XXIII. Duel

64 6 0
                                    

Seperginya Riko, Alsa semakin tidak bisa menahan diri. Dia sudah begitu gatal menjemput ibunya sekarang juga. Tidak tahan membayangkan Dadang kembali bisa bertingkah sepuasnya.

"Tempat yang cocok untuk ngengat seperti Adrian memang di sana, rumah sakit."

Mengingatnya, memaksa Alsava kembali berang. Dia gerah, dan rambutnya mendadak susah diatur. Berantakan semua!

Hah. Alsava tidak tahan lagi.

Prioritasnya sekarang adalah menangkap Dadang. Setelah perdebatan panjang di kepalanya, terutama tentang janjinya pada Ibu Adrian; Alsava sudah memutuskan. Jadi, sekarang juga, dia bersiap pergi. Tentang ibunya akan percaya atau tidak, itu masalah nanti. Yang terpenting sekara-

"Mau ke mana?"

Alsava menjengkit, terkejut saat pergelangan tangannya ada yang menahan. Sepasang netra hitamnya membeliak. Laki-laki yang biasanya melemparkan senyum jail padanya, kali ini hanya memberi senyum tipis, sampai-sampai Alsava tidak yakin apakah laki-laki itu benar-benar tersenyum atau hanya menarik bibir untuk menahan sakit.

"Adrian? Lo beneran udah sadar?"

Refleks, benar-benar tidak sadar, kedua tangan Alsava sudah meraih tangan kanan Adrian yang tadi digunakan laki-laki itu untuk menahannya. "Badan lo ... masih sakit?" Pertanyaan bodoh. Dari lebam-lebamnya saja sudah kelihatan bagaimana remuk-redamnya badan Adrian saat ini.

Sayangnya, Alsava tidak ada waktu untuk berlama-lama di sini. Dia harus segera pergi.

"Lo di sini." Ada sirat kelegaan yang tertangkap dari nada suara Adrian. Senyum laki-laki itu juga melebar, saat Alsava kembali duduk di sebelah ranjang.

Sebentar. Alsava hanya akan menemani Adrian sebentar saja, sebelum pergi menemui ibunya.

Alsava merasakan sensasi kasar yang mengganggu saat Adrian balas menggenggam tangannya. Pelan, dia melepaskan tautan tangan mereka. Telapak tangan Adrian ternyata penuh garis-garis merah dengan semburat kebiruan. "Kegores aspal?"

"Mau ke mana?"

Adrian sekali lagi mengabaikan pertanyaannya. Alsava diam. Memperhatikan saat Adrian balik menggenggamnya. Erat, tapi tidak sampai membuat sakit.

"Jangan sampai gue tanya buat ketiga kalinya." Genggaman tangan Adrian mengerat. Jelas sekali melarang Alsava untuk pergi. Setidaknya, sebelum mendapat jawaban yang memuaskan, tebak Alsava.

Sepertinya, rentetan kejadian belakangan ini membuat Alsava sinting. Harusnya, dia mencibir Adrian mati-matian karena mendadak menjadi laki-laki melankolis, apalagi sampai menggenggam tangannya erat-erat seperti ini. Namun, tangannya berkata lain saat balas menggenggam tangan Adrian, berniat menenangkan.

"Gue harus ketemu Nyokap. Ada urusan darurat." Begitu otak sintingnya mereda, Alsava pasti akan mengutuk dirinya sendiri. Mengusap tangan Adrian yang ada di genggaman sudah jelas ditentang akal sehatnya. Dan sekarang, Alsava dengan enteng melakukannya. "Setelah semua selesai, gue pasti langsung balik ke sini."

Seperti anak kecil, Adrian malah makin menautkan jari-jari mereka, terang-terangan menyorot sendu pada Alsava, membuat perempuan itu membatalkan niatnya mengomeli Adrian.

Laki-laki ini terlalu menggemaskan untuk dimarahi. Hatinya lemah melihat raut yang baru pertama ini dia lihat dari Adrian.

Alsava menarik napas panjang, dia ingat sudah tidak bisa lagi mengulur waktu. Mengingat kepribadian Dadang, laki-laki itu bisa dengan mudah memanipulasi semuanya, lantas mengarahkan semua kesalahan padanya. Lebih buruknya, jika menjatuhkan segala dosa pada Adrian. Alsava tidak sanggup membayangkannya.

Between Bad Boy and Fiancè [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang