XVI. Tentang Rasa

190 29 3
                                    

Kau tak pernah tahu seberapa memerihkannya sebuah ingin;
Tatkala kau harus berlalu meski kau sangat ingin tinggal.

****

Pikiran Alsava kalut. 

Adrian masih setia berputar-putar di otaknya. Bergelayut menyerempet setiap aspek kehidupannya. Tidak merusak suasana hati, hanya sedikit lebih menyakitkan dibanding biasanya. Sebab masih ada wajah tengil Adrian tatkala perempuan itu memejamkan matanya. Seakan Adrian melekat erat tanpa pernah bisa disingkirkan. Berat, memang.

Menjauh dari Adrian sama sekali tak pernah terlintas di khayal terliar Alsava sekali pun. Apalagi memutuskan dan mencegah setiap kontak yang mungkin saja terjadi. Termasuk menghapus kontak, memblokir media sosial, serta menyingkirkan hal-hal kecil seperti menghapus pesan-pesan yang pernah ia terima dari Adrian. Meski terkesan kekanak-kanakan, tetapi itu adalah pengorbanan yang paling dewasa yang pernah Alsa lakukan untuk seseorang.

Ini semua untuk kebaikan Adrian, Al. Gadis itu mencamkan kalimat itu dalam hatinya setiap kali pendiriannya goyah atas keputusan yang telah ia sepakati dengan Dadang. Dadang mungkin jahat, tapi Alsava tak punya pilihan lain. Sebab, membantah artinya membahayakan masa depan Adrian. Adrian harus diberi kesempatan untuk melanjutkan sekolah. Ia pantas mendapatkannya.

Tapi, menjadi Alsava yang harus merelakan satu-satunya kebahagiaan yang ia punya pasca perceraian kedua orang tuanya sama sekali tidak mudah. Alsava seakan kehilangan pemicu untuk sekadar bergerak keluar dari kamarnya. Seharian ia hanya menggelung diri di kasur. Berkutat dengan pikiran dan hatinya yang tak menemui titik potong untuk sebuah simpul. Seluruh tubuhnya sakit, seolah sepakat  menentang keputusannya untuk menjauh dari Adrian. Namun, sakit itu pun harus Alsa tahan demi kehidupan Adrian yang lebih baik.

"Alsa, makan dulu, Nak." Ibu Alsava tiba-tiba membuka pintu kamar Alsava tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Melihat anak gadisnya yang masih terbungkus dalam selimut, wanita paruh baya itu tanpa ragu mendekat dan menempelkan punggung tangannya ke dahi Alsava. Ia mengernyit begitu merasakan suhu tubuh Alsa yang cukup tinggi. "Alsa, kamu denger ibu, kan? Kita ke rumah sakit, ya?"

"Aku cuma kena flu, Bu. Gak kenapa-napa. Nanti juga sehat."

"Kamu dari kemarin kalo ditanya jawabnya flu. Badan kamu panas, Alsa. Harus ke rumah sakit."

Alsava menggeleng. "Aku beneran cuma flu, Bu." Alsava keras, seperti biasanya.

Ibunya memutuskan untuk keluar dari kamar Alsava sebelum ia terpancing untuk melakukan perdebatan tak berguna yang sudah pasti akan dimenangkan oleh Alsava. Namun wanita paruh baya itu tak menyerah. Malam itu ia langsung menghubungi Dan. Meminta lelaki itu datang dan membujuk Alsava untuk mau ke rumah sakit, atau setidaknya Alsava mau meninggalkan kamarnya.

Dan seakan selalu one call away apabila yang meminta bantuan adalah keluarga Alsava. Begitu menerima panggilan dari nomor ibu Alsava, lelaki itu langsung tancap gas ke kediaman keluarga Alsava tanpa keraguan.

"Kemarin sih katanya cuma flu biasa. Tapi hari ini sakitnya Alsa kayak makin parah, Dan. Kamu tolong bantu bujukin dia biar mau berobat, ya?" ujar ibu Alsava sambil menyongsong Dan masuk ke rumahnya dan mengantarkan lelaki itu ke kamar Alsava.

"Beres, Bu." Dan memberikan senyum terbaiknya pada ibu Alsava sebelum mengetuk pintu kamar gadis itu. Cukup dua kali ketukan sebelum suara pelan Alsava mempersilakannya masuk.

"Kamu apa kabar?" Dadang berbasa-basi sebentar, menoleh kembali ke belakang untuk memastikan bahwa ibu Alsava tidak lagi berada di ambang pintu.

"Nggak baik-baik aja." Alsava tak beranjak dari posisinya untuk menyambut kedatangan Dadang. Bahkan sebisa mungkin menghindari mata lelaki itu. "Ngapain lo ke sini?"

"Ibu kamu minta saya kesini, Alsa."

"Oh." Sebuah cara halus untuk menolak pembicaraan, dan cara yang agak kasar untuk menutup sebuah topik.

"Apa ini gara-gara kamu menjauhi Adrian? Kamu sakit karena kepikiran Adrian?" Tapi Dadang punya seribu cara untuk membuat topik pembicaraan menjadi menarik bagi Alsava.

Alsava mengangguk. Mendadak merasa lemah.

Namun merasakan tatapan mata Dadang yang terus menyelidikinya, Alsava menjadi kesal. Disibakkannya selimut yang sejak tadi membelit tubuh kurusnya. Ia lantas berdiri meski agak sempoyongan. Meninggalkan Dadang yang masih terhenyak di sisi kasur. "Lo gak usah sok peduli sama gue!" Alsava nyaris berteriak saat mengatakan itu.

Pelipisnya berdenyut-denyut seiring gertakan di gigi gerahamnya. "Gue cuma punya satu harapan, gue baru mau punya temen. Kenapa lo rebut semua itu dari gue?!" Amarah Alsava membuncah, membakar paru-parunya. Alsava berulang kali menarik napas secara cepat. Seakan oksigen yang tersedia di ruangan itu tak pernah bisa memuaskan dahaga paru-parunya.

Gadis itu mencengkeram benda apa pun yang berada paling dekat dengan dirinya dan melemparkan benda itu ke arah Dadang. "Gue benci sama lo!" Lemparan Alsava meleset berkali-kali. Semakin meleset, semakin gencar pula Alsava melempari Dadang dengan kekuatan penuh.

Namun seakan tak terpengaruh, Dadang malah terus mendekat ke arah Alsava. Entah kapan lelaki itu berdiri dari duduknya. Semakin Dadang maju, semakin Alsava mundur. Hingga lama-kelamaan, Alsava-lah yang akhirnya terpojok di sudut dinding.

Alsava terkunci di antara kedua lengan Dadang yang jari-jarinya seakan menjadi paku bagi kedua tangan Alsava. Ruang gerak Alsava terbatas. Bukan hanya tubuh Alsava yang terkunci, matanya juga. Tatapan tajam Dadang menusuk pertahanan Alsava sehingga amarah itu kandas, berganti dengan secercah rasa takut. Dadang yang biasanya mampu mengendalikan diri, seakan telah berubah menjadi buas. Dadang yang biasanya memandangnya dengan tatapan teduh penuh karisma, kini tampak bengis.

"Apa kamu pikir hanya kamu yang kesal?" Ekspresi muak terpampang jelas di wajah Dadang. "Saya juga, Alsa."

Alsava memalingkan wajahnya. Emosinya seketika mereda. Entah karena ucapan Dadang, atau karena ia takut dengan sisi lain yang baru Dadang tampilkan di hadapannya.

"Saya sudah mengorbankan banyak untuk hal pertunangan ini." Dadang lalu kembali membuat jarak meski tidak sepenuhnya melepaskan Alsava, sehingga Alsava bisa membebaskan udara yang sejak tadi tertahan di mulutnya. Alih-alih membantah Dadang seperti biasanya, Alsava malah diam dan terus mendengarkan.

"Alsa, saya pun marah. Tapi ki---baik saya maupun kamu, kita gak bisa membantah takdir."

Takdir. Kata itu seakan membuat lidah Alsava getir saat menyebutnya. Ia tahu bahwa Dadang juga terpaksa seperti dirinya. Ia tahu Dadang pun sama menderitanya. Tapi Alsava tidak ingin pasrah dan membiarkan semua kebahagiaannya yang hanya secuil ditelan oleh takdir.

"Lo gak bisa biarin gue ketemu Adrian? Sekali aja ...." Alsava tahu tak ada gunanya membujuk Dadang. Tapi ia tak ingin menyesal karena tak pernah bertanya.

"Alsa, kamu tidak boleh bertemu anak nakal itu lagi," ucap Dadang. Seakan Alsava adalah bocah TK yang harus menjauhi teman-temannya yang jahil. "Saya mohon maaf, tapi pilihannya hanya itu, atau bocah itu dikeluarkan."

Benar kan? Tak ada gunanya membujuk Dadang. "Iya, gue tahu."

Tak ada gunanya menyalahkan Dadang atas syarat yang diajukannya untuk membebaskan Adrian. Seharusnya ini saja cukup. Namun entah mengapa Alsava tak bisa menerimanya. Adrian adalah dunianya yang baru. Dan kini, seorang malaikat dari bagian tergelap neraka telah merenggut dunianya. Ia tak bisa berseteru karena sang malaikat membawa api yang bisa membakar dunianya, apabila Alsava tak mau sedikit berkorban.

Alsava mengerti bagaimana rasanya tanggal ketika hati ingin tetap tinggal.

****

COVER BARU NIH! MUEHEHE

Give away! Give away! Cerita ini akan mengadakan give away dengan berbagai macam hadiah menarik. Apa aja? Simak chapter berikutnya yaa!><

Between Bad Boy and Fiancè [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang