terluka. Sehingga ketika telinganya menangkap deru mobil di kejauhan, ia tahu itulah satu-satunya cara untuk mengakhiri segalanya.

Adrian menggiring Dadang menuju ke tengah jalan, mencoba merayu kematian agar datang lebih cepat. Di belakang mereka, sebuah mobil melaju kencang, tak sempat memperlambat laju, karena kedatangan Adrian dan Dadang begitu mendadak dan tak terelakkan.

Alsava mematung. Sepasang netranya menyaksikan kilas neraka yang penuh rajam. Telinganya memekak oleh bunyi klakson panjang, lalu hantaman tak terelakkan yang menggetarkan seluruh bagian jiwa Alsava. Ketegangan di hatinya meluruh, berganti menjadi kehancuran.

Dunianya seakan telah berakhir begitu saja. Bersamaan dengan tubuh Adrian yang terkapar bersama Dadang, bersimbah darah.

***

Alsava tidak tahu mengapa pada akhirnya ia terjebak di rumah sakit. Berjam-jam menunggu kepastian tanpa sempat menarik napas lega. Seakan-akan setiap embusan napasnya adalah teror. Sepasang kakinya mengetuk-ngetuk lantai rumah sakit dengan tidak sabar. Matanya berkeliling, mengamati setiap sudut rumah sakit. Siapa tahu ada malaikat maut yang tiba-tiba berdiri di pojok ruang tunggu untuk mengabarkan sesuatu yang tak ingin Alsava dengar.

Ini semua salah Dadang! Pangkal dari segala kejadian buruk yang menimpa hidup Alsava adalah Dadang. Lelaki itu muncul dari babak terkelam drama hidup dan menguasai panggung, merusak plot yang sudah disusun Alsava baik-baik dalam kepalanya. Sebuah hidup normal tanpa gagasan konyol seperti pertunangan. Mungkin ibunya memimpikan kehidupan istana untuk putrinya, dan berharap Dadang adalah pangeran yang akan membopong Alsava menuju surga. Namun, kenyataannya, Dadang adalah neraka. Segala aspek yang melekat dalam diri Dadang adalah neraka bagi Alsava.

Alsava resah menunggu detik-detik bergulir, menunggu pintu-pintu putih terbuka untuk mengabarkan kematian Dadang. Enyahlah saja, laki-laki sialan! Di sisi lain, berharap Adrian masih akan baik-baik saja setelah terlibat baku hantam berkali-kali dengan bonus ditabrak mobil. Adrian yang bodoh, Adrian yang gegabah, Adrian yang mempertaruhkan seluruh hidupnya untuk menyelamatkan Alsava. Tetapi, bagaimana jika Adrian yang mati? Bagaimana jika Dadang yang tetap hidup untuk mengungkung Alsava dalam penderitaan tak berujung seumur hidupnya? Apakah Alsava akan sanggup menahan itu semua?

Kemudian sebuah pintu yang berada persis di samping kiri tempat duduknya membuka, di mana segerombolan tenaga medis keluar untuk mengatakan bahwa Adrian tidak baik-baik saja. Kaki dan tangannya patah, tetapi syukurlah, hanya itu. Hanya itu saja. Malaikat maut tidak datang mendekati Adrian. Tuhan masih ingin Alsava mencuri sedikit dari kebahagiaan dunia, Tuhan masih membiarkan Adrian berada di sisinya. Setelah mendengar kabar bahwa Adrian sudah siuman, Alsava lekas menerobos pintu yang selama ini membuat pikiran Alsava berkecamuk. Ia ingin memastikan sendiri dengan mata kepalanya bahwa lelaki itu memang baik-baik saja.

Between Bad Boy and Fiancè [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang