#Small_Hours part 27
"My heart stopped. It just stopped beating. And for the first time in my life, I had that feeling. You know, like the world is moving all around you, all beneath you, all inside you, and you're floating. Floating in midair. And the only thing keeping you from drifting away is the other person's eyes. They're connected to yours by some invisible physical force, and they hold you fast while the rest of the world swirls and twirls and falls completely away."
"Jantungku berhenti. Jantungku berhenti berdetak begitu saja. Dan pertamakalinya dalam hidupku, aku mempunyai perasaan itu. Kau tahu, bagaikan seluruh dunia bergerak di sekitarmu, di bawahmu, di dalam dirimu, dan kau mengambang. Mengambang di tengah udara. Dan satu-satunya yang mencegahmu terhanyut adalah mata orang di hadapanmu. Matanya terhubung dengan matamu oleh suatu kekuatan fisik yang tidak nampak, dan matanya memegangmu erat-erat sementara dunia di sekitar berputar-putar dan menjauh."
(Julie Baker, Flipped, Wendelin Van Draanen)Ada seorang perempuan berkulit putih dan berambut ikal dengan bulu mata lebat alami tengah duduk di kursi itu. Perempuan cantik itu tampak tersipu-sipu terus, melirik bolak balik dengan bahasa tubuh yang salah tingkah, pada Kautsar yang asyik mengetik dengan wajah penuh konsentrasi.
"Va..." Sofi menyenggol lengannya. Tya dan Donna juga langsung menyentuh Iva dengan gerakan kaku. Mereka berempat berdiri berjejer terpaku pada pemandangan yang disuguhkan dari kubik paling ujung itu.
Tiba-tiba, Iva merasa langit tidak begitu cerah lagi.
****
Jantungnya berdegup kencang sekali. Udara mendadak terasa panas. Telinganya berdenging.
Iva tidak bisa memutuskan, apakah dia lanjut melangkah dan menyapa Kautsar, atau mundur teratur diam-diam.
Namun, menilik reaksi fisiknya yang tidak akan mampu diajak berpura-pura tenang, Iva memutuskan untuk mundur teratur. Maka dia mulai berjalan mundur, memberi isyarat agar ketiga temannya mengikuti yang dia lakukan. Untung saja otak mereka tidak selelet Iva, dengan cepat menangkap maksudnya, dan mulai mengendap-endap keluar dari warnet.
Hitungan detik mereka sudah di pinggir jalan, menyeberang terburu-buru dan berjalan cepat-cepat, memutuskan untuk pulang saja ke kost-an Iva dan Tya.
"Itu Rena, kan?" Tya ternyata mengenali juga siapa cewe yang bersama Kautsar tadi.
"Iya." Iva menjawab dengan nafas terengah-engah.
Oke, mari kita bercerita tentang Rena sedikit. Rena yang cantik, putih, tinggi, dengan bulu mata lentik yang saking tebalnya membuat matanya selalu terlihat sayu. Dan dia selalu wangi. Wangi seperti stoberi dan melati.
Sungguh, levelnya jauh di atas Iva.
Apalah kesempatan yang Iva miliki bila harus bersaing dengan seseorang secantik Rena.
Mereka mengenal Rena, di tahun kedua. Rena menjadi salah satu teman kost di kost-an baru Iva dan Tya. Lulus SMA seangkatan dengan mereka, hanya saja baru masuk kuliah di jurusan Sastra Prancis tahun berikutnya. Posisi Rena sekarang sebagai adik angkatan.
Iva selalu melihat Kautsar sebagai cowo ganteng tentu saja. Kalau tidak begitu, mana mungkin dia bisa betah berlama-lama memandanginya. Iva suka sekali melihat rahangnya yang kuat, matanya yang dalam, bibirnya yang tidak tipis juga tidak tebal tapi bentuknya bagus sekali, bahunya lebar dan tegap, dan senyumnya -oh- senyumnya, bisa bikin meleleh. Sikapnya yang dingin dan raut wajah yang tidak terbaca terkesan misterius, tapi itu justru seperti kata Uli dan Anggi dahulu kala : makin dingin makin bikin penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Small Hours
Teen FictionRanking #1 amatir (7/7/18) Ranking #3 komitmen (11/7/18) Ranking #133 sekolah (8/7/18) Ranking #138 teenlit (8/7/18) Kesan pertama Iva ketika melihat Ryo sewaktu di SMP adalah : ga banget. Ryo yang terkesan songong, jutek, sok playboy, sok keren bet...