#Small_Hours part 2
Tas kanvas dengan flap suede
Hari itu awal masuk SMA, masih mengenakan seragam putih-biru, Iva diantara ratusan siswa baru lainnya berdesak-desakan mencoba membaca papan pengumuman tempat daftar kelas ditempelkan.
Kelas 1-6.
Iva melihat namanya tercantum di kelompok kelas 1-6. Tanpa banyak menunda Iva langsung mencari kelasnya. Sudah cukup banyak yang hadir di dalam kelas. Iva memilih bangku yang pertama dia lihat, yang sudah diduduki seorang anak perempuan yang pada kesan pertama tampak canggung dan pemalu. Namun setelah berkenalan dan berbasa-basi, Iva menemukan bahwa dia cukup kocak dan menyenangkan. Namanya Uli. Seperti makanan yang terbuat dari ketan.
Kelas sudah hampir penuh, ketika kemudian siswa terakhir muncul. Dan Iva mendecit kaget melihat siapa dia. Ryo.
Baru membayangkan saja bahwa setahun ke depan akan satu ruangan dengan Ryo, membuat Iva sedikit merinding dan mulas. Tapi sudahlah, siapa tahu mereka tidak diharuskan terlibat bersama dalam satu kegiatan kelas apapun. Masih ada harapan. Langit di luar masih biru. Haha.
Tapi semesta tampaknya sedang menggoda Iva. Ryo tidak menemukan bangku lain yang masih kosong selain di bangku sebelah bangku yang diduduki Iva dan Uli.
Kalau saja Iva ini tokoh dalam komik jepang, maka akan ada keringat besar menggantung di kepalanya yang berubah warna sebagian menjadi biru. Why? Whyyyy??
Kesibukan di masa-masa orientasi sekolah membuat Ryo dengan wajah masam dan gayanya yang perpaduan antara (sok) cool serta sinis itu tidak terasa mengganggu bagi Iva. Apalagi banyak kakak kelas yang tampak keren dalam seragam putih-abu. Mereka terlihat pandai dan lebih dewasa. Uli sama bersemangatnya dengan Iva, setiap saat cuci mata memilah-milah mana kakak kelas yang menurut mereka imut dan layak dijadikan kecengan (ecieeeeeee, ketahuan tua amat ya pakai istilah 'kecengan').
Tapi setelah mereka berganti seragam dari putih-biru menjadi putih-abu dan kegiatan belajar mengajar mulai normal, Iva kembali menemukan bahwa Ryo -uuuugh- seringkali bertingkah mengesalkan.
Meminjam penghapus atau tip-ex dengan galak misalnya, padahal benda-benda itu milik Iva atau Uli, "Sini pinjem penghapus! Cepetaaan. Mau minjemin ga?"
Bah!!Tiba-tiba terlihat jengkel dan kesal pada sekeliling dia misalnya, sehingga orang-orang disekitar Ryo akan menyingkir mencari tempat aman daripada terkena jilatan aura juteknya yang panas dan pedas bagai sambal korek level 10.
"Minggir, minggir. Ryo lagi pms." seringkali Tora dan yang lain memberi peringatan.Menghina-hina kakak kelas yang menurut mereka keren misalnya, padahal kan hak Iva atau Uli ya untuk menentukan mana yang keren atau tidak keren versi mereka.
"Uliiiiiii ga punya mata yaaa? Apa kerennya si iksan itu? Cungkring, lemes, kena angin dikit bisa langsung jeblak."
"Doni itu Va, ga ada keren-kerennya deh! Selera kamu minimal banget siiih...!"
Tajem. Nyebelin! Kayak dia kegantengan aja.Uli bahkan sering mendecit dan beristigfar bila Ryo menengok ke arah mereka. Khawatir Ryo akan meminjam sesuatu dengan galak, atau mengomentari sesuatu dari mereka dengan gaya sinis yang udah disetel maksimal. Kadang Ryo jadi tertawa sendiri dan tidak jadi meluncurkan peluru juteknya ketika Uli melakukan itu, tapi lain waktu dia bisa menjadi super judes dan menghardik Uli, "Emangnya gue setan??" yang membuat Uli makin mengeraskan bacaan doanya.
Bagaimana ya cara menerangkan dengan mudah Ryo ini? Mungkin apabila pada jaman itu sudah ada drama Korea, bisa jadi Ryo itu seperti Gu Jun-pyo di Boys Over Flower atau Choi Han-kyul di Coffee Prince yang reseh menyebalkan gimana gitu. Minus kerennya loh ya. Tetap jauh lebih keren Lee Min Ho dan Gong Yoo yang memerankan tokoh-tokoh itu kemana-mana lah. Walaupun tentu saja Ryo juga tidak bisa disebut jelek, setidaknya cewe sekelas Karina menganggap dia keren. Tapi kalau boleh jujur ya, Iva masih sering kebingungan kenapa Karina bisa menyukai Ryo. Andaipun memang Ryo keren seperti pendapat Karina, tapi kejutekannya dan kemasaman wajahnya yang melebihi cuka dapur dua ember itu tidak menjadikan Ryo keceng-able. No, no.
Karena bangku mereka yang berdekatan, mau tidak mau interaksi antara Iva dan Uli dengan Ryo juga terjadi lebih banyak dibanding dengan yang lain. Dan karena bangku mereka berdekatan pula, maka harapan Iva di awal masuk SMA dulu supaya mereka tidak sampai terlibat kegiatan yang sama dalam kelas, tidak terwujud. Berkali-kali mereka diharuskan berada di kelompok belajar yang sama. Uli sering mengerang dengan kesal setiap kali diumumkan bahwa mereka satu kelompok. Tapi apa daya, takdir sudah menentukan begitu.
Iva tidak menafikan bahwa Ryo, kalau sedang baik moodnya, adalah orang yang menyenangkan dan asyik diajak bicara. Kadar kekocakan dia juga lumayan. Selera musiknya bagus (penting ya?). Sayangnya entah kenapa Ryo lebih sering masam dibanding manis. Dan Iva tidak pernah menyukai apapun yang asam. Bahkan buah-buahan yang dia pilih untuk rujak pun, Iva akan memilih buah-buahan yang manis. Itu baru rujak loh ya. Apalagi teman, tentu Iva lebih suka yang manis. Iva sering merasa harus berhati-hati membaca suasana hati Ryo sebelum berinteraksi dengannya. Ryo seperti cuaca pulau tropis yang sulit diramal. Dan Iva tidak pernah suka meramal cuaca.
Lalu apa yang membuat Iva akhirnya malah menyukai Ryo?
Aaaaaaaarrrggh andai saja Iva juga tahu kenapa...
Iva tidak tahu sebabnya. Perasaan itu tiba-tiba saja muncul. Out of nowhere. Ujug-ujug. Dan pliiiiisss oh pliiiiisss, Iva sendiri kalang kabut sewaktu menyadarinya. Kenapa mesti Ryo? Why? Whyyyyy???
Awalnya, sewaktu Iva punya tas baru. Merek expo** yang happening pada masanya. Modelnya tas messenger, dengan material kanvas untuk body tas dan suede lembut untuk flapnya. Keren deh, seriusan. Dan seperti anak-anak seusia itu pada umumnya pada jaman itu, teman-teman Iva heboh meledek-ledeki tas baru Iva. Untung tas baru, kalau sepatu baru pasti habis diinjak rame-rame. Tapi toh tetap saja mereka akhirnya ikut mengagumi tas keren itu. Mengelus-elus flapnya yang lembut. Uli bahkan menempelkan pipinya bolak balik, bikin Iva khawatir minyak di pipi Uli menempel permanen di tasnya.
Lalu pas jam istirahat, mereka duduk mengitari meja Iva. Dan Ryo mepet duduk satu kursi disebelah Iva. Tidak ada yang aneh karena sebelum-sebelumnya juga sering begitu. Dan Iva juga sering duduk mepet dengan yang lain saat nongkrong. Pokoknya biasa aja deh. Sampai ketika Tora memberitahu bahwa kalau suede di tas Iva akan berubah warna kalau dielus ke arah yang berlawanan. Iva dan Ryo berbarengan bergerak mengulurkan tangan untuk mengelus seperti saran Tora.
Dan, sret! Tangan Iva dan Ryo bersentuhan. Tidak terlalu nempel, tapi jelas bersentuhan. Dari siku sampai kelingking. Iva terkesiap kaget, bersiap menarik tangannya menjauh. Tapi sesuatu yang aneh terjadi. Iva tidak jadi melakukan itu, karena Ryo tidak bergeming. Ryo membiarkan tangan mereka bersentuhan. Iva bisa melihat dari sudut mata wajah Ryo memerah, dan Iva curiga wajah dia juga memerah karena wajahnya terasa panas. Akhirnya Iva memutuskan untuk membiarkan tangannya tetap disana, seperti juga Ryo tidak memindahkan tangannya. Mereka melanjutkan berbicara dengan yang lain, tapi tidak satu sama lain. Cukup lama keadaan itu berlangsung, karena seingat Iva, Ryo baru beranjak ketika bel tanda istirahat berakhir berbunyi.
Oke, dari situ keadaan menjadi tambah aneh.
Makiiiin aneeeeh...
Iva tidak tertarik lagi dengan para kakak kelas yang semula dia nilai keren-keren. Iva mulai menemukan dirinya sedikit khawatir saat Ryo belum muncul padahal bel sebentar lagi berbunyi. Iva jadi sering tanpa bisa menahan diri melirik ke arah Ryo saat pelajaran berlangsung. Iva jadi merasa jengkel bila melihat Ryo berbincang dengan gaya sok playboy dengan anak perempuan lain.
Pokoknya aneh.
Iva merasa tidak seperti dirinya sendiri. Iva lebih sering memikirkan Ryo dibanding memikirkan Doni, kakak kelas yang masuk tim basket sekolah, yang Iva nobatkan sebagai kecengan utama dia. Iva lebih sering melamunkan Ryo dibanding melamunkan Iijuuin Shinobu, letnan ganteng yang sedang dia idolakan dari komik jepang Miss Modern.
Ini suatu kesalahan besaaaar...
Maksudnya, ooowh c'moooon. Ini Ryo loh! Ryooo! Cowo paling tidak keceng-able dalam kamus perkecengan Iva.
Iva butuh curhat. Butuh berbagi penderitaan. Maka suatu saat sepulang sekolah, Iva membisiki Uli mengenai masalah yang dia hadapi. Uli berjanji membantu. Dan berjanji untuk tidak mentertawakan masalah Iva.
Maka Iva menguatkan hati, berbisik, "Li, kayaknya aku suka Ryo."
Uli membelalak ngeri lalu memekik, spontan melompat mundur menjauhi Iva. Lompatan yang mengantar dia tercebur ke dalam got.
Oke, oke, melihat reaksi Uli yang dahsyat Iva paham bahwa kondisinya sungguh parah.
Iva merasa sangat merana.******
KAMU SEDANG MEMBACA
Small Hours
Teen FictionRanking #1 amatir (7/7/18) Ranking #3 komitmen (11/7/18) Ranking #133 sekolah (8/7/18) Ranking #138 teenlit (8/7/18) Kesan pertama Iva ketika melihat Ryo sewaktu di SMP adalah : ga banget. Ryo yang terkesan songong, jutek, sok playboy, sok keren bet...