#Small_Hours part 23
"...Next time you're faced with a choice, do the right thing. It hurts everyone less in the long run..."
"...Jika lain kali engkau dihadapkan pada pilihan, lakukan hal yang benar. Itu lebih sedikit menyakiti semua orang dalam jangka panjang..."
(Flipped, Wendellin Van Draanen)"Ryo, aku cuma mau nanya sekali lagi, dan aku janji ga kan membahas tentang ini. Ever."
Raut wajah Ryo berubah, sebuah antisipasi terbangun, "Oke..."
"Apa," Iva menggelengkan kepala dan tertawa kecil, "perasaan kamu sebenernya ke aku, selama ini?"
Ryo menatap Iva nanar.
Hening.
Hening terlalu lama.
Kemudian Ryo menghela nafas, terlihat menelan ludah beberapa kali.
"Va..."
****
Senin menjelang siang.
Kautsar tampak kaget melihat Iva muncul di gerbang. Cowo itu tengah bermain gitar di depan kamar Bang Joe. Dia meletakkan gitar, segera berjalan menghampiri Iva.
"Sini." dia meraih tas jinjing Iva yang berisi pakaian bersih. Jumat kemarin, ketika pulang ke rumah, Iva belum sempat mencuci sehingga membekal pakaian kotor untuk dicuci di rumah saja.
Iva membiarkan Kautsar membawakan barangnya. Tersenyum hangat saat mereka bertemu pandang.
"Katanya mau balik lagi Selasa." katanya.
"Aku bilang paling lambat Selasa."
"Kok kemaren aku telepon ga bilang mau pulang sekarang."
"Biar surprise."Kautsar mengangguk. Setelah Iva membuka pintu kamar, cowo itu meletakkan tas, lalu berdiri menghadap Iva, "Makan malem biasa?"
"Iya. Aku mau ke kampus dulu sebentar lagi." angguk Iva. Mungkin nilai sudah ada yang keluar lagi. Kemarin Iva dan teman-temannya janjian akan bertemu di kampus Senin siang.
Kautsar beranjak kembali ke kamarnya. Dalam perjalanan ke sana dia menengok dua kali ke arah Iva yang masih berdiri di pintu.
Bagaimana bisa sosok yang cool dengan wajah yang seringkali sulit terbaca emosinya itu bisa terasa hangat sekali? Tanpa merubah gaya dan raut wajahnya. Luarbiasa.
Iva membuka sepatu, masuk ke kamar untuk merapikan pakaian dan berganti baju. Bersiap pergi ke kampus, padahal sebenarnya malas sekali keluar di waktu sekarang. Matahari mulai terik sekali. Hanya sejam lagi menjelang dzuhur.
Untung Tommy, yang mempunyai motor, juga akan ke kampus. Dengan dijanjikan seporsi cilok oleh Iva, cowo itu mengajak Iva pergi bersama.
Lumayan tumpangan gratis. Eh, tidak gratis dong, kan harus dibayar seporsi cilok.
Saat naik ke jok belakang Tiger 2000 milik Tommy, Iva menengok ke arah Kautsar. Melambaikan tangan. Cowo itu membalas halus, seperti takut ketahuan oleh sekeliling dia yang ramai. Imut sekali.
Sesampainya di kampus, ternyata masih ada dua nilai belum keluar.
"Hadeeh, banyakan C sama B gini, ga kebagean A satu acan!" gerutu Donna.
"Pacaran mulu, sih." timpal Sofi julid. Iva ngakak lalu tos dengan Sofi. Donna cemberut kesal, merebut daftar nilai Iva.
"Kamu juga sama aja nilainya sama aku, Ivaa...!"
"Emang." Iva terbahak makin keras. Mengajak Sofi tos lagi, tapi cewe bergigi gingsul itu menatapnya dengan sorot mata dingin. Malu hati, Iva menurunkan tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Small Hours
Teen FictionRanking #1 amatir (7/7/18) Ranking #3 komitmen (11/7/18) Ranking #133 sekolah (8/7/18) Ranking #138 teenlit (8/7/18) Kesan pertama Iva ketika melihat Ryo sewaktu di SMP adalah : ga banget. Ryo yang terkesan songong, jutek, sok playboy, sok keren bet...