Epilog

195 12 0
                                    

Langit menjatuhkan air matanya untuk menggantikan kesedihan Dan Iswara. Berkali-kali ia merunduk, berusaha tegar agar ikhlas bahwa Aya telah berbaring dalam rengkuhan bumi selamanya. Payung dalam genggaman Dan melonggar. Sementara gerimis hancur di atas tanah, orang-orang pergi satu per satu meninggalkan makam yang masih merah bertabur bunga tujuh warna.

Tiba-tiba payung berwarna biru tua datang ke sisi kanan Dan, di baliknya sesosok gadis mungil hadir ditemani teman laki-lakinya yang babak belur penuh plester luka. Dendam dari pertempuran lalu sudah memudar, tetapi luka jahit dan bebatan gips melekat seperti getah di ujung sepatu. Ketiganya menunggu, setelah kedua orang tua Aya beranjak dari pemakaman, barulah pondasi Dan goyah dan ia jatuh berlutut menghantam lumpur sambil membiarkan payung lepas dari tangan. Tidak mampu berkata-kata, bahkan tangisnya lenyap setelah habis diserap bantal di ruang perawatan rumah sakit.

Alsava datang meninggalkan Adrian, menjulurkan payungnya meneduhi Dan Iswara. “Nanti sakit,” serunya, setidakpeduli mungkin agar Dan tidak merasa dikasihani.

Tetapi Dan geming, seperti boneka tali yang kehilangan pelakonnya. “Rasanya tidak nyata."

“Mau gue temenin sampai lo baikan?”

Dan tidak menjawab. Kacamatanya berembun, menyembunyikan retak yang telah lama bersarang. Alsava maju meraih pundak mantan tunangannya, diikuti Adrian menggengam tangan Alsava.

“Aya pasti sedih melihat saya seperti ini,” Dan kembali melamun. “Dia yang sakit, tetapi berusaha ada untuk saya.”

“Gak papa, lo berhak sedih dan merana. Cuma, habis ini lo harus bangkit. Hidup lo masih panjang, jangan disia-siakan.”

Dan mengangguk. “Ya.”

****

Raut wajah ibu Alsava tidak terbaca. Selama Alsava dan mantan tunangannya mengaku, mengapa mereka membatalkan status yang telah diresmikan tersebut, yang berlanjut ke awal mula konflik, penggelapan uang, serta sakit Aya—Ibu Alsava hanya menyesap teh dengan gerakan pelan sambil menyilangkan kaki dan mendesah. Seakan tahu karma perceraian pasti datang, tetapi tidak menduga wujudnya akan tiba sebagai skandal dalam keluarga di lingkaran orang-orang terdekatnya.

“Lalu, apa yang harus saya lakukan? Dan sudah mengaku, Alsava tidak melanjutkan pertunangan, kalian berdamai, tidak ada pertentangan untuk ke persidangan.” Ibu Alsava menyimpulkan, kentara tidak senang tetapi pasrah pada keadaan.

“Kami ingin menebus dosa,” ucap Dan dan Alsava bersama. Sejenak mereka terdiam, tidak saling memandang. Urusan kali ini terlampau berat untuk dituntaskan dalam semalam, ada keluarga besar yang harus diyakinkan, juga uang yayasan yang mesti dikembalikan.

Sang ibu menatap dua terdakwa bergantian, keriput wajahnya bertambah. Meski demikian, garis-garis tersebut membingkai pas bibir dan mata wanita paruh baya tersebut hingga tampak berwibawa dan tidak tersentuh. Seperti patung marmer dewi yang berkuasa.

“Alsava tetap di sini. Aku tidak akan menuntut apa-apa lagi dengannya, kecuali nilai. Nilai Alsava tidak boleh jelek dan jangan merahasiakan apa pun lagi dariku. Termasuk pacar.” Ibu Alsava kembali meminum teh lamat dan khidmat.

“Dan Iswara, tindakanmu sudah keterlaluan. Tapi aku mengerti kenapa kau melakukannya. Sebagai ganti, kau tetap di perusahaanku, bekerja lebih giat.”

“Baik,” Dan mengiyakan, tanpa membantah sedikit pun. Sorot tajamnya tampak lelah di balik kacamata.

“Selesai. Kuharap kasus ini kalian simpan baik-baik.”

