Alsava termangu beberapa detik. Masih dengan dasi menggantung serampangan di kerah, juga sepasang sepatu di tangan kanan. Bahkan masih ada roti tawar terjepit di antara bibir saat matanya membelalak lebar-lebar.
Kenapa ada makhluk halus sepagi ini di rumahnya?
“Selamat pagi.” Dadang sudah berdiri, memberi senyum simpul.
Refleks, Alsava menunjukkan sikap defensif. Badannya mundur selangkah, tangan kiri menutupi dada, dan tangan yang memegang sepatu mengacung tinggi. Wajahnya sudah menunjukkan ekspresi jangan-dekat-dekat-atau-mati miliknya.
Jika tidak salah, di rumah ini hanya ada dia. Dan sekarang, Dadang muncul. Bagaimana jika laki-laki itu berniat macam-macam?
“Sebentar-sebentar. Saya ke sini bukan mau ngajakin kamu berantem.”
Alsava masih mempertahankan posenya. Tidak peduli laki-laki berpakaian necis di depannya mengangkat tangan sejajar kepala dengan raut keheranan. “Haum ampha?” Kata-katanya tidak jelas, terhalang roti tawar yang masih menyumpal mulut.
“Apa?”
Semakin didengar, suara Dadang tambah membuat Alsava keki. Mau mengusir pun tidak bisa. Pasti laki-laki itu akan mengadu ke ibu, dan berimbas Alsava diceramahi semalaman. Apanya yang ikatan jika begini ceritanya?
Sedikit kasar, Alsava menyentakkan roti dengan tangan kiri. Mengunyah tak kalah kasar. Membuka suara setelah berhasil menelan. “Mau apa?”
Alsava semakin tak habis pikir saat melihat laki-laki itu kembali duduk. Seperti tidak memiliki dosa sudah mengganggu pagi Alsava yang tenteram.“Saya nggak maksa kamu untuk menyukai saya.” Ucapan laki-laki itu membuat kening Alsava mengernyit. Seingat Alsava, dia tidak pernah memancing topik paling menggelikan ini. Suka ... apanya? “Saya juga nggak minta kamu langsung menerima saya begitu saja.”
“Hah?” Alsava jelas bingung. Ke mana arah pembicaraan ini? Meneliti ekspresi Dadang pun tak banyak membantu. Justru menambah kadar ketidakpahamannya.
“Tapi, kalau kamu nggak keberatan, sa—kita bisa mencoba dulu.” Melihat Dadang yang menunduk—seperti orang yang kehilangan semangat hidup, Alsava bergeming. Pertahanan dirinya pun tanpa sadar mengendur.
Tidak biasanya makhluk menyebalkan semacam Dadang mau menunjukkan ekspresi seperti itu. Dadang yang biasanya akan mengangkat dagu tinggi-tinggi. Sepenuhnya tenggelam dalam kepercayaan diri segunung. Tapi, sekarang? Entah kenapa Alsava sangsi. Kentara sekali ada yang berbeda dari aura laki-laki di depannya ini.
Agak suram.
Alsava sedikit membelalakkan mata saat Dadang mendadak mengangkat kepala. Menatap kedua matanya intens. Sekilas, ada kilatan aneh yang menggoda simpatinya mengembang.
“Saya akan berusaha membuat kamu bisa menerima saya. Sepenuhnya. Tanpa paksaan, juga status yang mengikat kita.” Seulas senyum tipis laki-laki itu semakin membuat Alsava ngeri. “Jadi, kalau boleh, saya minta kesempatan. Paling tidak, menjadi teman kamu.”
Lidah Alsava kelu. Dia tidak tahu harus merespons bagaimana. Andai situasinya seperti biasa, jelas Alsava tidak merasa perlu memikirkan lebih lanjut. Dia dengan yakin langsung menolak permintaan Dadang.
Namun, haruskah hari ini dia memberi pengecualian?
“Ah, maaf kalau tiba-tiba.” Alsava masih mengamati dalam diam saat Dadang menggaruk telinga kanannya kikuk. Posisi duduk laki-laki itu juga mendadak terlihat tidak nyaman. Seperti duduk di atas tumpukan kulit durian.
Ah, kenapa mendadak menjadi melankolis begini, sih?
Sepertinya gosip ibu-ibu sosialita di pesta ulang tahun orang tua Dadang sedikit memberi efek bagi Alsava. Dia ingat gunjingan-gunjingan mereka berhasil membuat telinganya panas. Walaupun bukan dirinya yang menjadi subjek perbincangan, tetap saja Alsava gerah. Apa sepantasnya mereka membicarakan Dadang sampai sebegitunya? Parah, jika Alsava boleh berkomentar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Bad Boy and Fiancè [Tamat]
Teen FictionAlsava yang masih ingin menikmati masa remajanya, harus ditunangkan dengan pria pilihan ibunya. Awalnya dia pasrah ketika cincin melekat di jari manisnya. Sampai kemudian ia bertemu Adrian, si berandalan kecil pecinta kucing yang hobi tawuran. Bersa...