Lama Alsava menunggu di depan toko buku langganan. Biasanya Adrian yang jadi penghuni pertama, nongkrong, masih berseragam SMA. Tapi hari ini laki-laki itu tidak ada. Padahal matahari kian miring ke barat. Miaw’s Paw akan tutup menjelang petang.
Baru saja Alsava berniat ngadem di kafe sebelah toko buku, Adrian sudah memunculkan diri di ujung jalan. Lusuh. Seragamnya awut-awutan. Laki-laki itu berusaha menutupi kotoran di wajah dan pakaiannya dengan jaket yang—entah dari mana. Karena Adrian selama ini tidak pernah membawa jaket.
Semakin dekat, Alsava yakin Adrian baru selesai berantem. Terlihat dari sudut bibirnya yang berdarah, pipi lebam, kerah robek, dan beberapa kancing seragam yang lepas. Belum lagi rambut yang berantakan, buku-buku jari memerah, dan celana abu-abu yang kotor terselubung debu.
Parah. “Lo dikeroyok?”
Anehnya, Adrian tersenyum bangga. “Ho-oh, sama lima orang.”
“Serius?”
“Cari tempat neduh dulu gih, panas.” Adrian mengusap-usap ujung bibirnya yang berdarah dengan jaket bulukan yang juga sama nahasnya. Lalu meringis. Keadaannya sangat menyedihkan.
“Ke mobil gue deh, cepat.” Alsava membuka pintu mobil, lalu meninggalkan Adrian sendiri di jok tengah dan segera mencari warung untuk membeli air dan tisu. Setelah menyeberang jalan dan kembali, Alsava menyodorkan sebotol air dingin untuk mengompres dan satunya untuk diminum.
“Thanks.” Adrian menerima sebotol, meringis saat mulut botol air minteral menyentuh ujung bibirnya tidak sengaja. Lalu meneguk, jakunnya naik-turun berbasuh peluh. Setelah tandas separuh, barulah ia mengembuskan napas, dan mengusap mulut.
“Kompres lebamnya.”
“Iya-iya.”
“Kok lo bisa babak belur gini sih?” Alsava menutup pintu mobil, lalu menyalakan AC. Udara perlahan-lahan mulai dingin. Tapi mereka belum bergerak sama sekali. Tidak jika Adrian tidak bercerita dan merapikan seragamnya.
“Gue balas dendam.”
Alsava menyodorkan tisu, membiarkan Adrian membersihkan wajah, leher, tangan, dan seragamnya perlahan-lahan. “Gue ngerokok dulu boleh gak?”
Diam. Alsava mau menyebut tidak, tapi lidahnya terpaku saat Adrian sudah mengeluarkan sebatang rokok dan pemantik. Tampak alami dan terbiasa. Padahal usianya begitu muda. Dalam-dalam Adrian mengisap sigaret putihnya, lalu mengembuskan napas serupa awan pelan-pelan ke udara.
Sejenak Alsava mengencangkan udara AC dan memutar penuh kadar pengharum mobilnya.
“Lo ngerokok sejak kapan?”
“Percaya gak?” Adrian tersenyum, masih tengil, dan kusut. “Dari SMP.” Lesung pipitnya membius. Tapi Alsava enggan tenggelam dan coba melogiskan nalar.
“Balas dendam kenapa?”
Jakun Adrian naik-turun. Kepalanya mendongak ke arah jendela. Seolah pikirannya sedang mereka atau sekadar mencari kata-kata. “Temen kelas gue, ada yang dikeroyok. Gue tahu dan bikin perhitungan. Tapi gak nyangka aja mereka ngajak berantemnya di akhir pelajaran. Gue bolos satu mapel.”
Mata Alsava membelalak, ulangan biologi tadi jangan-jangan ....
“Tenang, gue tetap ulangan kok. Waktu ulangan, gue keluar setelah selesai ngerjain soal. Jam ketiga beneran gak balik ke kelas.”
“Gak usah diladenin, ‘kan, bisa, hancur gitu jadinya.”
“Kenapa, kasihan liat gue?” Adrian menaikkan alis kirinya setingkat. Hancur, manis, lesung pipit, jakun yang menggoda, seragam acak-acakan, dan rokok. Kenapa semua itu membuat Adrian tampak menyedihkan sekaligus jujur apa-adanya. Membuat Alsava, sebagai perempuan, merasa istimewa karena diserahi penampilan terburuk seorang laki-laki yang tidak akan pernah ditunjukkannya pada umum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Bad Boy and Fiancè [Tamat]
Teen FictionAlsava yang masih ingin menikmati masa remajanya, harus ditunangkan dengan pria pilihan ibunya. Awalnya dia pasrah ketika cincin melekat di jari manisnya. Sampai kemudian ia bertemu Adrian, si berandalan kecil pecinta kucing yang hobi tawuran. Bersa...