#Small_Hours part 16
"That love which does not build a foundation on good sense is doomed"
"Cinta yang tidak membangun sebuah pondasi di atas akal sehat itu sebuah malapetaka"
(Atonement, Ian McEwan)Bulan Oktober, dimana dilaksanakan ujian tengah semester, dengan segera berlalu. November pun tanpa terasa habis. Kemudian di bulan Desember, semua mahasiswa bergulat menghadapi ujian akhir semester. Mahasiswa baru seperti Iva, merasakan tekanan yang lebih karena inilah pertama kali mereka ujian di tingkat kuliah. Dan IPK terasa lebih menyeramkan dibanding pembagian raport saat SMA.
Liburan tiba.
Iva menghabiskan liburan dengan bermain bersama Uli dan Anggi setiap hari. Bergantian saling mengunjungi. Berleha-leha seharian menyemil segala macam sambil bertukar cerita.
Iva menceritakan mengenai teori Salman tentang Bang Yoga.
"Gantengkah?" tanya Anggi. Iva berpikir sejenak. Secara pendapat umum, Bang Yoga akan disebut ganteng. Walau bukan tipe yang Iva suka.
"Ganteng."
"Tapi punya pacar. Ga bisa itu. " sambar Uli. Iva mengangguk mengiyakan.
"Ga ada kah yang bisa kamu kecengin, Va? Masa iya kampus seluas itu kamu belum juga nemu yang bisa kamu suka?" tanya Anggi lagi. Seolah orang yang bisa Iva sukai seperti sandal baru atau tas model mutakhir.
"Belum aja kali." Iva mengangkat bahu sedikit tidak peduli.
"Yoga-Yoga itu, kalo dia serius sama kamu, gimana? Kamu mau?" Uli meraup kacang koro dari toples yang dipeluk Iva. Iva menoleh memandangi Uli sejenak sambil berpikir. Lalu menggeleng, "Engga lah! Lagian itu baru teori Salman. Belum ada bukti emang Bang Yoga suka aku."
"Kalo ada bukti?" kejar Anggi. Iva kembali menggeleng yakin. Rasanya tidak benar. Pertama, karena Iva tidak ada perasaan apapun. Kedua, karena menurut Iva agak mustahil Bang Yoga ada perasaan lain terhadapnya. Tidak nyambung. Iva tahu dia bukan tipe cewe yang biasa disukai Bang Yoga. Ketiga, ya itu tadi. Bang Yoga sudah punya pacar. Itu sudah jadi jawaban yang jelas bahwa dia off-limits.
"Kalo kamu pulang ke kost-an, kita ikut nganter yuk, Li." kata Anggi tiba-tiba sambil mendadak duduk, "Kali-kali aja kita bisa liat bentuk Yoga-Yoga ini kayak gimana."
"Hayuuu..." Uli dengan bersemangat menyetujui.
Maka, pada hari terakhir liburan Iva, Uli dan Anggi yang masih punya sisa waktu liburan, sudah siap sejak pagi untuk mengantar Iva pulang ke kost-an.
Mereka naik bis kota, membelah Bandung dari ujung ke ujung untuk menuju Jatinangor.
Menjelang dzuhur mereka sampai di kost-an Iva. Masih sepi, baru ada Iva, kemudian Arin -salah satu penghuni cewe yang dekat dengan Iva, walau tidak seakrab Bang Joe dan Ardi-, Mas Zaid, Tommy, dan Bagus.
Selesai makan siang, Iva mulai membenahi pakaian dari tas jinjing ke lemari. Kemudian menyortir kertas-kertas yang tidak terpakai, sementara Uli dan Anggi bermalas-malasan sambil mendengarkan radio. Wonderwall dari Oasis diputar hampir di setiap stasiun. Saat Iva keluar kamar untuk membuang sampah kertas, dari gerbang muncul Kautsar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Small Hours
Teen FictionRanking #1 amatir (7/7/18) Ranking #3 komitmen (11/7/18) Ranking #133 sekolah (8/7/18) Ranking #138 teenlit (8/7/18) Kesan pertama Iva ketika melihat Ryo sewaktu di SMP adalah : ga banget. Ryo yang terkesan songong, jutek, sok playboy, sok keren bet...