Gemuruh di dada Alsava belum lenyap. Masih ada tanya, juga ketidakpahaman ketika Dadang membentaknya dan berkata: "Aku juga banyak berkorban untuk pertunangan ini!"
Jika dari awal mereka memang tidak saling suka, kenapa tidak melawan? Kenapa harus saling memaksa kehendak dan berakhir saling menghancurkan bersama-sama?
Alsava tidak mengerti. Tidak, dengan Dadang yang tiba-tiba tenang seperti laut selepas badai dan mengajaknya ke beranda.
"Kita perlu udara segar," kata Dadang. Kemudian mendorong pintu kaca geser di balkon. Angin datang berembus menyejukkan suasana. Dadang mengambil posisi terlebih dahulu dengan menyandarkan separuh tubuhnya pada pagar beranda. Menikmati taman, pepohonan, dan langit yang benderang dengan kilap bebintangannya.
Melihat itu semua, Alsava merasa sakit. Tubuhnya masih lemas, harapannya baru saja kandas, dan kini Dadang muncul dalam emosi tak tertebak. Gadis itu maju mendekat, ikut menyentuh pagar beranda yang dingin, dan mengosongkan pikiran.
"Kenal Yudhis?" tanya Dadang, tiba-tiba. Tentu saja Alsava mengenalnya. Ia baru melihat orang tersebut di pesta ulang tahun ke-50 ayah Dadang. Sosok yang sempurna, kalau Alsava boleh menilai. Pintar, sukses, dan tampan. Sayangnya sangat arogan. Alsava ingat di sana, ia mendengar seloroh gosip tentang keberhasilan kakak Dadang tersebut membawa perusahaan keluarganya. Berbeda dengan Dadang, yang meringkuk di bawah ketiak ibu Alsava, dan malah mengajar di sebuah sekolah swasta.
"Sejak kecil, orang tua kami hanya melihat Yudhis. Si peringkat satu. Ia fasih bahasa Jerman, Inggris, dan Prancis. Ikut akselerasi, jadi mahasiswa termuda, lulus cum laude. Kemudian lanjut kuliah di luar negeri dan berhasil menyabet peringkat doktor dengan cepat. Tingkah lakunya juga menyenangkan. Ia mampu menjaga wibawa di depan orang banyak. Membuatnya amat dikagumi." Dadang berhenti. Anak rambutnya terbang ke balik telinga. Memperlihatkan wajah Dadang yang tegas, halus, tetapi murung seolah ada mendung di atas kepalanya.
"Wow," sahut Alsava tidak antusias. Sebagai anak tunggal, ia tidak mengerti harus merespons apa. Tetapi ia tahu akan ke mana. "Pasti berat, punya saudara sehebat itu."
"Yudhis tidak pernah membiarkan kegagalan mengotori langkahnya sedikit pun. Termasuk saya." Dadang menunduk. Masih melanjutkan pengakuan dosanya. "Kami nyaris seperti orang asing di rumah, tidak saling kenal. Dan parahnya, orang tua kami bertingkah seolah mereka hanya memiliki seorang anak. Hari-hari di rumah sangat berat. Rasanya saya hanya lahir untuk mengisi foto keluarga. Seolah, setelah saya mampu mandiri, mereka tidak repot-repot membuat pesta kepulangan atau sekadar bertanya kabar."
Menyedihkan. Alsava memang tidak dikucilkan ibunya, meski harus berpisah total dengan sang ayah. Tetapi, ibu Alsava sangat menyayangi anaknya. Ia selalu bertanya kabar, meski cerewet, dan terkesan memaksa. Alsava tidak tega membenci wanita tersebut dan masih rela melakukan apa saja untuk membahagiakannya.
"Saya tidak tahu lagi, untuk apa saya hidup. Sampai rencana pertunangan itu datang ...." Dadang mendongak, seolah coba mengingat-ingat kejadian lampau tersebut. Mungkin yang pergi sebagai utusan dari pihak Alsava adalah ibunya. Di sebuah ruang tamu berwarna putih terang bernuansa kuning gading. Di antara bunga-bungaan pucat dan palsu. Dadang, yang dianggap anak buangan, tiba-tiba mendapat penawaran sebuah politik pengikat keluarga.
"Saya tahu, kamu pasti akan menolaknya. Saya juga. Saya tidak ingin menyakiti seseorang. Tetapi, tawaran ibumu sangat manis. Ia bersedia menempatkan saya pada posisi penting di perusahaan, jika saya berhasil menikahimu."
Seolah gue cuma barang lelang. Alsava membatin, jauh di lubuk hatinya, ia sakit sesakit-sakitnya. Ada yang retak, pecah berkeping-keping. Alsava tidak sadar bahwa ia merunduk, membuang muka dari Dadang, dan mendistraksi pikirannya agar tidak jatuh ke kawah kesedihan. Tahan, Alsa, tahan!
"Saya tahu kedengarannya menyesakkan. Apalagi untukmu. Kesannya, saya cuma laki-laki picik yang aji mumpung ketika ada kesempatan." Dadang mengeratkan pegangannya pada pagar beranda. Mencengkeram besi bercat hitam tersebut sampai buku-buku jarinya memucat. Seolah menumpahkan semua emosinya ke sana, rasa bersalahnya.
"Kenapa gue? Kenapa selalu gue?!" tanya Alsava, hampir teriak.
Dadang sendiri merinding mendengarnya."Gue ngalah waktu bokap-nyokap mutusin cerai. Gue ngalah lagi, waktu ibu nyuruh pindah ke kota ini. Ninggalin semua teman, kenangan, dan ayah. Belum cukup pengorbanan gue, sekarang pertunangan ini!"
"Saya paham, Alsa."
"Paham apa?!"
"Bahwa kita korban."
"Tapi lo masih ada untungnya. Dapat jabatan! Gue apa, tahinya?"
"Alsa ...." Dadang mengambil napas. Kedua tangannya melayang di hadapan Alsava, tidak jadi menyentuh gadis itu. Ada ketakutan di balik bola matanya. "Saya janji, saya tidak akan mengecewakan kamu."
"Apanya?!" Alsava menengadah. Ada bulir-bulir air mata di wajahnya, jatuh, mengiris dada.
"Kita lanjutin sandiwara ini, sampai kamu sendiri tidak sadar, bahwa kita masih berpura-pura. Saya mohon Alsa, hanya ini kesempatan saya."
Perih! Inikah yang namanya dikhinati? Tunangannya sendiri datang untuk jabatan. Seharusnya Alsava tahu itu! Tidak ada yang gratis di dunia ini. Bahkan, ketika Alsava berpikir ikatan tersebut hanya untuk mempererat tali silatuhrami: di situ ia menemui kenyataan, bahwa semua hanya rekayasa politik keluarganya.
"Saya ingin serius denganmu Alsa, saya ingin menyembuhkan lukamu, sakitmu. Kita sama-sama saling menguatkan. Saya berjanji, akan menjadi tunangan yang sempurna. Asal kamu mau menerima dan memberi saya kesempatan untuk membuktikannya." Dadang mendekat. Memberanikan diri mendekap Alsava dan menangkup wajah gadis tersebut dengan kedua tangan kekarnya. Dadang menelusuri bekas air mata Alsava. Membuat gadis di hadapannya menengadah, menatap lurus kepada Dadang yang tidak bahagia.
Sinar pucat bulan datang memberkati prosesi ikat janji yang menyedihkan tersebut.
"Gue gak bisa ...." Alsava berpaling, enggan melepaskan diri. Ada Adrian dalam pikirannya saat ini.
"Ini jalan buntu, tidak ada pilihan. Kita harus saling membiasakan di sini."
"Enggak." Alsava hampir menangis. Kenapa semua orang di sekitarnya selalu menuntut pengorbanan? Kenapa mereka datang dan selalu memohon Alsava untuk menyerah? Tidak bisakah ia menggenggam rasa sukanya pada Adrian, menikmati kebersamaan singkat itu sesaat, dan menjadi remaja normal pada umumnya?
"Hanya saya yang paham kondisimu." Tangan dingin Dadang menghapus air mata Alsava. Kemudian menyejajarkan kedua matanya dan berusaha menatap gadis itu lamat-lamat. Hening. Alsava melawannya dalam sisa-sisa keberanian. Tetapi Alsava tidak yakin bisa membantah.
Memang benar, hanya Dadang yang tahu kondisi Alsava saat ini."Gue gak tahu kenapa, tapi gue gak bisa."
"Saya tidak akan memaksamu sekarang."
"Gue capek."
"Saya juga." Dadang merengkuh tubuh kurus tersebut, memeluknya dalam dekapan erat yang hangat. Dalam diam, Alsava tersedu-sedu. Seolah mendapat tempat teraman untuk menumpahkan seluruh penderitaannya dalam satu sentak. "Saya akan menghapus kesedihanmu. Saya janji."
Tetapi Dadang hanya menatap hampa ke depan. Kedua bola mata kelam, semakin gelap. Seolah ia baru saja mengangkat sumpah setia pada iblis, lalu menyesalinya, dan terpaksa menatap masa depan yang penuh keputusasaan.
Alsava mendengar detak jantung Dadang yang tidak terguncang. Berbeda dengan dirinya yang menggebu-gebu dalam kekalutan.
Entah siapa yang tenggelam pada siapa malam ini.****
Anu ... karena kesibukan para author yang belum sempat membaca dm yang masuk, give away kami perpanjang sampai 14 juni. Jadi, masih ada kesempatan untuk teman-teman sekalian ikutan give away ini.
Kalau kalian punya wishlist novel yang belum kebeli, ayuk ikutan give away berhadiah novel pilih sesuai judul yang lagi kalian inginkan banget. Ajak teman kalian untuk ikutan! Yang udah kirim dm, masih boleh untuk tag lebih banyak teman lagi. Siapa tahu dapat double hadiah! :3
Karena peserta dengan tag terbanyak akan memenangkan hadiah pulsa!
Yang masih bingung give away-nya gimana, silakan bertanya di kolom komentar.
Ditunggu ya! ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Bad Boy and Fiancè [Tamat]
Fiksi RemajaAlsava yang masih ingin menikmati masa remajanya, harus ditunangkan dengan pria pilihan ibunya. Awalnya dia pasrah ketika cincin melekat di jari manisnya. Sampai kemudian ia bertemu Adrian, si berandalan kecil pecinta kucing yang hobi tawuran. Bersa...