****

Lorong bandara ramai seperti biasa. Lantai tampak licin dan atap tinggi terbuat dari kaca. Gerbang-gerbang kepergian serta keberangkatan ramai oleh penumpang yang antre, sementara ruang tunggu dihuni penumpang berbeda, setiap putaran jadwal penerbangan. Alsava mengantar Dadang sampai loket, memeluknya sekali tanpa sungkan. Kemarin boleh jadi ia ingin membunuh orang paling menyebalkan tersebut, tetapi setelah tahu fakta di balik motivasinya, Alsava tidak bisa membenci mantan gurunya tersebut.

“Teman-teman di kelas pasti kangen, lo kan guru favorit,” celetuk Alsava.

“Bilang ke mereka, saya harus melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 dan S3.” Wajah Dadang masih biru-biru, tetapi lebih baik. Sebelumnya ia harus berjalan menggunakan kruk dan melakukan fisioterapi untuk memulihkan kondisi.

“Gue gak nyangka bakal begini akhirnya.” Alsava tidak mampu menyembunyikan air mata.

“Apa, bahwa saya masih hidup setelah ditabrak truk?”

“Bukan!” Alsava memukul pelan lengan Dadang, gemas dengan kepesimisannya yang perlu didongkrak. “Gue kira, lo bakal jadi tunangan gue selama-lamanya. Gue takut banget menentang, beneran.”

“Tapi takdir telah mengurai benang kusut.”

“Kita bakal berpisah buat waktu yang lama.”

“Tidak apa-apa, mungkin ini satu-satunya cara untuk menyembuhkan luka batin.”

“Lo gak bakal lupain gue, kan’?”

Dadang menggeleng, kacamatanya sedikit melorot dan segera dibetulkan sebelum memandang mantan tunangannya tersebut. “Saya akan mengingatmu sebagaimana saya mengenan Aya. Terima kasih.”

****

“Alsa, Alsa, lihat!” Adrian menjulurkan kertas ulangan hariannya ke pangkuan Alsava. Dari senyum dan raut wajahnya, Alsava pikir Adrian baru mengungguli satu kelas. Tetapi nilai yang terpampang baru menjamah sedikit dari batas KKM. 75, 70, 78.

“Gue ngerasa semester ini banyak peningkatan. Guru-guru juga kaget, kok gue bisa dapat nilai cukup. Ini semua berkat lo, thanks, gak sia-sia kita mabuk latte di kafe.”

“Lo masih harus belajar lebih giat, masa inti sel jawabannya ribosom, yang benar nukleus.” Alsava tidak bisa menahan diri untuk mengoreksi jawaban-jawaban Adrian. Sepuluh menit ke depan, mereka sibuk mencoreti kertas. Adrian harus tabah waktu istirahatnya terpangkas bimbingan belajar dadakan.

“Sore nanti, kita jalan, yuk!” ajak Adrian, sebelum Alsava ceramah tentang kesetimbangan garam-basa.

“Gue bosen ke kafe mulu.”

“Enggak, kita ke Miaw’s Paw.”

“Kucing?” Mata Alsava terbuka lebar. Hampir berminggu-minggu ia lupa tentang komunitas tersebut. “Hayuk! Eh tapi, lo gak ada janji dengan teman-teman lo? Dari kemarin sama gue terus.”

“Gak. Gue udah tobat gabung ke geng tawuran. Gue memutuskan untuk jauhin semua kegiatan negatif. Gak ada manfaatnya.”

“Syukurlah lo sadar.”

Lantas mereka membicarakan masa depan, masa sekarang, dan masa lalu. Dadang sudah di Belanda untuk melanjutkan kuliah. Kelak, saat dia pulang, dia siap bekerja di perusahaan ibunya lagi. Alsava juga memulihkan hubungan dengan ayahnya, kembali menemui beliau di restoran sebagai makan malam pertama setelah sekian lama. Ibu dan ayahnya masih cangguh, tetapi Alsava senang karena mereka mau bertemu dan membahas jalur pendidikan Alsava.

“Gue pengin jadi dokter hewan,” ungkap Alsava. “Kalo lo?”

“Gue pengin jadi suami bu dokter hewan,” goda Adrian. Alsava tertawa. Setelah menyantap roti isi dan susu dalam kemasan, bel tanda masuk kelas berbunyi. Adrian merapikan kertas-kertas ulangannya dan tiba-tiba Alsava datang mengecup pipinya. Adrian tidak bisa bergerak saking syoknya.

“Terima kasih, buat semuanya.” Kemudian Alsava berjalan cepat dan meninggalkan Adrian yang memerah di belakang.

TAMAT

Between Bad Boy and Fiancè [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang