Kebenaran

4.4K 269 7
                                    

"Cepetan, Wi. Udah mepet ini".
Teriak Zahwa kesekian kali didepan pintu kamar mandi.

"Iya iya. Udah mau selesai ini".
Balasan Dewi dari dalam.

Zahwa melenggang ke meja riasnya. Menata kembali hijabnya yang belum selesai. Ia menyesal begadang semalam dengan Dewi karena sikap pemaksa Dewi yang tiba tiba muncul untuk bertanya pada Zahwa bagaimana rasanya semobil dengan Dana. Apakah sama seperti yang ia rasakan atau tidak. Dewi mengusiknya dengan terus bertanya apa saja makanan kesukaan Dana hingga mau tak mau Zahwa mendongeng semalam. Walaupun hatinya nyut nyutan selama bercerita, tapi tak apa, asal Dewi bahagia. Untung saja mereka sedang tidak sholat sehingga tak ketinggalan sholat subuh.

"Pake jilbab instan aja biar cepet!".
Ujar Zahwa melihat Dewi telah keluar dari kamar mandi.

"Ish.. ntar aku nggak kece, Wa!".
Protesnya.

"Kamu pake jilbab tujuan utamanya kan menutup aurat bukan mau gaya gayaan. Udah cepetan pake, mau dikeluarin dari kelas kamu?".

Dengan cemberut Dewi meraih jilbab yang telah disiapkan Zahwa dan memakainya. Lalu mendahului Zahwa keluar kamar dengan ransel yang tersampir di lengan kanannya.
Zahwa segera menyusul Dewi yang sekarang telah masuk taksi online yang dipesannya.

Zahwa sedikit berlari menaiki tangga untuk sampai ke kelas. Sesekali ia menengok kebelakang untuk memastikan Dewi tidak kabur ke kantin. Walaupun dengan wajah cemberutnya, tapi kakinya tetap melangkah kearah yang benar.
Mereka berdua kicep setelah mendengar suara menggelegar sang dosen killer telah menggema. Baru saja mereka membuka pintu dan belum sempat mengucap salam, kata kata keramat yang paling ditakuti telah menyambut mereka.

"Kalian yang baru datang, tutup pintunya dari luar!".
                         🌿🌿🌿
"Aku catet tanggal hari ini ya, Wa. Nggak bakalan begadang lagi deh kalo gini".
Dewi menopang dagu di meja kantin. Wajah cemberutnya makin terlihat lecek seperti baju diperas.

Zahwa mengangguk mengiyakan. Ia juga menyesal. Ini pertama kalinya ia terlambat, apalagi masih dengan stempel mahasiswi baru. Rekor jelek yang harus ia ubah kedepannya.

"Aku pesen dulu deh laper. Kamu mau apa?".
Dewi berdiri dan menaruh ranselnya di meja.

"Sosis jumbo kaya kemarin ya, sama jus mangga!".

"Oke!".

Kembali Zahwa membuka ponselnya sembari menunggu Dewi. Membuka aplikasi permainan memasak yang selalu ada di ponselnya sejak MTs. Keinginannya untuk menjadi chef dan membuka restoran yang tidak terpenuhi ia ganti dengan memasak online. Lumayan bisa menghiburnya disaat saat seperti ini.
Bayangan sepintas dari sudut matanya membuatnya menoleh. Seseorang yang sama seperti kemarin kembali duduk disebelahnya. Dengan wajah tanpa dosa memakan mie ayamnya yang masih penuh.

"Kamu lagi, ngapain sih?".

"Gue makan".

"Kenapa nggak di tempat lain aja, kenapa harus disini?".

Lelaki itu melirik Zahwa tajam. Sepertinya ia tak suka jika ada yang mengusiknya.

"Suka suka gue. Lagian lo duduk juga pake satu kursi, jadi kursi ini masih nganggur!".

Zahwa merengut. Ia mengambil ransel milik Dewi dan hendak pergi. Namun sebuah tangan menariknya.

"Astaghfirullahaladzim! Nggak boleh pegang pegang!".
Semprotnya langsung.

Laki laki itu mengangkat tangan.
"Sorry. Gue Ghifar, anak ilmu hukum. Lo?".

"Zahwa!".

"Heh kamu ngapain disini lagi?".
Dewi berkacak pinggang setelah menaruh makanan dan minuman keatas meja.

"Gue temen Zahwa!".
Ujarnya membuat Dewi melotot.

"Dia temen kamu, Wa? Sejak kapan?".

"Tadi. Zahwa udah kenal sama gue!".

Dewi menyipitkan mata kearah Zahwa yang menggeleng pelan.

"Kamu jangan macem macem loh sama Zahwa, aku udah sabuk item!".

Ghifar mengangguk singkat. Tak begitu menganggap penting ucapan Dewi. Menurutnya, sehebat apapun cewek akan kalah dengan laki laki. Menurutnya. Ia melanjutkan memakan mie ayamnya yang sudah mulai dingin.
Akhirnya mereka duduk bertiga di satu meja. Karena mengusirnya pun tak akan membuahkan hasil.
Setelah menghabiskan mie nya dengan diselingi percakapan ringan, akhirnya Ghifar pamit karena masih ada kelas.

"Aku nanti mau kerumah mas Aksa deh kayaknya. Gimana, Wa?".

"Hah?".

"Gimana? Tante Dina suka sama apa, biar nanti aku bawain".

Sosis jumbo yang baru seperempat masuk ke lambungnya serasa sudah memenuhi seluruh organ pencernaannya. Nafsu makannya hilang seketika. Dewi begitu gencar mendekati Dana, bahkan sampai mendekati Dina. Sepertinya Tuhan telah menjauhkannya dengan Dana. Mungkin ini jawaban atas doanya semalam.

"Bawain kue aja, bunda Dina suka kue!".

Dewi mengangguk pelan. Memakan kembali baksonya yang masih mengepul. Ia senang hanya ada kuliah jam pertama. Karena setelah ini, ia akan kerumah Dina untuk mengobrol ringan. Istilahnya mengambil hati camer.
                             🌿🌿🌿
      Jam makan siang kali ini Dana tak sendiri. Ia bersama Zahwa di warung lesehan dekat RS setelah menculik Zahwa. Bukan menculik sih, karena tanpa paksaan ia membawa Zahwa. Nasi bakar dengan ayam penyet yang telah tersaji seakan menggoda untuk disantap. Namun ia urungkan karena mengingat tujuan utamanya bertemu Zahwa.

"Za".
Panggilnya.

Zahwa mengalihkan pandangannya dari es durian yang memikatnya sejak tersaji. Ia mendongak menatap Dana.

"Kemarin Hamzah cerita kalo dia nggak pernah melakukan apa yang kamu tuduhkan!".

"Maksudnya soal dia mabuk? Dia cerita apa sama mas Dana?".

"Itu bukan dia, tapi Huda, saudara kembarnya!".

Zahwa melongo tak percaya.
"Kembar? Mas Hamzah kembar?".

"Ya, tapi Huda meninggal beberapa bulan setelah kamu liat dia mabuk!".

Rasa bersalah melingkupi dirinya. Jadi, selama ini dia suudzon dengan Hamzah. Dia membenci orang yang salah, dan dia telah memfitnah Hamzah dengan menceritakannya pada Dana. Astaghfirullahaladzim.
                             🌿🌿🌿

Yuhu.. part ini pendek ya guys maapin author..
Banyak kegiatan menjelang lebaran yang udah didepan mata.
Baju lebaran udah ada, tapi calonnya mana?
Wkwk.. pertanyaan legend!!
Oke jangan lupa vomment nya ya..
Bubay....

Penyempurna AgamakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang