13. A Bitter Assumption

227 38 34
                                    

Ketiga lelaki itu berjalan berdampingan.

Jihoon, Guanlin, dan Jinyoung kini tengah menyusuri lorong kelas. Mereka berjalan dalam diam, tidak ada yang berani untuk sekedar membuka mulut, mengeluarkan sepatah kata.

Terutama Jinyoung.

Mengingat apa yang terjadi padanya dengan Minhyun di kantin tadi, ia terus-menerus diam. Bibir tipisnya itu seakan telah diberi lem terkuat hingga sulit untuk terbuka.

Kata-kata yang diucapkan oleh Minhyun terus terngiang kendati Jinyoung telah berusaha keras untuk tidak memikirkannya lagi.

Tapi percuma, lelaki itu tetap tidak bisa. Pada faktanya, ia malah menghela nafas berat sembari melihat ke arah bungkusan plastik berisi cupcake yang kini tengah dibawanya. Ya, ia terpaksa membawanya.

Sampai jam pelajaran terakhir, Jinyoung hanya diam. Ia bahkan beberapa kali ditegur saat pelajaran berlangsung karena tidak memperhatikan pelajaran. Tentu saja. Memang siapa yang bisa fokus berpikir saat pikiran tengah kacau dan ingatan buruk datang secara tiba-tiba tanpa ada yang meminta?

Lelaki itu bahkan hanya memandang kosong ke arah papan tulis dan menghela nafas saat menunduk. Entah sudah berapa kali Jinyoung mengulangi hal itu. Jihoon yang duduk di sebelahnya bahkan beberapa kali mencuri kesempatan untuk menendang meja Jinyoung. Bukan apa-apa, ia hanya ingin menyadarkan Jinyoung dari lamunannya yang tak kunjung berhenti itu.

Untung saja Jihoon pandai mencuri kesempatan. Oke, tentu. Siapa juga yang mau mendapat omelan pedas dari guru saat pelajaran tengah berlangsung? Jihoon jelas tahu bahwa berurusan dengan guru itu bukanlah perkara yang mudah untuk dijalani.

Tapi jangankan membuat Jinyoung kembali tersadar dan fokus pada pelajaran, laki-laki itu malah mengabaikan Jihoon seperti kerikil di pinggir jalan. Jihoon jadi gemas ingin mengambil vas bunga di meja guru  dan melemparnya tepat ke kepala Jinyoung. Tapi nyatanya, kini Jihoon hanya diam dan menatap Jinyoung penuh rasa tanda tanya.

Ada apa dengannya?

Masalah apa yang dihadapinya?

Kenapa Jinyoung tiba-tiba bersikap seperti ini?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di otak Jihoon, bahkan kini Jihoon merasa bahwa ia juga tidak fokus.

Akhirnya setelah menanti cukup lama, pelajaran telah berakhir. Hal itu membuat Jinyoung menghela nafas berat sekali lagi dan menatap buku di meja-nya dengan tatapan kosong. Tidak ada apapun disana. Ia tidak menulis catatan penting yang disampaikan oleh Min-ssaem ketika pelajaran berlangsung tadi.

Sial. Itu buruk.

Guru itu bisa saja mendatangi Jinyoung dan menggantungnya hidup-hidup layaknya kulit sapi yang dijual di pasar, jika ia tidak mengumpulkan catatan dengan lengkap. Oke, itu terlalu mengerikan, dan Jinyoung tidak mau hal itu menjadi kenyataan.

Jadi sebelum kemungkinan buruk akan terjadi, ia segera menoleh ke arah Jihoon dan berkata padanya dengan lirih, terlihat sangat lesu seakan sesuatu tengah membebaninya secara absolut, "Hyung, bolehkah aku meminjam catatan milikmu? Aku akan mengembalikannya besok. Aku berjanji."

Belum sempat menjawab, Jihoon melihat Guanlin yang kini tengah berdiri diantara mereka, menatap Jihoon dan Jinyoung secara bergantian sebelum akhirnya berkata, "Hyung, kalian masih ada urusan disini? Maaf aku tidak bisa menemani. Aku harus latihan basket dengan Seonho. Jadi, aku pergi dulu, hyung."

Guanlin lantas menepuk pundak kedua hyung-nya itu bergantian lalu pergi meninggalkan mereka dengan langkah sedikit dipercepat. Jihoon melambaikan tangannya, tanpa mengatakan apapun.

A Handkerchief Love || Jiheon × JinyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang