Jin Young kembali menyentuh pundak seseorang yang bergetar dengan mata terpejam. Dia tahu, semua itu sangatlah berat untuk dihadapi. Percuma juga, lima kalimat yang sama tak pernah terlaksana dengan sempurna.
"Ji Hoon. Harus berapa kali kukatakan padamu, hm? Tenang dan jangan banyak pikiran. Yoon Ji pasti memaafkanmu."
Ji Hoon cuma mengangguk lesu. Dia masih bermain jari, pikirannya mengkisahkan perbuatan tercela yang terjadi lampau waktu. Pemuda 'Bae pun menarik napas saking sulitnya meyakinkan, orang itu tidak ingin menepuk bahu lagi seperti tadi. Yah, suasana di dalam kendaraan roda empat kembali awkward.
Bahkan sampai di bangunan besar kurang lebih lima belas lantai, Ji Hoon hanya berani berjalan di belakang tubuh milik dua sahabat terdekatnya. Ia begitu ciut dalam pendirian akhir-akhir ini.
Pukul satu lewat lima belas menit waktu siang hari adalah masa berakhir operasi milik Shin Yoon Ji. Kini jarum panjang jam masih mengarah pada angka sepuluh, menandakan lima menit lagi operasi selesai.
"Selamat siang." Guan Lin mendongak kaget lalu berdiri. Wanita paruh baya di sebelahnya ikut berdiri —bermaksud menerima kedatangan tiga laki-laki yang barusan membungkukkan badan.
Manusia dengan tinggi kurang lebih seratus delapan puluh senti itu menatap 'sang musuh' tajam. Untuk apa Ji Hoon kemari? Mengapa dia bersedia menjenguk Yoon Ji?
Maka dari sekujur pertanyaan dalam benak, Guan Lin bertanya sebagai awal dari perlakuannya nanti. "Hey, Ji Hoon! Apa yang kaulakukan di sini, huh? Siapa yang menyuruhmu datang? Kau terpaksa, kan?"
Pria yang sedari-tadi menundukkan kepala akhirnya mendongak. "H-Hah?"
Pemuda 'Lai berkacak pinggang. "Ikut aku."
Guan Lin berjalan menuju koridor lain, tentu ingin berkata sarkas untuk sejoli yang pasrah sedari-tadi. Ji Hoon cuma mengekor sembari memandang arah kaki manusia di depannya, anak itu malas angkat kepala dengan tubuh yang lebih tegak.
"Berhenti. Kita bicara di sini saja."
Baiklah. Yang disuruh lekas berhenti.
Arah pandangnya terus ke bawah, bahkan tidak tahu apa yang harus ia lakukan di koridor gelap seperti itu. Ji Hoon hanya mengikuti prosedur si laki-laki satu ini.
Guan Lin melipat kedua tangannya sebelum tertawa remeh.
"Kau ini kesambet atau bagaimana? Untuk apa datang ke sini? Terpaksa harus menjenguk? Lebih baik tidak usah. Kami lebih senang kau pergi dari sini, Tuan Park yang terhormat. Jadi ...." Guan Lin menghela napas sejenak. "Pergi. Jangan ganggu Yoon Ji lagi."
Setelah berkata panjang, Guan Lin pergi. Pergi meninggalkan manusia yang belum bergeming untuk menjawab sarkasme darinya.
Ji Hoon masih menunduk. Jarinya dimainkan untuk berpikir agar Guan Lin dapat menerima meski hanya boleh menunggu di luar. Akhirnya ia melangkah, memanggil pria yang sudah berjalan sekitar lima meter dari koridor sepi.
"L-Lai Guan Lin,"
"Guan Lin!"
"Tolong dengarkan aku, Guan Lin!"
Awalnya Guan Lin tidak sudi menoleh. Namun rasa dari pergelangan tangan yang mententuh kulit si Pemanggil, terpaksa harus berbalik badan.
Ya, pria itu tersulut akan emosinya. "APA?! JANGAN SENTUH TANGANKU, BODOH!"
Ji Hoon menahan seluruh amarahnya. Rasanya ingin sekali membalas kalau sudah memperoleh pekikan manusia yang masih dibencinya. "Izinkan aku bertemu Yoon Ji sekali saja. Aku harus bicara padanya. Tolong mengerti, Guan Lin. Salahku pada Yoon Ji begitu besar, aku ingin merubah semuanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
My First and Last || Wanna One ✔️
Fanfiction[Completed] Park Ji Hoon, 18 tahun, diakui sebagai pembully keji yang belum pernah jatuh hati untuk membully seorang gadis. Lalu, bagaimana jika Shin Yoon Ji seketika hadir depan mata, mengguncang hidup serta nurani yang bergejolak mengatakan, "Apa...