Wajahku berkeringat. Aku tidak lagi memerhatikan tentang kalimat yang masih orang itu ucapkan. Aku hanya akan fokus pada makananku, satu-satunya hal yang justru membuatku tersedak saat itu juga.
"Uhuk." tanganku bergerak asal, menggapai gelas dengan gugup dan menegak habis air putih di dalamnya. Setidaknya aku tahu dia masih paham aku butuh waktu untuk memulihkan diri sehingga dia memilih diam seraya menatapku.
"Kau tidak apa-apa?" matanya menyipit, aku harap itu bentuk dari rasa khawatir tentang keadaanku daripada tentang kalimat tak rampungnya.
Air membantuku menurunkan makanan yang sempat masuk pada saluran pernapasan, termasuk ucapannya yang aku harap ikut tertelan karena sungguh— kenapa rasanya mendadak sesak?
"Jungkook, dengar. Aku tidak bermaksud..."
Aku menghela panjang, sengaja agar dia berhenti berbicara. Sebait kalimat tidak dapat kutahan, aku rasa aku memang harus mulai berpikir jernih, "Tenang saja, kau beruntung karena aku tidak mengerti tentang maksud yang kau maksud."
Aku yakin ekspresiku sudah berubah. Kalimatku terkesan belepotan dan aku tidak merasa bahwa itu adalah hal yang memalukan sekalipun suasana berubah menjadi lebih serius.
"Jangan memutuskan seenaknya, Jungkook."
Aku menggeleng, sialnya pandanganku terus terasa berputar sekalipun aku telah berhenti, "Toh kau sudah mendapatkan semuanya. Iya, dia memiliki itu, dia punya perasaan terhadapmu. Dari awal kau 'mengirim'ku untuk memastikannya bukan? Kau mendapatkannya."
Aku tidak tahu mengapa ekspresinya berubah, yang jelas ekspresi itulah yang aku kenal dari seorang Min Yoongi. Tidak terbaca, yang entah mengapa hal itu adalah hal yang paling normal yang bisa kutangkap, setidaknya itu mengingatkanku untuk berhati-hati dalam berbicara karena yang di hadapanku sekarang adalah orang yang sama dengan kakak angkat yang telah lama merawatku.
"Kau yang bilang, aku hanya menjaganya, ketika kau kembali, kau akan mendapatkannya lagi." lain dari sebuah helaan, yang kulakukan hanya menghembuskan napas asal, "Dia milikmu. Bukan aku yang memutuskannya, tapi kau yang sudah melakukannya sejak dulu."
Aku bertindak seperti membicarakan benda mati berupa barang, yang dengan seenaknya bisa diganti atas namanya. Sayangnya hampir benar, pembicaraan ini secara implisit menyinggung benda yang tak sepenuhnya bergerak tapi aku rasa ia hampir mati.
Perasaanku.
***
Aku mulai tak habis pikir. Sejak kapan orang mengotak-kotakan antara logika dan perasaan? Perasaan adalah emosi yang diciptakan oleh gelombang otak, mereka kira perasaan bertengger di mana? Di hati? Organ itu hanya bertugas menetralisir racun, yang aku rasa aku telah keracunan perasaanku sendiri.
Tapi bukan berarti aku harap perasaan ini hilang. Dan aku yakin, tidak ada sangkut-pautnya bahwa orang yang tenggelam pada perasaannya adalah orang yang tidak punya otak. Aku ingin aku masih bisa berpikir jernih, tanpa menghilangkan perasaan itu.
Perasaan itu masih sangat berharga sekalipun hampir tak ada nyawa.
Setelah melangkah pergi dari kafe tanpa tahu malu, aku bingung ke mana lagi tujuan yang bisa aku tentukan. Kosong. Rumah bukanlah ide yang baik karena itu adalah tempat yang sama-sama selalu dipikirkan oleh objek yang aku hindari, kakak angkatku sendiri.
Selama hampir dua jam aku rasa aku sudah melewati bagian yang sama dari sungai Han ini. Aku tidak bermaksud kabur, hanya berpikir. Jika bisa aku ingin bangkit, konyolnya aku justru mencari gaya lain untuk kembali tergelincir. Sialnya, aku melakukannya.
Tubuhku terjatuh namun dengan tubuh yang masih utuh, berdiri tegak yang justru mempermudah gadis di seberang sana mengenaliku. Tanpa sadar satu hentakan pada dada kiri membuat jantungku melewatkan beberapa detakan berikutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Affair [BTS Fanfiction]
Fanfiction"And there just something about him I can't live without." [Bangtan Trash] Kimgysm_ present.