25. Beach, Moon, and Stars

259 34 47
                                    

Gadis itu menghempaskan tangan yang mencengkeram tangannya dengan kuat.

Jiheon menatap Jinyoung dengan tatapan nanar sekali lagi, sebelum akhirnya gadis itu membalikkan tubuhnya dan berlari keluar kelas dengan menahan tangis.

Perasaan emosi, sakit, marah, putus asa, semua bercampur menjadi satu. Jiheon sudah tidak ingat lagi bagaimana caranya untuk tetap terlihat kuat dan menahan semuanya karena nyatanya, gadis itu tengah menangis saat ini.

Semuanya terlalu sakit untuk dapat ditahan, terlalu berat untuk dipikul dan terlalu sesak untuk disimpan. Jiheon tidak bisa menahan semuanya lagi. Yang dilakukannya saat ini hanyalah menangis, meluapkan segalanya meskipun Jiheon tau, ia tidak seharusnya menangisi seseorang yang bahkan tidak mengerti bagaimana caranya menghargai sebuah cinta. Semua itu tidak lebih dari sesuatu yang sia-sia belaka.

Dengan hati yang kacau, gadis itu membawa kakinya secara paksa untuk berjalanㅡentah kemana. Tidak ada tujuan berarti yang Jiheon inginkan. Gadis itu hanya berjalan dan berjalan, menyeret kakinya yang mungkin sebentar lagi akan putus jika ia tidak berhenti sejenak untuk beristirahat. Oh, hey. Lagipula siapa yang peduli? Tidak ada yang peduli padanya sekalipun kedua kakinya putus. Tidak ada yang peduli padanya sekalipun hatinya telah pecah, hancur berkeping-keping.

Menatap kedua sepatu putihnya yang kini telah berubah warna menjadi kecokelatan, gadis itu terdiam. Cukup lama ia terdiam hingga kata-kata dari Jinyoung kembali menghiasi pikirannya, bersemayam dengan baik dalam ingatannya. Kata-kata itu seperti nada yang keluar melalui piringan hitam yang terus-menerus terputar sepanjang malam, dalam ruangan gelap dan sunyi. Pelan, tapi Jiheon masih bisa mendengarnya.

"Kau tidak bisa mempermainkan hati seseorang. Aku tidak bisa memiliki seseorang yang telah menjadi milik orang lain."

Memori tentang bagaimana Jinyoung mengatakan itu pada Jiheon masih terekam dengan baik. Rasa sesak kembali menyeruak begitu saja, seakan tak mengizinkan Jiheon untuk melupakan semuanya walau hanya untuk sejenak. Buliran bening lantas keluar tanpa permisi, turun melewati kedua pipi lembut milik gadis itu dan pada akhirnya terjatuh pada kedua sepatunya.

Jiheon mengusap air matanya dengan cepat, menghela nafas kasar dan kembali menyeret kakinya untuk melewati jalanan kota Seoul di malam hari yang sampai saat ini masih terlihat ramai.

Jiheon mempercepat langkahnya saat kedua irisnya berhasil menangkap sebuah toko kecil bertenda oranye  yang terletak di sudut jalan. Jiheon juga tidak mengerti mengapa ia berani melakukan ini. Ia tidak seharusnya kesana. Tapi, tidak. Bahkan saraf dalam otak gadis itu barangkali sudah tidak mampu untuk sekedar menyadari resiko yang akan ditanggungnya nanti.

Jadi asal semuanya bisa membuatnya sedikit merasa lebih nyamanㅡmungkin seperti itu, maka Jiheon tidak peduli.

Saat kakinya telah berhasil melangkah dalam toko kecil tersebut, gadis itu lantas segera menuju pada ahjumma pemilik toko. Jiheon tau saat ini dirinya tengah mendapat tatapan dari beberapa pasang mata milik ahjussi yang menyantap daging bakar disertai dengan botol-botol kaca hijau bening kosong yang  tergeletak di meja, membuat tempat ini sedikit kacau dan bau.

Oh, tidak. Tempat ini memang sangat kacau dan bau cairan bening yang tersisa dari  botol-botol kaca itu benar-benar bukan suatu hal yang bagus.

Mengacuhkan suara gelas yang terdengar nyaring saat para Ahjussi itu bersulang, serta tawa renyah dari mereka yang cukup untuk menghiasi sisa malam, Jiheon lantas berkata lirih pada Ahjumma dengan rambut pendek bergelombang serta proporsi tubuh yang sedikit berisi itu,

"Ahjumma, tolong beri aku lima botol soju."

Kedua iris milik ahjumma itu lantas membulat dengan sempurna, tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

A Handkerchief Love || Jiheon × JinyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang