suasana baru

3.9K 222 6
                                    

       Hati yang telah terpilih untuk diberi cinta tidak akan tertukar dengan hati lain walaupun sekeras apapun berusaha. Satu kalimat yang Dewi pikirkan sekarang. Ia tahu jika Dana tak menyukainya dari awal. Ia bukan Zahwa yang tak tahu menahu tentang cinta. Ia tahu bagaimana cara Dana menatap Zahwa. Selama ini, ia mencoba mengalihkan pandangan Dana padanya. Tapi selalu saja Zahwa yang menjadi fokusnya. Ia selalu mendukung Zahwa dan Hamzah agar Dana melupakan Zahwa. Tapi nihil. Itu tidak merubah apapun. Lalu untuk apa ia tetap bertahan pada posisi yang hanya dianggap angin lalu? Tidak ada gunanya. Anggap saja dia jahat karena telah egois memikirkan dirinya sendiri tanpa memikirkan perasaan Zahwa juga. Ia tak ingin tahu bagaimana perasaan Zahwa terhadap Dana. Yang ia pikirkan hanya ambisi untuk memiliki Dana.
Tapi kedatangan Laskar membuatnya berpikir kembali. Jika ia harus membiarkan Dana bersama Zahwa. Membiarkan mereka tak lagi tersakiti olehnya.
Kembalinya dia ke Indonesia ternyata tak juga merubah pola pikir ibunya yang kolot. Menjodohkannya dengan lelaki yang sama sekali tak tahu apa apa tentang Islam. Jika ia bisa, ia akan mengatakan TIDAK dengan tegas. Namun itu bukan dirinya. Ia selalu berusaha menjadi anak yang berbakti pada orang tua, salah satunya menerima Laskar. Ia akan berusaha merubah Laskar sedemikian rupa agar kembali pada jalan-Nya. Melupakan kenikmatan dunia yang hanya sementara. Seperti saat ini. Ia sedang bersama Laskar disalah satu restoran mewah untuk makan siang. Hari libur panjang pertama ini hingga liburan habis nanti,  akan ia gunakan untuk merombak Laskar. Bagaimanapun caranya.

"Ayo!".
Dewi berdiri setelah piringnya telah kosong.

"Kemana?".

"Ke masjid dong, sholat".

"Ogah. Lo aja sana, gue tunggu disini".

Dewi manggut manggut dan mengambil ponselnya.

"Oke aja. Aku bakal bilang sama om Wisnu kalo kamu jahatin aku. Beres, kan?".

Laskar dengan cepat merebut ponselnya lalu memasukkannya kedalam jaket.
"Lo ngeselin ya lama lama. Awas aja lo ngadu!".

"Makanya ayo, udah jam satu ini".

Walaupun kesal, tapi Laskar tetap mengikuti Dewi. Mencari masjid di sekitar restoran tak sulit. Hanya beberapa meter.

"Sekarang aku mau sholat, kamu juga harus sholat".
Ujar Dewi setelah sampai didepan pintu masuk.

"Gimana caranya? Gue nggak bisa wudlu".

Bahu Dewi turun seketika. Kriteria calon imam idamannya sudah pupus. Ia melihat Roky, teman satu kelasnya berjalan melewatinya. Dengan semangat ia memanggilnya.

"Roky!".

"Hah? Apa?".

"Boleh minta tolong? Ajarin temen aku wudlu, ya?".

"Oh.. boleh boleh. Ayo!".

"Tuh sana. Nanti kalo udah selesai sholat aku tunggu dimobil".

"Iya Iya. Bawel!".         
Laskar berjalan mengikuti Roky. Sementara Dewi masuk kedalam masjid. Ia berharap ini awal yang baik untuk merubah kebiasaan Laskar.

Lima belas menit berlalu. Laskar kembali ke mobil menyusul Dewi yang telah masuk lebih dulu.

"Gimana?".
Tanya Dewi.

"Apanya?".

"Perasaan kamu gimana?".

"Suka!".

"Suka sama siapa?".
Tanya Dewi heran.

"Lo!".

"Ish.. maksud aku gimana perasaan kamu setelah sholat?".

Laskar terkekeh. Menurutnya, Dewi adalah gadis yang lucu.

"Oh.. tenang sih. Kapan kapan ajarin gue ngaji juga, ya?".

"Jangan kapan kapan. Kalo bisa secepatnya!".

"Iya deh. Besok aja!".

Dalam hati Dewi tersenyum. Niatnya berjalan dengan baik. Walaupun ia harus sering meminta bantuan Roky sekarang. Yang terpenting Laskar sudah merespon niatnya.

"Gue anter pulang, ya. Masih ada meeting setelah ini".

"Iya!".
                                🌿🌿🌿
Zahwa pov

      Disini. Ditempat yang jauh dari hiruk pikuk kota, aku berada. Bukan kota besar, tapi pedesaan yang masih memiliki empati tinggi. Tak ada yang namanya orang asing jika sudah berada di desa ini. Semuanya keluarga, tak memandang harta ataupun rupa. Bukankah memang sudah seharusnya seperti itu? Tak ada yang membedakan antara manusia satu dengan lainnya kecuali iman dan taqwanya. Didepan rumah kakek yang tak berpenghuni, aku tak berhenti mengagumi keindahan alam yang begitu mempesona. Maha Besar Allah yang telah menciptakan bumi seisinya. Untuk sejenak setelah aku sampai disini, aku lupa akan semua masalah. Seperti terlahir kembali.
Mbak Nina, anak mbok Siti tukang pijit yang rumahnya disebelah rumah kakek, duduk disebelahku setelah membantuku membersihkan rumah.

"Di kota enak yo, Wa? Pasti rame banget to?".
Tanyanya dengan bahasa yang medok.

"Sama aja, mbak Nin! Enakan juga di desa, udaranya segar, nggak macet pula".

"Mosok? Cita cita aku dulu ya mau pergi ke kota, tapi mbok ndak ngizinin".

"Nanti kapan kapan aku ajak mbak Nin kerumah aku, mau?".

"Mau banget, Wa. Duh.. pasti rumah kamu besar kaya di tipi tipi".
Ujarnya antusias.
Aku meringis. Mengingat bagaimana jika aku tidak akan bisa kembali kerumahku lagi nanti.

"Nina, ayo jak nduk Zahwa maem, mbok wis masak!".
(Nina, ayo ajak nak Zahwa makan, ibu sudah memasak)
Mbok Siti berteriak dari jendela samping rumahnya.

"Nggeh, mbok. Makan dirumahku yo, Wa. Mbok masak banyak tadi".
Mbak Nina berdiri dan merapikan roknya.

"Ngerepotin, mbak".

"Wis ayo. Ndak papa!".
Belum juga aku menjawab, mbak Nina sudah menarikku kerumahnya.

Nasi dan segala lauk pauk sudah tertata di meja. Mulai dari ikan asin, oseng kangkung, tahu, tempe, ayam goreng, juga sambal terasi. Mbok Siti memberiku sepiring nasi.

"Lawohe njupuk dewe yo, mbok ora ngerti senenganmu".
(Lauknya ambil sendiri ya, mbok nggak tahu kesukaanmu)

Walaupun tak paham betul, tapi sedikit sedikit aku mengerti maksud mbok Siti. Aku hanya mengambil ikan asin dan tahu serta oseng kangkung yang jarang aku makan.

"Kok ndak pake ayam to, Wa?".

"Aku pengen coba ini, mbak Nin".

"Owalah.. tak kiro malah kamu ndak suka ikan ndeso kaya gini".

"Enak kok. Makasih ya, mbak Nin. Udah bantuin aku beres beres, dikasih makan juga lagi".

"Alah.. biasa aja. Kamu itu udah tak anggep adik sendiri. Ayo makan!".

Melihat mbak Nina dan mbok Siti, aku jadi ingat bunda Dina. Aku tak mengatakan apapun padanya saat berangkat kesini. Jika dia tau, aku yakin dia akan menarikku kerumahnya lagi. Aku tidak mau merepotkannya lagi. Apalagi mas Dana. Dia sudah sibuk dengan pasien pasiennya, jangan sampai aku menambah bebannya.
Cukup sudah ia membantuku selama ini dengan segala rasa dan keseriusannya. Aku tidak mau terlalu jauh mencintainya. Aku akan sangat berdosa jika lebih mencintai ciptaan-Nya dari pada penciptanya.
                                  🌿🌿🌿

Yuhu.. pendek ya..
Aku sempetin update di sela sela kesibukan tugas yang menggunung nih buat kalian😘
Jangan bosen nunggu author update yupss..
Jangan lupa vomment nya juga..
Kalo mau lebih kenal sama author follow aja ig author
Ayda_fluilary
jangan sungkan kalo mau DM, pasti di bls koook!
Bubay...
       

Penyempurna AgamakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang