Chapter 9b.

651 25 3
                                    

Arsy sedang duduk menatap ibunya yang sedang makan. Setelah dari ruang ICU, Celvi dipindahkan di ruang rawat inap dan dia masih harus menjalani perawatan untuk kanker payudaranya.

"Ma, mama kenapa bisa sakit lagi?" tanya Arsy tiba-tiba. Celvi menghentikan kunyahannya dan menatap anak perempuannya itu.

"Mama gak sakit, sayang. Mama cuma butuh istirahat," jawab Celvi lembut. Sebenarnya Celvi orangnya penyayang, sangat penyayang bahkan, dan dia seorang perempuan yang halus tutur katanya. Tapi jika menghadapi satu hal dari Arsy, dia bisa berubah menjadi over-protectif dan bisa saja menjadi sangat galak.

"Arsy mau mama sembuh dan pulang ke rumah."

Celvi tersenyum layu, namun Arsy tahu bahwa dibalik senyumnya itu Celvi merasa senang dengan perhatian anak sematawayangnya.

"Iya, Arsy. Mama pasti sembuh dan mama pasti pulang," ucap Celvi berusaha membesarkan hati anaknya itu.

Arsy melihat perubahan yang sangat drastis pada mamanya semenjak dia tahu Celvi sering keluar-masuk rumah sakit untuk check-up. Pipi yang dulunya tampak berisi, sekarang tampak tirus, juga badannya yang tampak lebih kecil karena badannya seperti kehabisan daging.

"Arsy sayang sama mama, Arsy gak mau lihat mama sakit-sakitan lagi," ucap Arsy mulai terisak di ranjang mamanya, kepalanya dia telungkupkan di antara kedua tangannya.

Celvi menatap sendu ke arah anak semata wayangnya itu, dia berusaha menegarkan hatinya, supaya Arsy tidak terlalu sedih menghadapi dirinya yang kini sakit.

"Arsy, kamu harus tahu kalau mama juga sayang sama kamu. Mama juga tidak pernah meminta untuk diberi penyakit ini, tapi tuhan sedang ingin menguji mama, dan mama harus terima itu," ucap Celvi berusaha menenangkan anaknya. Lama. Sampai Celvi sudah tidak mendengar suara sesenggukan dari Arsy dan dia tahu mungkin anaknya itu sudah tertidur karena capek menangis.

Malam itu terasa panjang bagi Celvi karena dia merasa sulit tidur, sampai dia baru bisa tertidur dengan nyenyak keesokan paginya.

***

Arsy terbangun dari bunga tidurnya, dia berusaha menegakan tubuhnya. Arsy melihat mamanya yang terbaring di depannya, tampak tertidur. Arsy segera keluar dari kamar rawat inap ibunya, tak mau mengganggu kenyamanan ibunya.

Matanya terasa berat, mungkin karena dia sehabis menangis. Akhirnya Arsy memilih melangkahkan kakinya ke atap rumah sakit lagi, sesampainya di sana dia melihat matahari pagi yang mulai menampakan dirinya, memberikan kehangatannya. Arsy sama sekali tidak merasa terganggu dengan sinar matahari itu.

Arsy merogoh saku jaketnya, mengambil ponsel miliknya. Setelah menghidupkan handphone itu, Arsy melihat notif-notif yang muncul. Salah satunya adalah panggilan tak terjawab dari Ardian.

Entah kenapa dia merasa senang melihat itu, maka dia menelfon balik Ardian. Tak butuh waktu lama Arsy menunggu karena di nada sambung kedua Ardian mengangkatnya.

Kemudian terdengar suara Ardian yang terdengar panjang berderet seperti rel kereta api, kayak gak ada ujungnya.

"Halo, Ar. Arsy, lo ke mana aja sih? Gue nelfon dari semalem lo gak angkat-angkat, dan sekarang lo belum berangkat sekolah, ini udah hampir bel masuk, kenapa sekarang jadi lo yang berangkat siang sih? Arsy, halo, halo, Ar, kok lo gak jawab sih."

Arsy tertawa pelan mendengar suara Ardian, "Ya ampun, segitu perhatiannya ya lo sama gue?"

Ardian tidak menyahut, lebih tepatnya bingung harus menjawab apa.

Kok gue bisa keceplosan gitu sih?, di tempatnya Ardian menjitak kepalanya sendiri.

"Ar, lo masih di sana?" tanya Arsy memastikan, karena Ardian yang masih saja tak bersuara.

[HRL-2] Girlboss & TroublemakerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang