Pria itu tidak berani membantu. Hanya menatap dua sampai tiga perawat yang melepas beberapa alat infus dari tangan mulus Shin Yoon Ji.
Kelihatan sekali ringisan dari gadis yang berjuang menahan rasa sakit. Ji Hoon jadi tidak enak karena menerima tawarannya --karena beresiko cukup tinggi. Namun, ia tidak ingin membuat gadisnya kecewa.
Gadisnya? Mudah-mudahan saja.
Yoon Ji sudah membaluti diri dengan kemeja sekaligus jaket tebal. Tak lupa akan topi dan syal yang dipakainya. Menurut Ji Hoon, ia terlihat lucu karena merasa tenggelam dengan pakaiannya sendiri.
Semua siap, gadis itu sudah duduk di alas kursi roda. Nenek memasukkan perlengkapan cadangan jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan --seperti penyakitnya kambuh dan lain-lain.
"Ji Hoon, kemari. Biar Nenek jelaskan sebentar."
Yang dipanggil mendekat, secara saksama ia mendengar penjelasan berkaitan alat-alat cadangan. Sesekali ia mengangguk, sesekali juga ia bertanya.
Lumayan banyak alat dan obat yang harus digunakan ketika penyakit tiba-tiba kambuh, Ji Hoon jadi ngeri sendiri melihatnya.
"Tolong jaga Yoon Ji, Nenek mohon." Ucapnya yang terakhir sebelum mempersilakan sang pria mendorong kursi roda cucunya.
Ji Hoon berjalan lebih dulu membawa wanita itu menuju lantai dasar --disusul Nenek dan satu perawat. Ia mengangkat Yoon Ji menuju mobil pribadi, dan membiarkan sang supir yang memasukkan kursi roda ke dalam bagasi.
Semua sudah duduk di dalam mobil, kendaraan pun dijalankan. Nenek melambaikan tangan dari jauh, merasa sedih karena agak sepi bila sang cucu tidak berada di sisinya.
Suasana menjadi canggung selama perjalanan berlangsung. Yoon Ji terus memandang jalan raya saking seriusnya --mungkin ia rindu.
Ingin sekali dirinya memecah keheningan. Ji Hoon terus memerhatikan diam-diam, terkadang ikut senyum saat Yoon Ji menyunggingkan senyumannya.
"Yoon Ji?" Gadis itu menoleh.
"Kau mau ke taman hiburan dulu atau Namsan?" Tanya Ji Hoon to the point.
Tanpa berpikir, ia lekas meraih sticky notes yang talinya menggantung pada leher. Mencatat satu tempat untuk dijadikan kunjungan pertama. Ji Hoon membaca hasil tulisannya, kemudian mengangguk.
"Oke, kita ke taman hiburan terlebih dahulu. Pak! Ke taman hiburan, ya." Perintahnya pada supir pribadi.
"Baik, tuan muda." Tepat pada persimpangan, setirnya langsung dibelokkan. Sudah setengah jalan menuju taman hiburan.
Hening selama lima lima belas menit.
Jantungnya berdegup kencang. Yoon Ji ingin menepuk bahu laki-laki di sebelahnya untuk bertanya sesuatu. Belum sadar pria itu, bahwa sedari-tadi terdapat seseorang yang melirik untuk diajak bicara.
Baiklah, Yoon Ji segera memberanikan diri.
"Apa?" Pemuda itu berhasil menoleh tenang saat sang gadis menyentuhnya. Mulai mencatat, lalu memberikan pada pemuda di sebelahnya.
'Apa kau tidak malu jalan-jalan dengan wanita penyakitan sepertiku? Kalau kau merasa terpaksa, lebih baik kita balik lagi ke rumah sakit. Aku tidak apa-apa, kok.'
Sambil tertawa kecil, lelaki bersurai cokelat karamel menatap wanita bertopi. Ia hanya berani memegang bahu gadis itu, tidak punya nyali sampai sentuh tangan segala.
"Aku tidak malu jalan-jalan denganmu, Shin Yoon Ji. Lagipula ini bukan yang pertama kali, kan? Kita sering pergi bersama saat kau masih bekerja padaku. Meskipun ...." Ji Hoon menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Lagi-lagi membahas yang tidak ingin diingatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My First and Last || Wanna One ✔️
Fanfic[Completed] Park Ji Hoon, 18 tahun, diakui sebagai pembully keji yang belum pernah jatuh hati untuk membully seorang gadis. Lalu, bagaimana jika Shin Yoon Ji seketika hadir depan mata, mengguncang hidup serta nurani yang bergejolak mengatakan, "Apa...