Mas dokter

9.2K 366 5
                                    

      Mewah. Kesan pertama yang Zahwa dapatkan saat sampai di rumah rekan ayahnya alias tempat penitipannya. Nuansa rumah ini adalah monokrom. Mungkin warna favorit keluarga. Setelah memencet bel beberapa kali, sosok paruh baya seusia ayahnya membuka pintu dan menyapa ramah.
Pintu terbuka. Menampilkan ruang tamu yang tak bisa dijelaskan berapa luasnya. Sofa mahal, guci mewah, lukisan bernilai tinggi, juga beberapa figura foto keluarga menjadi ornamen yang semakin menjelaskan betapa biaya yang harus dikeluarkan untuk semua ini tidaklah hanya berjuta juta tapi milyaran.
Saking kagumnya, Zahwa tak menyadari jika ia telah duduk di sofa lembut berwarna hitam berhadapan dengan rekan ayahnya yang sekarang bersama wanita berjilbab. Diusia yang tak lagi muda, kecantikannya masih terlihat.
Sebelumnya ia tak pernah bertemu secara langsung dengan dua orang didepannya, hanya bercakap via telepon, itupun kalau ibunya kelamaan mengangkat telepon rumah yang koar koar.

"Seperti yang sudah aku katakan, aku minta tolong ya, To. Soalnya anakku ini nggak pernah aku tinggal lama".
Wisnu, ayah Zahwa memulai pembicaraan.

"Alah kamu ini, Nu. Kaya sama siapa aja. Anak kamu kan seperti anakku juga. Tinggal Zahwa aja mau apa tidak?".
Darto mengalihkan pandangannya pada Zahwa yang menunduk.

"Zahwa gimana?".
Rumi, ibu Zahwa sedikit menyenggol lengan Zahwa agar anaknya mendongak.

"Ah iya, Zahwa ikut aja baiknya gimana, om".

Setelah persetujuan Zahwa, malam harinya, Zahwa beserta kopernya diantar kembali ke rumah keluarga Darto.
Dengan ramah, Dina menggiring Zahwa keruang makan untuk makan malam bersama. Zahwa nurut saja, buat apa membantah, toh ia juga lapar. Sejak sore tadi, ibunya sibuk mengajaknya melipat baju dan memasukkan segala keperluan Zahwa dalam koper dengan tersedu. Maklum, ini pertama kalinya ia ditinggal lama orang tuanya.

"Kamu baik baik ya, jangan ngerepotin tante Dina".
Ujar ibunya saat mengantarnya ke mobil.
Masih dengan acara termewek meweknya.

Zahwa kembali sadar ketika didepannya sudah ada sepiring nasi.

"Lauknya pilih sendiri ya, tante nggak tau kesukaan kamu soalnya".
Dina memilih duduk disebelah Zahwa.
Ia ingin tahu rasanya punya anak perempuan.

"Kok sepi, tan?".
Tanya Zahwa setelah sepotong ayam goreng, sayur asem, dan tahu goreng pindah ke piringnya.

"Om tadi pergi lagi, nggak tau deh meeting sama klien kemana. Kalo anak tante, bentar lagi juga pulang!".

Zahwa hanya mengangguk pelan. Tak tahu lagi mau bicara apa.
Makan malam Zahwa hampir selesai. Tak terasa membosankan karena Dina terus mengajaknya ngobrol. Mulai dari bagaimana Zahwa disekolah, kapan Zahwa mulai berhijab, sampai kenapa Zahwa nggak pake sambel kalo makan.

Ya karna nggak suka pedes lah, ya kali nggak suka manis!

Tepat setelah piring kotor ditumpuk bi Jum untuk diangkut ke dapur, lelaki tampan yang menenteng snelli datang dan mencium tangan Dina. Zahwa yang tak sengaja melihat langsung menunduk.

"Zahwa, ini anak tante, Danadyaksa. Tante sering panggil Aksa sih, tapi terserah mau panggil apa!".

Zahwa mengangguk. Masih tak berniat mengangkat kepalanya.
Suara decit kursi dan lantai makin membuatnya bingung. Mau ke kamar nggak sopan, masih ada Dina, mau nunduk terus juga pegal, tapi mau dongak Dana duduk didepannya. Catat DIDEPANNYA. Antara malu, ragu, bingung, takut, gundah dan gulana, alhasil ia mendongak. Tapi pandangannya tertuju pada kucing berbulu lebat yang sedang berjalan anggun lewat meja makan. Sebisa mungkin ia tak melirik objek didepannya yang tengah menikmati makan dengan porsi empat sehat lima sempurna.

"Bun, ayah belum pulang?".

Zahwa mengerjap. Suaranya lebih merdu dari muazin disekolahnya. Astaghfirullahaladzim. Baru beberapa menit saja ia bisa berpikiran macam macam.

Penyempurna AgamakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang