Duka

5.1K 286 3
                                    

"Kamu yang sabar ya, Wa. Orang tua kamu meninggal dalam kecelakaan pesawat semalam".

Bak petir yang memporakporandakan dunia, Zahwa luruh seketika. Ucapan Dina ia resapi perlahan. Ia menepuk pipinya beberapa kali. Memastikan jika ini hanya mimpi. Memastikan jika ini hanya halusinasi. Tapi rasa panas yang menjalar di pipinya membuatnya sadar. Ini nyata. Ia kehilangan orang penting dalam hidupnya.
Dina memeluk Zahwa. Dirinya pun ikut menangis melihat betapa kacaunya gadis ini. Melewatkan satu minggu bersama Zahwa membuatnya mengerti rasanya memiliki anak perempuan.

"Jenazahnya akan sampai sekitar pukul sepuluh nanti. Aksa udah bilang sama bi Jum untuk mempersiapkan keperluan dirumah Zahwa bersama tetangga disana!".
Dana menghampiri keduanya setelah menutup telpon.

"Bunda urus Zahwa dulu, setelah itu kerumah Zahwa. Ayah udah kamu telfon kan?".

"Udah. Aksa tunggu di depan ya, Bun?".

Anggukan kecil Dina berikan. Setelah itu, ia pelan pelan mengajak Zahwa berdiri dan menuntunnya ke kamar.

"Ikhlas, Wa. Allah lebih sayang sama orang tua kamu. Lebih baik kamu doakan mereka supaya Allah mengampuni dosanya".
Dina mengusap air mata yang tak berhenti mengalir dari mata Zahwa.

"Zahwa nggak pernah nyangka bakal secepat ini, bun".
Lirihnya.

"Semua udah takdir Allah. Semua udah tertulis dalam kitab lauhul mahfuz, termasuk ajal!".

                            🌿🌿🌿
        Bendera kuning telah terpasang di pagar rumah Zahwa. Para tetangga sudah berdatangan untuk membantu. Karangan bunga duka cita berjajar didepan rumah. Dewi, yang mendengar kabar ini langsung menuju rumah Zahwa. Ia tahu Zahwa akan membutuhkan orang yang menguatkannya disaat seperti ini. Jenazah telah dimandikan dan dikafani. Tinggal dishalatkan di masjid dan dimakamkan. Zahwa yang melihat kedua orang tuanya terbungkus kain putih seperti tak percaya. Satu minggu yang lalu adalah hari terakhirnya bersama orang tuanya. Dan wejangan wejangan ibunya untuk jadi anak yang mandiri dan sholehah adalah pesan terakhir. Saat jenazah dimasukkan dalam keranda, tangis Zahwa makin menjadi. Ia tak rela jika orang tuanya pergi.
Dana menghampirinya. Ia berjongkok untuk menyamakan posisi Zahwa.

"Ikhlas, Za. Allah melarang meratapi kematian. Sedih boleh menangis boleh, tapi jangan berlebihan. Sabar, berprasangka baiklah pada Allah!".
Ujarnya pelan berharap Zahwa bisa memahaminya.

Melihat Zahwa yang sudah mulai tenang dipelukan Dewi dan Dina, Dana kembali ke rombongan warga yang siap mengangkat keranda untuk dibawa ke masjid dengan ambulance.

"Kamu tenang, Wa. Masih ada aku, keluarga tante Dina, juga Allah yang selalu bersama kamu!".
Bisik Dewi.
Dipelukannya, Zahwa masih terisak. Nafasnya tak teratur. Selama yang ia lihat, ini titik terendah Zahwa menerima ujian.

"Mereka bahkan nggak bilang apapun, Wi. Aku belum sempat bahagiain mereka".

"Dengan kamu menjadi anak sholehah dan selalu mendoakan mereka, itu udah cukup buat mereka bahagia".

Pelukan Zahwa mulai mengendur. Matanya menutup sempurna. Sejenak, ia ingin melupakan kenyataan, bahwa ini memang kehilangan. Pekikan dari Dina dan Dewi ia anggap sebagai penghantar ia lunglai di sisi Dewi.
                              🌿🌿🌿
       Hari beranjak sore. Para pelayat masih berdatangan. Pemakaman pun telah usai. Dana menyusul Dina yang berada disamping Zahwa yang masih terpejam. Merasa iba pada gadis yang dikenalnya seminggu yang lalu ini.

"Kita bawa ke RS aja gimana? Dari tadi belum bangun, Sa".
Dina terlihat cemas. Tangannya tak berhenti mengusap peluh yang keluar dari pelipis Zahwa.

"Tidak usah, bun. Dia hanya syok, sebentar lagi juga bangun".

"Bagaimana dengan client ayahnya Zahwa? Siapa yang menemani?".

"Ada ayah di luar. Bunda tenang aja!".

Gerakan ditangan Zahwa mengawali kesadarannya. Dilihatnya sekeliling. Lagi lagi ia menangis, menyadari jika ini bukan mimpi. Ia harus kembali ingat kedua orang tuanya tak berdaya dalam balutan kain putih itu.

"Kamu sudah sholat, Za?".

Pertanyaan Dana membuat Zahwa segera menegak. Ia sampai melupakan kewajibannya karena terlalu larut dalam kesedihan.

"Astaghfirullahaladzim. Zahwa belum sholat ashar".
Dengan tergesa gesa Zahwa masuk kamar mandi dan mengambil wudlu. Sempat terhuyung saat berdiri, tapi Dina tanggap membantunya.
Sementara Zahwa wudlu, Dina menggiring Dana untuk keluar.

Selepas sholat, hati dan pikirannya mulai tenang. Walaupun setelah itu air matanya kembali turun.

"Hamba ikhlas jika Engkau lebih sayang pada orang tua hamba. Tapi kesedihan ini belum juga mereda. Ya Allah.. beri hamba ketegaran menghadapi ini semua, lapangkan kubur kedua orang tua hamba, dan ampuni dosanya, tempatkanlah mereka disisi - Mu ya rabb".
Zahwa mengakhiri doanya dengan bacaan surat Al Fatihah.
Kemudian ia keluar untuk menemui pelayat yang berdatangan.

"Yang sabar ya, Wa. Kalo ada perlu apa apa jangan sungkan kerumah ibu".
Ujar bu Dwi, tetangga depan rumah Zahwa.

"Iya, bu. Terima kasih".
Seulas senyum Zahwa tunjukkan untuk menghargainya.

"Udah lebih tenang?".
Dana duduk disebelah Zahwa.

"Alhamdulillah, lebih baik. Terimakasih ya, Mas. Maaf sudah merepotkan!".

"Tidak. Kamu sudah aku anggap keluarga sendiri".

Zahwa hanya bisa tersenyum membalasnya. Tak tahu lagi bagaimana caranya membalas kebaikan keluarga Ganendra padanya. Mungkin dengan tidak merepotkan mereka lagi, bisa mencicil sedikit pengorbanan mereka. Setelah ini, Zahwa berniat untuk kembali kerumahnya. Tidak ada alasan lagi untuknya tetap tinggal disana, karena yang ditunggu pun telah kembali.

"Yakinlah, Za. Allah akan memberikan sesuatu yang lebih baik nanti. Jangan merasa sendiri, ada bunda, ayah, Dewi, juga aku".

Lagi lagi cairan bening itu keluar. Bukan karena kehilangan tapi karena kata kata Dana yang membuatnya tenang. Ia masih punya orang orang yang sayang padanya. Dalam hati ia berterimakasih pada orang tuanya, karena menitipkannya pada orang yang tepat.
Dan Dana hanya bisa diam melihat bahu Zahwa bergetar. Ia tak punya hak untuk menyentuh Zahwa. Belum.
                              🌿🌿🌿
Jangan lupa vomment nya..
Nih disenyumin mas dok, jangan sedih lagi Zahwa..

Nih disenyumin mas dok, jangan sedih lagi Zahwa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Penyempurna AgamakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang