🍁
🍁
🍁Yaya baru saja memasuki kelas. Ia berjalan santai menuju bangkunya. Di sana telah duduk seorang Nisa yang kini tengah berkutat dengan buku tugasnya. Lantas Yaya pun duduk dan melepaskan pelukan tas punggung krem-nya di kursi.
Nisa menutup bukunya. Tampaknya ia baru saja selesai membereskan urusan tugasnya. Nisa yang duduk di kursi paling pojok, menoleh ke arah Yaya di kursi sebelah kanannya.
"Ya? Bareng sama siapa tadi?" semburat penasaran tak bisa disembunyikan dari raut muka Nisa saat ini.
Yaya pikir, Nisa tak melihatnya tadi. Ternyata ia salah sangka. Nisa itu.. Ternyata untuk urusan semacam ini, matanya bisa setajam dan sejeli *udang mantis. Haissh.
"Nico."
Mendengar jawaban supersingkat Yaya, seketika Nisa tersenyum cengengesan. Baru tahu ia, yang mana yang bernama Nico.
"Oo, yang itu.." kepala Nisa terangguk-angguk.
Yaya ikut mengangguk. Tapi cukup hanya sekali.
"Aku pernah liat tuh, beberapa kali. Ternyata dia.. O, ya ampun.. Gak nyangka! Cakep, sih. (Nisa mengacungkan jempol kanan) Hehe. Bener deh, Ya. Ganteng, lho!" senyam-senyum lebay menghiasi wajah Nisa.
Melihat bagaimana reaksi Nisa, Yaya hanya tersenyum kecil tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
"Manis lho, Ya. Berkacamata!" bola mata Nisa menatap serius. Jempol kanannya juga masih belum turun.
"Dia juga punya lesung pipi. Kanan-kiri lagi! Waduhh! Udah mau nyaingin Afgan!"
Nisa heboh sendiri. Panik sendiri. Antusias sendiri. Intinya, ia heboh bercampur panik juga antusias. Merasa eksistensi idolanya kini terancam dengan hadirnya sosok Nico.
"Nico.." Nisa berpikir sambil mengangguk-angguk. "Nico.. Syahreza.." sekarang tampaknya ia sedang bekhayal. "Nico.. Syah..--Aahh, nggak, nggak!" Nisa menyanggah khayalannya sendiri. Kedua tangannya menyilang heboh, seperti menunjukkan penolakan keras.
Yaya tercengir kaku memandangi Nisa dengan andai-andainya. Dahi Yaya berkedut. Matanya menyorot heran. Rautnya tak terkontrol. Nisa sungguh aneh, hanya itu yang saat ini ada di kepalanya.
Tiba-tiba, Nisa menoleh dengan cepat ke arah Yaya. Cengiran aneh terpatri di wajah Nisa. Yaya tak mengerti. Nisa semakin aneh, itu yang saat ini ada di kepalanya.
Sekarang Nisa berdeham-dehem. "Uhuk! Uhuk! Ekkhhm! Ekkkkkhhem!" ia pura-pura batuklah, pura-pura keseleklah, bergaya serius tapi keceplosan senyam-senyum. Sampai benar-benar meneguk air botol hanya untuk sekedar menutupi kepura-puraannya. Haih, tingkahnya ini memang unik. Tapi sebagai anggota ekskul teater, akting radang tenggorokannya benar-benar buruk.
"Istighfar, Nis.. Tadi kita gak sengaja ketemu di lorong. Nico ngajak bareng, ya udah," Yaya tahu topeng Nisa. Ia sedang menggodanya.
Nisa cekikikan.
"Waah, harusnya aku gak usah ke kelas duluan tadi. (Sambil melirik buku di atas meja) 'Kan, bisa ketemu langsung sama dia. Pengen tahu langsung, kayak gimana sih, Nico-Nico itu. Hihi. Ciee."
Yaya menggelengkan kepalanya pertanda bingung. Pipinya memerah. Ia berupaya sabar dengan godaan Nisa.
"Eit, merah merona," Nisa menunjuk-nunjuk pipi Yaya yang semerona mawar pink.
"Udahlah, Nis.."
Nisa berusaha menahan kekehannya. Kasihan melihat wajah Yaya yang makin merengut marmut.
"Nico itu.. Enak diajak ngobrol, gak?" tanya Nisa dengan mulut menyumpal tawa.
"Ya gitu," jawab Yaya seadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Humailove (On Hold)
Fiksi Remaja🍏Humailove🍏 ('Cause Humaira is My Love) - Kebahagiaan itu sederhana bagi Humaira Elya. Menurut anak Abah itu, bahagia adalah saat semua orang mengenalnya sebagai gadis yang baik dan ramah. Bahagia adalah saat semua orang menyadari bahwa makin hari...