Hari Kedua

5.6K 312 2
                                    

      Zahwa melipat mukena dan mengembalikannya ke almari musholla sekolahnya. Setiap selepas sholat, hatinya merasa tenang. Masalah yang begitu berat seperti menyingkir dengan sendirinya ketika ia mulai melafalkan niat. Setelahnya, ia berpamitan pada beberapa orang masih berbincang ringan disana. Jam pulang sekolah telah berbunyi beberapa menit lalu. Pantas saja sekolah sudah kosong melompong. Ia lupa meminta Radea untuk menunggunya. Jika biasanya ia dijemput oleh ibunya, sekarang ia harus berjalan lebih dari dua kilometer.
Sembari berjalan, hatinya terus menyebut nama Allah. Berdoa meminta keselamatan sampai rumah. Hampir saja ia lari saat ada motor berhenti disampingnya. Waspada jika itu penculik.

Dari pagi pikirannya diculik mulu, Wa. Efek deket sama mas dok ya?

"Zahwa kan?".
Tanya si pengendara setelah membuka kaca helmnya. Gadis berlesung pipi itu tersenyum.

"Ah iya. Maaf siapa ya?".

"Aku Dewi. Kamu lupa?".

"Ya Allah maaf maaf, Wi. Duh.. aku nggak nyangka kamu di indonesia!".

Dewi melirik jok belakang motornya.
"Naik, Wa. Aku anterin. Sekalian mau ngobrol!".

"Iya!".

Tak sadar keduanya telah sampai di rumah penitipan Zahwa. Zahwa mengajak Dewi duduk di kursi yang berada di samping rumah. Ia tak berani memasukkan orang sembarangan tanpa izin sang tuan rumah.

"Jadi kamu kapan pulang dari Amrik?".
Tanya Zahwa.

"Baru kemarin. Aku nggak betah disana, Wa. Pergaulannya itu loh masya allah!".

Zahwa mengangguk. Bukan hal yang mudah hidup di negara dengan mayoritas nonmuslim. Pasti ada saja godaan dan seruan yang seakan menjerumuskan. Ia pun pernah sekali ikut ayahnya ke singapore, dan ia kapok. Melihat bagaimana interaksi lawan jenis yang begitu lupa daratan, dijalanan pula. Walaupun ia tak menampik kadang di negara sendiri pun masih ada hal semacam itu. Setidaknya mereka muslim. Hanya perlu dirangkul untuk kembali ke jalan yang benar.

"Iya sih, aku ngeri juga kadang. Jadi rencana mau pindah sekolah disini gitu?".

"Iya. Ke sekolah yang sama kaya kamu!".
Ujarnya. Tangannya mengeluarkan bingkisan dari tasnya dan mengulurkannya pada Zahwa.

"Buat aku?".

"Iyalah. Cuma oleh oleh sederhana sih!".

"Makasih ya. Ngerepotin!".

"Loh ada tamu kok nggak diajak masuk, Za?".
Suara bariton mengalihkan perhatian mereka. Dana baru pulang dari RS, kelihatan dari barang bawaannya, snelli.

"Zahwa nggak berani, Mas. Kan bukan tuan rumah!".
Ujarnya pelan. Jangan lupakan kepala yang ia tundukkan saat berbicara dengan Dana.

Tidak seperti Dewi. Entah khilaf atau memang sengaja, Dewi malah bengong menatap Dana.

"Nggak papa. Masuk aja, kan udah dibilang anggap aja rumah sendiri. Ayo dek masuk!".
Dana beralih pada gadis sebaya Zahwa yang masih belum sadar. Ia sedikit mengangkat sebelah alisnya. Heran dengan gadis berhijab yang sangat berbeda dengan kepribadian Zahwa.

"Astaghfirullahaladzim Dewi! Pandangan kamu!".
Tegur Zahwa.

Dewi gelagapan. Antara malu dan menyesal telah memandang lawan jenis berlebihan. Segera ia lafalkan istighfar dalam hati secara berulang.

"Mari masuk!".
Ajak Dana sekali lagi.
                             🌿🌿🌿
       Suara lantunan ayat suci Al Qur'an mengalun merdu dari bibir Zahwa selepas sholat maghrib. Ia selalu mengusahakan minimal satu hari satu juz. Dan sudah ia jalani sejak kecil. Setelah ayat terakhir juz 23 dilantunkan, ia menutup Al Qur'an nya dan menaruhnya di tempat semula, begitu juga mukenahnya. Ketukan pintu membuatnya bergegas memakai jilbab instannya. Bunda Dina tersenyum didepan pintu.

"Sudah selesai sholatnya?".

"Iya, Bun sudah!".

"Alhamdulillah. Makan malam yuk, Aksa sama Ayah Darto udah nunggu!".

Zahwa tersenyum canggung. Merasa tidak enak harus membuat mereka menunggu dirinya.

"Maaf ya, Bun. Zahwa jadi nggak enak!".

Dina merangkul pundak Zahwa sembari menuruni tangga. Menepuknya pelan seperti yang ia lakukan pada Aksa.

"Suara kamu indah sekali waktu mengaji. Nggak sia sia bunda nunggu kamu didepan pintu!".

"Bunda bisa aja. Suara bunda pasti lebih merdu dari Zahwa, kan?".
Keduanya tertawa.
Melupakan status mereka yang awalnya hanya orang asing. Namun sekarang, mereka sudah merasakan seperti keluarga.
Seperti yang dikatakan Dina, Dana dan Darto telah duduk manis di meja makan.

"Maaf ya, Yah, nunggu lama!".

"Biasa aja, Wa. Ayo makan!".

Perasaan Zahwa menghangat. Segala keresahan yang ia pikirkan sebelum pindah kesini hilang begitu saja. Melihat bagaimana keluarga ini saling menyayangi dan menghargai. Ia jadi rindu pada ayah dan ibunya.

"Makan, Za!".
Ujar Dana.

"Ah.. i iya!".

Makan malam terasa begitu khidmat. Sampai tak terasa, hanya tinggal Zahwa dan Dana di meja makan.

"Besok mau kemana?".
Tanya Dana memecah keheningan.

"Kemana? Zahwa dirumah, kan libur!".

"Iya tau. Nggak mau hang out sama temen?".

Zahwa mengangguk mengerti maksud Dana.
"Liburan versi Zahwa ya diem dirumah, Mas. Tidur!".

Dana tergelak. Satu lagi fakta bahwa Zahwa tidak menyukai hal hal yang melelahkan dan tak begitu bermanfaat.

"Kenapa?".

"Capek. Lagian keluar ngapain? Paling juga pada sama pacarnya, dosa. Mending dirumah aja, belajar, ibadah!".

"Kalo aku ajak pergi nggak mau dong berarti?".

Zahwa mengernyit.
"Kemana?".

"Pernikahan temen, Mas. Males kalo datang sendiri".

Zahwa dilema. Ia malas pergi jika hari minggu. Waktu yang biasanya ia gunakan untuk istirahat. Tapi menolak juga kesannya tidak menghargai. Dua kali berpikir, akhirnya Zahwa mengangguk yang berefek Dana tersenyum lebar.
                             🌿🌿🌿

Author minta maaf jika ada kesalahan..
Minta kritik dan saran untuk bisa lebih memperbaiki diri kedepannya..
Bubay...

Penyempurna AgamakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang