#12 Escape

1.1K 138 10
                                    

Tak ada satu surat pun yang Limario balas, ia biarkan begitu saja di laci mejanya, meskipun wangi parfumnya semakin tercium semerbak menyelimuti kamarnya.

1 bulan sudah sang Ayah memberitahu sisa waktu Limario untuk melupakan Roseanne, gadis seorang manusia yang sudah menjadi teman masa kecilnya, bahkan merebut hatinya dan menjadi pasangannya akhir-akhir ini.

Tapi hanya karena daerah kekuasaan, sang Ayah harus merelakan putri keduanya menjadi jaminan perdamaian kedua kerajaan manusia itu.

"Dasar egois.." geram Limario. Susu cokelat di depan pintu kamarnya sudah basi ia tinggalkan sedari pagi. Sampai Jisoo memungutnya lagi dan mengganti susu itu setiap hari, 2-3 kali ketukan pintu ke kamarnya berharap sang kakak mau memikirkan kesehatannya sehari saja.

Jisoo yang sudah luluh oleh sikap sang kakak, sekarang berusaha menahan sifat dingin hatinya. Ia membujuk sang kakak untuk pergi dari istana sesekali dan melupakan masalah terbesarnya itu.

Lelaki berambut cepak dengan warna cokelat itu berusaha memanjat ke sisi luar balkon kakaknya. Di bantu oleh Popo ia berhasil naik tanpa kegaduhan sedikit pun. Jisoo mengetuk-ngetuk jendela kaca yang membatasi balkon dan kamar Limario, saat kakaknya masih sibuk berbaring dan menatap lukisan Rose di atas langit-langit kamarnya.

Limario menoleh lemah dan berjalan membukakan jendelanya untuk Jisoo.

"Apa?"

"Ayo pergi." ajak Jisoo bersemangat.

"Tidak mau." Dengan cepat Limario menutup jendelanya, tapi Jisoo segera menahan jendelanya agar tidak tertutup.

"Aawwww.." jerit Jisoo seperti perempuan. "Ayolah.." pintanya sambil meremas tangannya sendiri dan meringis menahan sakit.

"Kemana?" semakin lama percakapan mereka, semakin bosan Limario menatap Jisoo. Bahkan ia mengabaikan adiknya yang kesakitan itu.

"Ke kota?" tawarnya dengan nada ceria, diikuti oleh senyuman lebar di hiasi deretan gigi putih rapi miliknya.

"Baiklah." Limario menutup jendelannya, menuruni balkon dengan hati-hati dan naik ke punggung Popo, tapi Jisoo masih terdiam dan bergidik ngeri ketika harus mengikuti apa yang kakaknya lakukan. "Mau pergi tidak?"

"Iya, a-a-ayo.. Ayo kak.." baru kali ini Limario mendengar Jisoo memanggilnya dengan sebutan 'kakak' dan itu sangat menggelikan baginya.

"Naik.. Sekarang! Jiji." Jisoo melangkah perlahan, tapi tubuh Popo yang naik turun mengikuti kibasan sayapnya itu membuatnya urung untuk naik.

Limario menghembuskan napasnya dengan kasar dan menarik tangan Jisoo agar ia segera naik ke badan Popo.

"Aarghhhh , arrghhhhhh.. " racaunya tak karuan sambil memeluk Limario erat saat Popo membawa kedua kakak beradik itu pergi ke pusat kota.

"Diam!! Dasar mulut perempuan!!"

"Aarghhhhh.. Arrghhhhh.." teriakannya sangat nyaring sampai memekakkan telinga Limario.

"Jisoo!!" tapi Jisoo belum mau untuk menutup mulutnya. "Jisoo!! Diam!!" saat ucapannya tak di gubris, Limario melihat seorang gadis berjalan sendirian, memakai jubah cokelat kusam dengan ransel di punggungnya.

"Aku takut!! Popo besar sekali!! Aku tidak suka yang besar-besar."

"Jisoo, lihat itu Jennie bukan?"

"Hmm..? Mana?" Jisoo seketika terdiam dan mencari orang yang di maksud oleh kakaknya.

"Giliran Jennie saja kau baru diam." cubit Limario dengan gemas di paha adiknya itu.

Immortal LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang