Dulu, ketika Kuroko masih kecil, ia mempunyai mimpi yang sederhana. Ia ingin menjadi seorang guru. Ibunya tertawa saat mendengar penuturan putra kecilnya, mungkin karena beliau tahu, hal itu mustahil terjadi.
Dulu, ketika kedua orang tuanya sudah tiada, mimpinya berubah. Ia hanya ingin mendapat kehidupan tenang. Berbaur dengan orang lain tanpa sekat. Hidup dengan cara yang diinginkan. Tanpa terikat tetek bengek soal kemampuan.
Sekarang, ketika Kuroko berusia tujuh belas, ia terombang-ambing dalam kebingungan. Apa yang diinginkan? Tidak tahu. Mengapa harus ia berada di sini? Masih tidak tahu.
Kuroko yang berlari untuk orang lain terasa begitu janggal. Dirinya yang rela mengorbankan diri demi jadi pengalihan juga terasa tidak benar. Apalagi ketika orang itu adalah Akashi. Seseorang yang seharusnya punya jarak aman.
Helaan nafas terdengar. Geladak bawah yang gelap dan pengap membuat dada susah mengambil nafas. Kuroko duduk dengan kedua kaki dan tangan terikat. Mulut tersumpal sapu tangan. Dalam keadaan begini, ia bersyukur masih sadar.
Aroma amis sekaligus busuk memang membuat perutnya mual, namun bukan itu bagian terburuknya. Dalam ruangan ini banyak ditemukan kumpulan orang-orang berpakaian kumuh. Tubuh kurus kering dan penuh luka.
Seseorang yang terlihat paling sehat di antara mereka menatap lurus ke arahnya. Pandangan mata kosong yang membuat iba. Kakinya ter borgol, memar di sekeliling tubuh. Hanya selembar kemeja lusuh dan celana robek di bagian lutut yang dipakai.
Ada lagi yang lebih miris darinya. Beberapa anak kecil, mungkin baru berumur 8 tahun. Mereka di kurung dalam jeruji besi. Ada yang berambut pirang, seharusnya ia bersinar. Kini tampak kumal. Anak lain memiliki surai coklat tua dan hitam. Bocah dengan rambut coklat itu menatap penuh waspada. Iris hijaunya adalah satu-satunya yang meyakinkan Kuroko, dialah yang paling hidup di antara para sandera. Anak perempuan berambut hitam hanya menunduk. Terlihat pasrah, namun ia memancarkan sorot tenang. Mereka bertiga tampak berpegangan tangan. Barangkali sedang saling menguatkan.
Yang lain, tidak tampak lebih baik. Ada orang tua yang sedari tadi terbatuk di ujung. Perempuan muda yang meringkuk. Anak laki-laki yang barangkali seumuran dengannya di ujung ruang.
Helaan nafas kembali terdengar. Kuroko menutup matanya. Begitu banyak hal miris yang terjadi di depan matanya. Mereka benar-benar kejam. Lihatlah pada orang-orang yang mereka bawa. Mereka sakit, kelaparan, ketakutan. Tapi rombongan Nash masih tampak acuh. Mereka membutuhkan bantuan, tapi tidak dipedulikan.
Bunyi derit pintu memecah keheningan. Langkah kaki tegap membuat para sandera menggigil. Ketiga anak itu semakin mempererat tautan jari. Pemuda yang ter borgol menutup matanya. Hanya Kuroko yang masih teguh dan mencoba bersikap tenang.
Seorang pria muncul dari balik kegelapan. Disinari cahaya yang mengintip lewat sela jendela bulat, ia menampakkan senyum keji. Setiap langkah yang di ambil menyedot tiap oksigen di udara.
Kuroko menahan nafasnya begitu pria itu berhenti di hadapannya. Ia memutar lehernya. Meregangkan otot yang kaku. Lagi-lagi pria itu membuatnya tersentak kala ia berlutut tepat di hadapannya.
"Halo, nona cantik yang ternyata laki-laki."
Sapu tangan ditarik paksa. Kuroko mengantupkan mulutnya, merasakan ngilu di sana. Maniknya bergulir ke depan. Seorang pria besar tengah memperhatikan dengan tertarik.

KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Oracle
Fiksi PenggemarKuroko Tetsuya adalah pemuda usia tujuh belas. Status : peramal kerajaan. Catatan lain : jangan ada yang tahu identitas sebenarnya. Namun sayangnya, Kuroko lebih memilih langkah berani. Yang membuatnya memilih keputusan untuk membongkar identitasn...