pedih

4.3K 252 7
                                    

    Hujan turun tiba tiba tanpa ada pemberitahuan dari awan hitam. Para pengendara motor yang tak siap segera meneduh untuk memakai jas hujan ataupun menunggu hujan reda. Begitupun Zahwa. Ia berteduh di depan toko tutup di tepi jalan. Udara dingin yang bercampur titik titik air menerpa tubuhnya saat terbawa angin. Kaos tipis yang digunakannya tak menghangatkannya sedikitpun. Jangan tanyakan dimana Dewi. Gadis itu tak masuk kuliah dengan alasan ada acara keluarga. Jadilah dia disini kedinginan sendiri.

"Sendirian, neng?".

Zahwa menoleh. Wanita dengan usia sekitar kepala empat sedang menggendong anak kecil tersenyum padanya.

"Iya, bu. Neduh dulu!".

"Hujannya tiba tiba. Ibu juga nggak ada persiapan, mana bawa anak kecil juga. Kasian kalo sakit".

"Ya disyukuri saja, bu. Bisa saja diluar sana ada yang kekurangan air!".

"Masih ada ya yang berpikiran seperti itu. Zaman sekarang kan pada acuh sama lingkungan. Cuma mikir diri sendiri. Oh ya nama neng siapa?".

"Zahwa, bu!".
Zahwa meraih tangan ibu itu dan menciumnya.

"Subhanallah.. sudah cantik sholehah lagi. Semoga anak ibu bisa seperti, neng ya".

"Amin!".

Mobil hitam yang familiar bagi Zahwa berhenti tepat didepannya. Dana keluar dari pintu kemudi dan berlari kecil kearah Zahwa. Masih dengan snelli yang melekat di tubuhnya, ia bersandar pada tembok. Entah kenapa setiap melihat Dana, rasa itu belum juga sirna. Zahwa gusar. Ia ingin menyapa tapi ragu. Yang ia heran, kenapa bisa se awkward ini? Sebelumnya ia bahkan bisa sedikit bercanda dengan Dana. Belum usai rasa gusarnya, pintu samping kemudi terbuka. Gadis cantik dengan rambut panjang yang juga mengenakan snelli menyusul Dana. Dia dr. Hima.

"Kenapa, Za?".
Tanya Dana tiba tiba.

"Hah aku? Kenapa?".

"Iya kamu. Kenapa canggung gitu?".

Zahwa mengerjap cepat. Harusnya ia ingat jika Dana sudah tahu setiap gerak geriknya.

"Eh ng.. nggak kok. Cuma dingin aja, iya dingin".
Zahwa sedikit tersenyum untuk menutupi rasa gugupnya.

"Oh dingin ya? Pake snelli aku aja gimana? Nggak bawa jaket soalnya!".

Zahwa menggeleng saat melihat Dana mulai melepas snelli nya.
"Ti.. tidak usah, mas. Aku baik baik saja!".

Sementara itu, dr. Hima terus mengamati interaksi kedua orang itu. Dana memang terlihat dekat dengan bocah yang pernah dilihatnya dulu. Rasa iri muncul dihatinya. Ia tak suka jika Dana lebih dekat dengan orang lain daripada dengan dirinya. Satu tahun mengenal Dana karena bekerja di RS yang sama, makan siang bersama, dan kadang pergi ke acara seminar bersama, apa tak cukup untuk Dana melihatnya sebagai wanita yang mencintainya bukan sebagai rekan kerjanya.
Lagi pula apa kelebihan Zahwa darinya? Pintar, kalo dia bodoh nggak mungkin jadi dokter. Cantik, dari security sampai pengusaha tergila gila padanya. Dewasa, tentu saja dia lebih dewasa. Kaya, dia anak pengusaha ternama. Tunggu, apa mungkin karena bocah itu berhijab? Apa harus ia berhijab agar Dana menyukainya? Mungkin saja.

Terlepas dari pikiran masing masing yang tak sinkron, orang orang yang meneduh satu persatu mulai melaju kembali walaupun hujan masih lumayan deras. Termasuk ibu ibu yang mengobrol dengan Zahwa yang sudah dijemput suaminya dengan payung.
Tak ada pembicaraan dari ketiganya, hingga Dana memperkenalkan Hima pada Zahwa.

"Za, ini dr. Hima rekan kerjaku di RS dan dr. Hima, ini Zahwa yang dulu kamu tanyakan!".

Keduanya bersalaman dan menyebutkan nama masing masing. Zahwa dengan senyuman tulus dan dr. Hima dengan tatapan menghunus. Tentu saja Zahwa tak mengerti arti tatapannya.

"Aku anter ya, Za. Daripada disini terus, bisa sakit!".
Tawar Dana.

"Sebentar lagi mas Hamzah jemput Zahwa, jangan khawatir!".

Dana menghela nafas panjang. Ia merasa Zahwa menjaga jarak dengannya sejak kedatangan Hamzah. Bolehkah ia menyesal telah mengatakan kebenaran tentang Hamzah pada Zahwa? Karena pada akhirnya Zahwa akan kembali pada Hamzah. Cinta pertamanya akan hilang begitu saja sebelum ia mengatakannya. Ia mengalah. Mungkin Zahwa akan lebih bahagia bersama Hamzah daripada dengan dirinya.
Dana mengangguk. Ia pamit pada Zahwa untuk pergi lebih dulu bersama dr. Hima.

"Bahkan mas Hamzah sedang diluar kota, bagaimana dia bisa jemput Zahwa, mas. Tidak apa apa, ini demi Dewi".
Gumamnya setelah mobil Dana berlalu.
                                🌿🌿🌿
       Tak ada niat bagi Zahwa untuk membuka notifikasi panggilan tak terjawab dan pesan beruntun di ponselnya sejak tadi karena Dewi sedang bersamanya. Ia tahu itu dari Dana. Ia tak mau membuat harapan Dewi pupus. Juga hanya dari nomor tak dikenal.

"HP kamu bunyi terus tuh, Wa. Angkat deh!".
Ujar Dewi.

"Aku males ah, orang iseng tuh".

"Siapa tahu dari mas Hamzah".

"Mana mungkin. Dia lagi ke ponpesnya diluar kota, pasti sibuk".

Dewi membulatkan mulutnya.
"Cari makan yuk, aku laper nih".

"Aku nggak mau kalo kamu ajak ke tempat mang Bono!".
Tolak Zahwa.
Ia paling benci disuruh antri. Apalagi di tempat mang Bono, penjual martabak langganan Dewi yang selalu ramai.

"Ih enggak. Sore sore gini makan bakso enak nih, apalagi abis hujan. Udah ayo!".

Dengan malas Zahwa mengikuti Dewi yang telah siap di atas motornya.
Setelah memilih satu diantara banyak pedagang, mereka memilih membeli bakso seperti rencana awal. Lumayan ramai, mungkin efek dingin setelah hujan siang tadi membuat mereka butuh kehangatan.
Zahwa memilih duduk di pojok sembari menunggu Dewi memesan. Lagi lagi muncul bayangan tentang Dana yang ada disisinya saat ia merasa kehilangan. Kata kata motivasi dan wejangan yang Dana berikan masih sangat jelas. Tapi ia harus bisa melupakan itu. Melupakan semua rasa yang ada dan menggantinya dengan rasa yang baru.

"Bengong aja sih, Wa!".
Kedatangan Dewi membuat Zahwa tersadar.
Dua mangkuk bakso dan dua gelas teh hangat sudah diatas meja.

"Laper, kamu lama banget!".

"Namanya juga antri!".

"Tadi aku liat Ghifar wajahnya lebam lebam gitu, berantem kali ya?".

Dewi yang baru memakan baksonya tersedak. Ia segera meminum tehnya.

"Parah banget ya, Wa? Semalem aku yang pukul dia!".

"Apa? Kamu pukul dia? Ih.. jangan gitu lagi, Wi".

"Refleks akunya. Lagian dia main nepuk pundak aku, kan kaget".

Ponsel Zahwa kembali berdering. Namun kali ini, pesan singkat dari nomor tak dikenal membuat jantungnya berhenti.

From : 087658xxxxxx

Cepat ke RS sekarang. Hamzah kecelakaan, keadaannya kritis.
                                🌿🌿🌿
       Hujan yang kembali turun tak menghalangi niat Zahwa untuk ke RS secepatnya bersama Dewi. Mengesampingkan badannya yang sudah menggigil dan basah kuyup, ia berlari mencari ruangan dimana Hamzah dirawat. Lututnya lemas melihat banyak selang terpasang di tubuh Hamzah dan perban yang melilit hampir sebagian tubuhnya. Ia takut. Ia takut kehilangan lagi.
Melihat sekeliling, orang tua Hamzah berpelukan saling menguatkan. Karim, kakak Hamzah, duduk di kursi didepan ruangan dengan perban yang membalut dahi dab sikunya. Tangannya tak pernah berhenti mengusap sudut matanya dan mulutnya tak berhenti merapalkan doa doa.

"Mas Karim!".
Panggil Zahwa pelan.

Karim mendongak, lalu menunduk lagi.

"Harapannya tipis, Wa. Dokter udah angkat tangan. Cuma selang selang itu yang membantunya tetap bertahan".

Bagaimana hati Zahwa tak hilang mendengarnya? Bagaimana jika Hamzah benar benar pergi meninggalkannya? Sudah cukup ia kehilangan orang tuanya, merelakan Dana, sekarang ia tak bisa jika harus merelakan Hamzah juga.

Ya Allah, untuk kali ini aku mohon, jangan dulu ambil dia! Batinnya.
                                  🌿🌿🌿

Yuhu..
Nih author update lumayan cepet..
Jangan lupa vomment nya ya..
Jangan bosen bosen juga ingetin author kalo ada typo atau kesalahan info..
Oke see you bubay...

Penyempurna AgamakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang