Ada satu misteri, kenapa Dan Iswara bisa dipanggil Dadang oleh seluruh murid di SMA baru Alsava.
Awalnya, Nadira, teman sebangku Alsava yang cerewet tapi baik hati berkata, asal muasalnya karena panggilan Pak Dan agak ambigu. Banyak murid mengeluh kalau nama ‘Dan’ sulit dibedakan dengan ‘dan’ sebagai kata konjugasi. Akibat keisengan beberapa anak, mereka memanggil Pak Dan sebagai Pak Dadang.
“Bahkan sampai ada yang nyanyi dengan nada Benci Bilang Cinta dari Radja: Pak Dadang Pak Dadang, hei! Pak Dadang Pak Dadang.” Nadira berseloroh, lalu cekikikan sendiri. Alsava yang ikut merasa geli, tersenyum sambil menyembunyikan bibirnya yang mengembang dengan telapak tangan. Aneh memang, tapi nyata terjadi di sekolah ini.
Kelas baru saja sepi, seluruh murid telah pulang, dan satu per satu keluar mengambil kendaraan dari parkiran atau sekadar menunggu jemputan di halte sekolah. Kecuali Nadira dan Alsava. Mereka masih asyik mengerjakan PR yang baru saja diberikan pagi tadi. Dalihnya supaya tidak repot lagi di rumah. Tapi Alsava yakin, semua hanya modus karena Nadira tidak mengerti cara memakai rumus sentripetal dan hukum Lorenz.
“Jadi gimana?” tanya Alsava, melihat kertas Nadira penuh coret-coretan tak menentu. Gadis itu sendiri sudah berasap kepalanya. Alsava yakin, ia bisa memanggang telur di sana.
“Gak ngerti.”
“Duh.” Alsava meringis. “Udah tiga kali jelasin.”
“Ya gue gak tahu gimana ngubah sudut ke bentuk bilangan.”
“Sin Cos Tan.”
“Apa itu? Jenis gorengan terbaru?” Nadira terkekeh.
“Ih serius.”
“Iya-iya.” Nadira kembali mencoret di atas kertas. Rambut panjang sebahunya jatuh menutupi pipi kirinya. Sontak Nadira mengutip dan menyelipkannya ke balik daun telinga. Lalu menoleh pada Alsava dan memberikan jawaban yang sudah dikerjakannya berkali-kali tersebut.
Alsava mengamati, mengangguk-angguk puas, lalu mengembalikan kertas coretan tersebut pada Nadira. “Udah benar. Cuma caranya kepanjangan. Bisa dipendekin kok.”
“Oh gitu. Oke.”
Trrrrrtttt!
Smartphone Alsava bergetar. Firasatnya memburuk, dan benar saja, yang mengiriminya SMS dan telepon adalah Dan—alias Pak Dadang. Kenapa sih laki-laki itu tidak menyerah saja? Alsava menghapus semua pesannya tanpa membaca satu pun.
“Siapa?” tanya Nadira penasaran.
“Orang gila.” Lalu Alsava mengalihkan pandangannya ke luar jendela. “Udah mau mendung, pulang yuk. Ntar kehujanan.”
Nadira mengehela napas berat. Masih ada beberapa soal yang belum dikerjakan. Tapi Alsava menenangkan dengan berkata bahwa Nadira boleh menyonteknya besok pagi. Gratis.
“Gue traktir minum ya.”
“Gak papa.” Alsava mengenakan ranselnya dalam satu gerakan. “Yuk.”
****
Getar smartphone terus menghantui Alsava selama perjalanan pulang. Dari pertigaan, lampu merah kelima, sampai pekarangan rumahnya yang disesaki kebun mawar dan pohon mangga. Dadang masih menerornya seolah Dadang adalah Ibu Kos yang menagih uang sewa bulanan.
“Memang dia nenekku apa? Nelponnya lebih khilaf dari ibu,” gerutu Alsava. Kedua kakinya melangkah lebar-lebar dari garasi ke pintu depan. Kemudian melepas sepatu, membuka pintu, dan mendapati Dadang tengah mengobrol dengan ibu Alsava di ruang tamu sambil mengudap biskuit dan minum teh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Bad Boy and Fiancè [Tamat]
Fiksi RemajaAlsava yang masih ingin menikmati masa remajanya, harus ditunangkan dengan pria pilihan ibunya. Awalnya dia pasrah ketika cincin melekat di jari manisnya. Sampai kemudian ia bertemu Adrian, si berandalan kecil pecinta kucing yang hobi tawuran. Bersa...