topeng

3.9K 213 4
                                    

"Musuh yang nyata sebenarnya adalah orang terdekat kita, bukan lawan kita"
                                    🌿🌿🌿
"Ini rumah pak kades, Wa. Orangnya baik, apalagi kalo ada acara acara gitu, dia ndak perhitungan ngeluarin biaya!".
Nina menunjuk rumah yang paling besar dikampung ini. Agenda pagi harinya untuk memperkenalkan pada Zahwa bagaimana kondisi lingkungan yang akan ditinggali Zahwa dua bulan kedepan.

"Kalo itu apa mbak?".
Zahwa menunjuk sebuah gubuk kecil ditengah sawah.

"Oh.. itu buat istirahat para petani, Wa. Sederhana aja, tapi kalo kamu udah duduk disana.. wushhh... semilir banget angine!".

"Oh ya? Jadi pengen kesana deh!".

"Yaudah ayo. Jalannya hati hati yo!".

Nina mengajak Zahwa berjalan melewati persawahan yang menyejukkan mata. Penyatuan antara langit biru dan sawah hijau begitu mempesona.

"Nduk Nin, karo sopo iku?".
(Nak Nin, sama siapa itu?)
Tanya lelaki paruh baya yang membawa cangkul dipundaknya.

"Niki lho pak dhe, putune mbah Darma saking kota!".
(Ini lho paman, cucunya kakek Darma dari kota)

"Walah ayune".
(Wah.. cantiknya)

"Inggih. Monggo pak dhe!".
(Iya. Mari paman)

Akhirnya mereka sampai di sebuah gubuk kecil ditengah sawah. Zahwa bersyukur bisa merasakan ketenangan disini. Angin yang kencang menambah kenyamanannya disini. Terkadang ia lupa bersyukur karena lebih banyak mengeluh. Astaghfirullahaladzim. Ia tidak akan lupa lagi.

"Jadi kamu tinggal sendiri disana? Apa ndak ada temen gitu?".

"Ya siapa, mbak Nin? Kadang ada sih temen yang nginep".

"Tetap bersyukur, Wa. Semua ada hikmahnya, jangan banyak mengeluh!".

"Insyaallah, mbak. Oh ya, semalem aku nemu foto bayi gitu dikamar kakek. Tapi bukan foto aku. Mbak Nin tahu siapa yang ada di foto itu?".
Tanya Zahwa. Ia mengingat ada foto hitam putih di laci nakas.

"Wah aku ndak tau e. Coba nanti tak tanya sama mbok!".

"Zahwa!".

"Ghifar?".
Kedua alis Zahwa bertaut. Merasa heran bagaimana Ghifar bisa ada disini.

"Lo ngapain disini?".
Tanya Ghifar.

"Aku liburan. Kamu sendiri?".

"Gue juga lagi liburan sama temen gue didekat sini. Kebetulan banget ya".

"Iya. Oh ya, ini mbak Nina. Tetangga sebelah rumah kakekku!".

"Oh. Hai".

Ghifar tersenyum penuh arti. Rencananya berjalan dengan mulus. Dia tidak mau terlalu terburu buru untuk menjalankan misinya. Perlahan tapi pasti, semuanya akan ia dapatkan. Tanpa memikirkan bagaimana perasaan orang terdekatnya nanti. Masa bodoh dengan orang lain. Jika orang tuanya saja bisa menyakitinya, bagaimana dengan orang lain? Jadi dia harus bertindak menyakiti terlebih dahulu sebelum orang lain menyakitinya.
                                   🌿🌿🌿
      Ucapan Zahwa tempo hari tentang perasaannya membuat Dana mundur teratur. Disini hanya ia yang punya rasa, disini hanya dia yang berharap. Untuk apa lagi dia memaksakan perasaannya. Daripada dia mengejar sesuatu yang tak mungkin ia dapatkan, lebih baik ia menerima apa yang ada didepan mata. Dr. Hima misalnya. Sejak dia berhijab, sikapnya makin kalem. Tak ada sapaan ceria di pagi hari seperti biasa. Hanya senyuman singkat yang Dr. Hima lemparkan. Akhir akhir ini Dana berpikir jika ia ingin menikah muda. Dua puluh enam tahun usianya. Tak ada yang melarangnya juga. Tapi ia belum menemukan calon pasangan yang pas. Kadang juga ia berpikir, apakah Dr. Hima jodohnya? Namun ia belum mendapat jawaban dari sholatnya.

"Pagi, dokter Aksa!".

Sapaan dari salah satu pegawai RS menyadarkannya dari lamunan singkat. Ia sedang berada di kantin RS untuk membeli sarapan karena nasi goreng yang ia makan dirumah dirasa telah hilang. Hingga rasa lapar kembali menyergapnya.

"Pagi!".
Jawabnya.

"Dr. Aksa cocok loh sama Dr. Hima. Kenapa nggak dijadiin aja?".
Pegawai yang bernama Toro duduk didepan Dana dengan membawa segelas teh hangat.

Dana terkekeh. Ini pertama kalinya ada orang yang dengan terang terangan menanyakan hal itu padanya.

"Dijadiin apa sih, pak?".

"Istri gitu. Seumuran, ganteng cantik, profesi juga sama, nggak ada alasan lah buat nolak. Lagipula saya lihat Dr. Hima sudah berhijab sekarang. Bukankah itu yang Dr. Aksa cari? Maaf loh ya saya lancang!".

"Itu sih urusan hati ya, pak. Bukan masalah fisik atau materi".

Tono manggut manggut. Kalo dia jadi Dana, pastilah tidak akan menolak. Tapi tipe orang berbeda beda. Ia bisa memaklumi. Yang terpenting, ia sudah punya gosip hot untuk diceritakan pada pegawai lain hari ini.

"Saya saranin jangan kelamaan. Sebagai yang lebih dewasa, saya hanya mau berbagi cerita sih sedikit".

Tono menyesap sedikit teh hangatnya kemudian mengusap bibirnya.

"Adik saya laki laki. Dia menyukai perempuan. Sama sama suka, tapi adik saya belum siap melamarnya. Beberapa hari kemudian, ada kabar jika perempuan itu meninggal kecelakaan. Sampai sekarang, adik saya belum mau menikah dengan orang lain!".

Dana terdiam. Membayangkan bagaimana jika itu terjadi padanya dan Zahwa. Bagaimana jika ia menyesal dan bernasib sama seperti adik Toro. Dia berdeham sejenak menghilangkan segala pikiran jeleknya. Allah tau apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Lagipula takdir orang kan berbeda. Semoga saja takdirnya baik.

"Ya.. beri dia nasehat secara halus, ajak dia sholat dan selalu meminta pada Allah yang terbaik untuknya!".

"Terimakasih. Saya permisi dulu!".
Toro beranjak pergi setelah meneguk habis tehnya.

Dana kembali berpikir. Apakah ia harus mencoba lagi bertanya pada Zahwa? Tapi bukankah sudah jelas Zahwa menolaknya. Lagi lagi dilema menyerangnya. Seperti anak remaja yang merasakan cinta pertama, ia bimbang. Sepertinya ia harus sholat istikharah lagi malam ini. Berharap secepatnya Allah memberikan jawaban.
                                   🌿🌿🌿
Yuhu....
Author lagi sakit nih😩 tapi berusaha buat update.
Maapin kalo pendek ya..
Jangan lupa vomment nya yups!
Bubay!!!

WritingProjectAE

Penyempurna AgamakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang