#Small_Hours part 1
Bersamaan dengan runtuhnya tembok Berlin
Iva memandang ke arah obyek gosip teman-temannya. Seorang anak lelaki seusianya -tinggi,kurus, dan kalau saja ekspresi dia tidak semasam itu mungkin Iva akan menilai dia cukup tampan- yang sedang berjalan terburu-buru melintasi lapangan SMP tempat mereka sekolah.
"Katanya bisa-bisa dia ga naik kelas karena nilai pendidikan moral dan bahasa Indonesia dia jeblok."
"Kok bisa? Padahal terpilih jadi pengurus OSIS kan?" sambar yang lain.
"Itulah, mungkin kebanyakan eksis di OSIS jadi kedodoran."
"Siapa tadi namanya?" ada yang menyela.
"Ryo." sahut yang lain.
"Blablabla blablabla..."
"Blablabla..."Iva menjauh dari gerombolan, merasa topik bahasan mereka sama sekali tidak menarik. Dan otaknya dengan segera menghapus rekaman memori barusan, seperti halnya setiap anak berusia tiga belas tahun yang tidak tertarik pada suatu hal.
Pagi itu, ketika awal cerita ini dimulai, ketika pertamakalinya Iva melihat Ryo, terjadi bersamaan dengan hari diruntuhkannya tembok Berlin di Jerman.
****
Setahun kemudian, ketika Iva sudah naik ke kelas 2 SMP, nama Ryo kembali menjadi bahasan. Konon dia sudah menyebabkan banyak keributan karena menantang berkelahi seorang guru. Entah apa penyebabnya.
Iva hanya menyimak sementara teman-teman perempuannya masih membahas Ryo. Ketika Iva berusaha keras mencukil memorinya untuk mengingat sosok Ryo -karena dia yakin pernah mendengar nama ini,tapi entah tentang apa- tiba-tiba yang menjadi obyek gosip melenggang melewati depan kelas mereka.
Celotehan teman-teman perempuannya langsung reda. Sementara sebuah 'aha!' menyala di otak Iva. Ya ya, Iva ingat kembali wajah masam itu. Sedikit lebih tinggi dari pertamakali Iva melihatnya, namun wajahnya tak berkurang kemasamannya. Iva lebih terheran-heran mengenai roman wajah anak laki-laki itu dibanding gosip yang menyelimuti sosoknya.
Tapi sekali lagi, karena ini bukan hal yang menurut Iva cukup menarik, maka sosok Ryo kembali tenggelam tanpa teringat lagi.
****
Sampai ketika Iva sudah di kelas 3, menjelang ujian akhir, Ryo kembali masuk frame. Dan kali ini Iva melihat dari jarak dekat.
Bermula ketika Tika, teman sebangku Iva meminta untuk diantar ke kelas 3E. Iva setuju saja, sebab 3E ada disamping kantin. Bisa sekalian mencari jajanan. Namun ternyata Tika tidak mau ditinggal sendiri, dia meminta Iva ikut ke kelas 3E terlebih dahulu sebelum ke kantin.
"Kan deket, ngapain mesti aku tungguin?" Iva mengelak malas. Tika menarik tangannya tanpa peduli protesan Iva. Terseret-seret, Iva bertanya, "Mau ngapain sih ke 3E?"
"Nganterin ini." Tika mengacungkan selembar amplop pink yang Iva yakin pasti baunya harum.
Tanpa bermaksud ingin tahu berlebihan, hanya sekedar menambah percakapan, Iva kembali bertanya, "Surat dari siapa untuk siapa itu?" karena Iva tahu Tika bukan orang yang senang surat menyurat, maka dia yakin Tika hanya dititipi.
"Dari Karina."
Iva tahu betul siapa Karina. Kakak kelas mereka yang sudah lulus tahun kemarin. Cantik. Sangat populer. Banyak penggemarnya. Betul-betul golongan 'selebriti'. Tidak ada lelaki yang tidak melirik dua kali ketika Karina lewat di depan mereka. Karina dan Tika bertetangga, rumah mereka bersebelahan. Maka wajar Karina menitip pada Tika. Tapi siapakah yang beruntung bisa bertukar surat dengan Karina?
"Ooow...untuk?" sekarang ada sedikit rasa penasaran yang mendorong Iva lanjut bertanya.
"Ryo." jawab Tika yang sudah sampai di pintu kelas dan malu-malu melongok ke dalam. Iva agak bengong, sebelum kemudian terkesiap. Haaah??? Ngapain Karina mengirim amplop warna pink dan wangi itu untuk seseorang macam Ryo??
No offense, tapi seandainya Iva punya kualitas seperti Karina, maka Iva pasti akan mencari seseorang yang lebih dari Ryo. Seseorang yang mirip seperti Joey Mcintyre misalnya, personnel New Kids on the Block kesukaannya, boyband yang sedang tenar-tenarnya saat itu.
Tapi lalu Iva menyadari bahwa untuk Joey Mcintyre, perlu sepuluh orang seperti Karina bergabung menjadi satu. Maka Iva -melambaikan tangan karena merasa bodoh- lalu memutuskan mengikuti Tika.
Setibanya di samping Tika, Tika masih celingukan. Namun akhirnya menemukan orang yang dia cari, lalu berseru sambil melambaikan tangan, "Ryooo..."
Anak laki-laki berwajah masam itu tiba di hadapan mereka. Melipat tangan di dadanya, seolah sesi bengongnya tadi sangat penting sehingga kedatangan Tika dan Iva terasa mengganggu.
"Ada apa lagi?" ketusnya. Iva mencatat ada kata 'lagi' yang bagi Iva menunjukan bahwa bukan pertama kalinya Tika menemui Ryo. Mungkin ini bukan surat pertama dari Karina untuk Ryo.
"Ini." Tika menyodorkan amplop warna pink tadi. Ryo tampak enggan -atau pura-pura enggan- (Iva mendengus sebal melihat gayanya) mengulurkan tangan menerima amplop itu.
"Buat apa lagi ini?" masih ketus dan Iva merasa cowo itu arogan sekali. Iva takjub Tika tidak tersinggung dan tetap melanjutkan berbicara menyampaikan pesan Karina.
Tanpa bisa dicegah Iva mendelik ingin melihat roman Ryo lebih jelas agar bisa mengukur bahwa dia memang menyebalkan seperti dugaannya, dan hampir memekik kaget karena pada saat yang sama Ryo melirik ke arahnya.
Buseeet dah, Iva menggerutu dalam hati. Itu sorot mata atau pisau cutter? Tajem bener. Iva tergoda untuk meraba daerah sekitar matanya, khawatir dia mengalami luka betulan setelah bertatapan sekilas dengan Ryo barusan. Ryo masih memperhatikannya, dengan sorot matanya yang mengandung kejutekan dosis tinggi, sambil mendengarkan Tika. Tatapan Ryo membuat Iva merasa seperti sedang dimarahi, maka tanpa menunggu persetujuan Tika, Iva langsung ngibrit ke kantin. Toh dia juga tidak terlibat, dan tidak tertarik, dalam percakapan mereka berdua.
Apa sih yang Karina lihat dari cowo itu, Iva berpikir setelah kembali ke kelas. Pertemuan singkat barusan memberi kesan bahwa Ryo adalah cowo menyebalkan, pemarah, tidak sabaran dan sok keren. Kesan sok keren Iva tambahkan, karena melihat Ryo yang manyun tampak tidak suka padahal seharusnya dia senang sudah menjadi pusat perhatian Karina. Lagipula Karina juga aneh, bisa-bisanya menyukai Ryo yang jutek maksimal begitu.
Tapi sudahlah itu kan masalah selera, Iva manggut-manggut sendiri sambil menyuapkan potongan cireng terakhir sebelum bel tanda istirahat berakhir.
Tanpa terbersit sedikit pun di benaknya bahwa itu bukan kali terakhir dia berurusan dengan anak laki-laki berwajah masam itu.
***
...Electric youth
Feel the power
You see the energy
Coming up
Coming on strongThe future only belongs
To the future itself
In the hands of itself
And the future isElectric youth
It's true
You can't fight it
Live by it
The next generationIt's electric...
(Debbie Gibson, Electric Youth)***
Assalamualaikum
Okeee, this is my second novel ya Gals. Frankly, I can't believe that I dare to write another one #LOLHopefully you all like it. Setting masih akhir abad 20, haha. Yeah, I'm old, I knooow wakakakaka...
Btw I would really really appreciate if you all please vote on every part you read as your support on my work #salim
Sebelumnya, thanks a bunch for reading my story #kiss #kiss
Sip, happy reading Gals #ketjupbasyah
KAMU SEDANG MEMBACA
Small Hours
Teen FictionRanking #1 amatir (7/7/18) Ranking #3 komitmen (11/7/18) Ranking #133 sekolah (8/7/18) Ranking #138 teenlit (8/7/18) Kesan pertama Iva ketika melihat Ryo sewaktu di SMP adalah : ga banget. Ryo yang terkesan songong, jutek, sok playboy, sok keren bet...