Ada yang runtuh di langit Alsava, ketika vonis itu jatuh dan ia yakin, akan terkekang untuk selamanya.
Semua bermula dari perceraian kedua orang tuanya, duo pebisnis yang sanggup memajukan perusahaan. Begitu disiplin dan ketat dalam urusan memanajameni orang-orang di bawahnya. Dan Alsava, suatu hari kelak, akan menduduki salah satu tahta perusahaan dan menyambung estafet kekuasaan sampai kelak ia memiliki anak, dan anaknya memberi singgasana ke anaknya, dan anaknya anak akan menjual jiwa sang anak untuk keberlangsungan perusahaan.
Seperti kerajaan yang tak akan pernah habis masanya.
Sampai kemudian kedua orang tua Alsava bertengkar hebat. Awalnya pertengkaran tersebut dipicu stres dan tekanan kerja yang menumpuk sejak lama. Alsava tahu kedua orang tuanya menikah hanya demi formalitas belaka. Mereka hanya mencintai harta, kekuasaan, pekerjaan, dan diri mereka sendiri. Sepasang egois yang terpaksa tinggal satu atap. Melahirkan seorang anak demi menurunkan kutukan, kelak. Dan Alsava mendengar kutukan tersebut terucap nyaring ketika ia hendak tidur dan ibunya membanting vas mahal yang dibelinya jauh-jauh di Yunani.
“Aku capek, aku butuh istirahat!”
“Aku juga!!” raung ayah Alsava. Dagunya sesak ditumbuhi jambang yang belum dicukur berhari-hari. “Kamu pikir kamu saja yang butuh rehat? Perusahaan sedang di ambang krisis. Kita harus menjual saham demi menutupi utang.”
“Lalu membiarkan orang-orang asing itu mengendalikan keluarga kita?” Ibu Alsava menatap tajam, tidak ada sahutan, jadi ia sendiri yang menjawab, “tidak. Aku tidak sudi memberi celah sedikit pun pada investor untuk menyetir kita.”
“Tapi kita butuh uang!”
“Dan berteriak tidak menghasilkan apa-apa!”
Hening. Alsava memeluk boneka kelincinya di balik pintu kamar. Sudah berhari-hari, perusahaan yang menaungi tambang serta perkebunan kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan tersendat. Alasannya ada banyak aktivis alam yang mendesak mereka mundur dan menjauhi tanah adat. Tanah yang dahulu dijual kakek-nenek mereka sendiri demi segepok uang dan membeli perkakas megah. Dan kini, anak-cucu mereka kembali, menuntut hak yang telah dijual, atas nama alam dan kehancuran bumi.
“Aku capek begini terus.” Sang ayah menyugar rambut acaknya frustrasi. Mendadak smartphone di atas meja berdering. Bunyinya seperti siksaan bagi telinga, tajam dan menusuk. Ayah Alsava segera mematikan benda tersebut tak sabar. Lalu menatap istrinya dengan pandangan dendam.
“Sudah lama, sejak aku bergabung dengan perusahaan, dan menikah denganmu: kamu tidak pernah mendengarkanku. Sekali pun. Aku tahu kamu lebih kaya, lebih punya kuasa. Tapi aku suamimu, kepala keluargamu.”
“Jadi?” tantang sang istri, angkuh.
“Aku minta cerai. Kita pisah.”
“Tidak bisa begitu.”
“Kenapa? Kita juga tidak pernah saling mencintai.”
“Perusahaan sedang sulit, dan kamu pergi meninggalkanku sendiri?! Egois.”
“Kamu yang egois.”
Satu vas lagi pecah. Dan tidak ada satu pun di antara mereka yang menurunkan dagu untuk mengalah.
“Sekali kamu pergi dari rumah ini, kamu tidak boleh kembali, bahkan untuk Alsava,” ancam sang istri. Alsava masih menahan tangis di balik pintu kamar ketika dirinya disebut.
Lama tidak ada jawaban. Sampai detik detik itu bergulir ke keputusasaan, akhirnya sang ayah mendesah, berat dan pasrah.
“Baik, aku pergi. Terserah kamu apakan anak itu nanti.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Bad Boy and Fiancè [Tamat]
Teen FictionAlsava yang masih ingin menikmati masa remajanya, harus ditunangkan dengan pria pilihan ibunya. Awalnya dia pasrah ketika cincin melekat di jari manisnya. Sampai kemudian ia bertemu Adrian, si berandalan kecil pecinta kucing yang hobi tawuran. Bersa...