Kid Bangtan

80 5 4
                                    


"Jimin! Jimin!" pekikan itu tiada henti hingga kepala berpipi gembul menengok ke arahnya.

"Jangan diambil. Kotor. Hus! Buang aja." tangan kosong anak bernama Jimin langsung diisi dengan tangan anak lainnya. Hal itu otomatis juga memberhentikan Jimin untuk terus berjongkok dan hampir limbung karena tangan yang terus berusaha menggapai udara di bawahnya.

Hoseok pikir, dengan menggandeng Jimin akan membuat anak itu tidak lagi mengambil permen yang sudah terjatuh.

"Aku mau permen." rengek Jimin begitu tubuhnya telah menjauh dari permennya yang terjatuh. "Hoseok hyung! Jimin mau permen!"

Hoseok yang terlalu asik menarik tubuh Jimin pergi tidak sadar bahwa anak itu telah menangis. Usia mereka tidak terlalu jauh, namun Hoseok dengan usia yang lebih tua memosisikan diri sebagai yang bijak di antara mereka berdua.

"Hyung nggak punya permen." tidak disadari anak lelaki itu hampir ikut menangis tahu Jimin sudah banjir air mata. Pipinya yang gembul sudah memerah hingga ke ujung hidung.

Hoseok merasa sebelah hidungnya sudah mampet, ia tarik masuk lagi dengan helaan cepat, kemudian ia merogoh saku seragam sekolahnya, "Cokelat aja, mau?"

Tangan sempit yang masih lebih lebar dari kepunyaan Jimin itu menyodorkan satu cokelat yang ditemukannya secara asal di kantongnya. Pecah sudah tangisan Hoseok begitu tahu Jimin mengambilnya.

Itu satu-satunya harta makan siang Hoseok dari ibunya. Tetapi ia tidak ingin melihat Jimin menangis.

"Hiks, Jimin jangan menangis. Ambil saja cokelatku. Hiks."

Genggaman tangan kanan Jimin sudah penuh dengan sebungkus cokelat. Tadinya anak itu ingin diam, terpaksa air matanya harus kembali jatuh tahu Hoseok telah menangis. "Hua... Hoseok hyung jangan menangis. Ini cokelatnya ku kembalikan saja. Hiks..."

"Tidak mau. Hiks, Jimin makan saja untuk ganti permen tadi. Hiks..."

"Tidak, hyung. Jimin tidak apa-apa. Hiks."

"Kalian ini kenapa, sih?" seseorang muncul di tengah-tengah keduanya dengan seragam SMP. Tingginulya terlalu kontras, bahkan saat ia berjongkok saja masih terlihat tinggi dirinya.

"Begini ya, adik-adik." Yoongi memutar bola matanya jengah. Kemudian diambilnya cokelat dari tangan anak pipi gembul tanpa permisi.

"HUAA!!" Jimin menangis lebih kencang.

Astaga.

Tidak mau repot, Yoongi hanya segera membagi cokelat itu menjadi dua dan membaginya pada genggaman Hoseok dan Jimin.

Setidaknya suara mereka sudah mengecil, karena tangisan keduanyalah yang membuatnya terbangun dari tidur siang di bawah pohonnya.

"Bagaimana adik-adik?"

"Cokelatnya jadi kecil. Ahjussi apain!" Hoseok mengacung-acungkan cokelatnya seolah itu adalah senjata.

What? Ahjussi?

"Hey jangan memanggil orang seenaknya. Tidak lihat seragam SMPku?" decakan halus dilontarkan oleh Yoongi secara Implisit, percuma saja.

"Begini, cokelatnya hyung bagi dua agar kalian bisa sama-sama memakannya. Paham?" jelas Yoongi berusaha memertahankan nada ramahnya.

"Punya Jimin juga kecil, hyung." ucap Jimin polos seperti tidak menganggap keberadaan Yoongi dan terus membuka tutup genggamannya, membuat cokelat yang telah terbuka di tangan mencair menjadi pasta hingga masuk ke sela-sela jari.

"Astaga adik. Kalian harus segera memakannya!" Yoongi syok, sedangkan Jimin masih ingin bermain.

"Hehe, lengket. Tapi cokelat Jimin sudah hilang. Hanya tinggal warnanya saja."

Dan Yoongi harus tepuk dahi karena anak satunya ikut tertawa keras.

"HAHAHA Cokelatku juga hilang. Kok bisa ya?"

"Terserah kalian saja." lelaki itu mengerang frustasi.

Akhirnya Yoongi memilih pergi dengan melonggarkan dasi.

Satu hal yang membuatnya tersenyum tipis, setidaknya anak-anak itu sudah mengganti tangis mereka dengan tawa walaupun seperti orang gila.

Hey! Bagaimanapun mereka masih anak-anak tahu!

Love Affair [BTS Fanfiction]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang