'Nak? Apa terjadi sesuatu? Mengapa belum sampai rumah?' Tanya sang nenek, lewat jalur per-pesanan.
Kalau boleh menjelas-kan, sang nenek sangat khawatir akan cucu kesayangan. Sedari tadi, gadis itu belum sampai rumah.
Namun, beberapa detik kemudian, 'Tak ada yang terjadi. Tenang-lah, aku dalam perjalanan pulang. Nenek tak perlu khawatir.' Balas-nya.
Bohong. Gadis itu, ber-bohong. Ia belum dalam perjalanan pulang. Sedari tadi, yang ia lakukan hanya-lah bersandar pada dinding pembatas rooftop sekolah. Sebenar-nya, usai bertemu Ji Hoon, badan-nya sulit di gerak-kan. Entah apa yang terjadi, Yoon Ji juga tak tahu.
Gadis itu lebih memilih istirahat, daripada harus memaksa. Ia mencoba melurus-kan kaki, agar tak merasa lemas. Se-sekali, Yoon Ji menepuk dan memijat ke dua kaki.
Setengah jam kemudian, wanita itu mencoba menggerak kaki. Ternyata, rasa lemas telah hilang. Ia merasa senang, karena rasa leluasa kian kembali.
Gadis itu berdiri. Karena ingin, ia berbalik, menatap cahaya malam. Benar, hari sudah menunjuk-kan pukul delapan malam.
Yoon Ji tersenyum, melepas seluruh kesenangan. Hari ini, malam ini, jam ini, menit ini, detik ini, ia tak boleh menangis. Anggap saja, waktu ini adalah akhir dari kesenangan. Karena besok, entah apa yang Ji Hoon lakukan kembali pada-nya.
***
Hari silih berganti. Gadis itu tengah menata rambut depan cermin. Entah mengapa, akhir-akhir ini tubuh-nya sedikit lemas. Namun, ia tepis rasa lemas dan menguat-kan diri.
Usai sarapan, wanita itu meraih ransel dan memakai sepatu. Begitu selesai, Yoon Ji pamit pada sang nenek dan berangkat.
Selama perjalanan, ia terus memijat kepala, Karena pusing memikir-kan hal yang terjadi nanti.
"Shin Yoon Ji! Berhenti!"
Gadis itu berbalik, karena merasa ter-panggil. Ternyata, sang nenek yang mengejar. Begitu sampai, dengan napas tergesa-gesa, "Kau lupa membawa catatan,"
Sang nenek segera mengalung-kan benda tersebut. Setelah itu, sang nenek tersenyum, dan Yoon Ji membungkuk pertanda terima kasih.
"Lain kali jangan buru-buru. Memang-nya ada apa sampai terburu-buru, huh?" Tanya sang nenek. Yoon Ji, wanita itu hanya menggeleng sembari tersenyum.
"Yasudah, berangkat sana. Nanti kau telat," Suruh-nya. Yoon Ji mengangguk dan meninggal-kan sang nenek. Tak lupa, gadis itu membungkuk badan sebelum berangkat.
Wanita itu sampai gerbang sekolah. Hanya tinggal melangkah menuju kelas. Beruntung, ia tak telat seperti nenek-nya bilang tadi. Baru tiga kali melangkah, seseorang menarik pergelangan tangan.
"Ikut aku."
Yoon Ji terkejut, karena pemuda yang menarik tangan-nya. Siapa lagi kalau bukan Park Ji Hoon? Hanya pria itu yang senang menarik tangan-nya dengan kencang.
Ternyata, Ji Hoon membawa-nya menuju taman sekolah. Wanita itu melihat sekeliling, tak ada apa-pun di sekitar-nya. Apa yang akan ia lakukan?
"Ber-jongkok. Cepat-lah," Perintah-nya. Dengan cepat, gadis itu ber-jongkok, di hadapan Park Ji Hoon.
"Ikat tali sepatu ku."
Yoon Ji mendongak-kan kepala. Aneh sekali. Jauh-jauh Ji Hoon menarik tangan-nya, ternyata hanya perintah mengikat tali sepatu.
"Mengapa melihat ku? Cepat ikat!"
Mendengar teriak-nya, Yoon Ji segera mengikat tali sepatu. Sebagai awalan, gadis itu menyamakan panjang tali, dan mengikat-nya sebagaimana seseorang mengikat tali sepatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My First and Last || Wanna One ✔️
Fanfic[Completed] Park Ji Hoon, 18 tahun, diakui sebagai pembully keji yang belum pernah jatuh hati untuk membully seorang gadis. Lalu, bagaimana jika Shin Yoon Ji seketika hadir depan mata, mengguncang hidup serta nurani yang bergejolak mengatakan, "Apa...