Chapter 2 - The Prince, Arthur

1.5K 47 6
                                    

          Jam menunjukkan pukul 6 pagi. Aku, pangeran Arthur, segera bangun, mandi, mengenakan seragam karena hari ini aku harus pergi ke sekolah. Aku bersekolah di Sparkling Star Academy. Sekarang, aku masih di jenjang Primary. 2 tahun lagi, aku akan lulus dan akan menempuh kelas Junior.

          Aku bergegas ke ruang makan kerajaan. Di sana, ayah dan ibuku sudah menungguku untuk sarapan. Aku anak tunggal disini, jadi ayah dan ibu sangat menyayangiku. Oh ya, aku juga punya peliharaan seekor kucing yang kunamai Frank. Dia mempunyai kemampuan sihir api tentunya. Tidak lama kemudian, Sir Maxwell, orang kepercayaan ayahku datang bersama dengan para pelayan untuk menghidangkan kami sarapan.

"Arthur, sebentar lagi kamu lulus kan?" Tanya ayahku sambil memotong daging panggang sebagai sarapan kami.

"Iya, ayah. Kenapa?" Aku menjawab pertanyaan ayahku.

"Gak papa kok. Papa cuma mau kamu mulai pikirin bener-bener mau ambil jurusan apa di jenjang Junior nanti. Kamu lebih suka jurusan sihir atau senjata?" Ayah kembali bertanya.

"Emm...., sebenernya sih aku mau dua-duanya sih pa. Tapi, kalo aku ambil jurusan sihir tapi aku tetep belajar senjata di luar boleh gak? Aku bisa belajar bareng Ray." Jawabku.

"Yaudah, papa setuju. Tapi, kamu tetep harus fokus sama pelajaran sihir kamu di sekolah ya?" Ayah menyetujui usulanku sehingga aku langsung tersenyum lebar.

"Iya papa, Arthur janji!" Aku tetap tersenyum saat menjawab ayah.

          Tak terasa sarapan kami telah habis. Aku harus berangkat ke sekolah. Meskipun aku seorang pangeran aku tetap harua menaati peraturan sekolah.

"Papa, mama, Arthur pergi sekolah ya!" Aku berpamitan sambil memeluk kedua orang tuaku.

"Iya, Arthur. Semangat ya!" Balas ibu sambil mengelus dahiku yang tertutup oleh rambutku yang mungkin terlalu panjang.

"Iya ma!" Aku tersenyum menatap ayah dan ibuku.

          Aku pergi ke sekolah diantar oleh Mr. Jim dengan kereta kuda kerajaan. Tetapi, nanti aku akan berhenti di toko pedang tempat sahabatku Raymond tinggal. Aku suka berteman dengannya karena dia tidak pernah memperlakukanku secara spesial sebagai seorang pangeran. Aku tidak suka karena sebagian besar orang memanfaatkan status bangsawanku untuk kepentingan mereka.

"Arthur! Akhirnya kamu dateng. Ayo! Cepet!" Ray dengan cepat berlari dengan menarik tanganku.

"Iya, Ray. Ayo! Cepet! Yang duluan nyampe yang menang!" Aku ikut mencairkan suasana.

          Kami berdua dengan cepat berlari menuju sekolah kami. Padahal, jam masih menunjukan pukul 7.30 sedangkan kelas dimulai pukul 8.00. Ya... yaudah deh, aku bisa ngobrol sama Ray. Aku penasaran dia mau ambil jurusan apa ketika lulus nanti.

          Akhirnya, aku sampai di sekolah duluan. Yeah! Setelah meletakan tas di tempat duduk kami, kami pun keluar berjalan-jalan di taman sambil mengobrol.

"Ray, nanti kalo uda lulus kamu mau ambil jurusan apa?" Aku pun bertanya.

"Yah, aku kan anaknya tukang pembuat pedang, ya.... aku pengen masuk jurusan senjata aja deh. Kalo kamu itu cocoknya masuk jurusan sihir." Jawab Ray.

"Kebetulan banget nih! Kalo sempet ajarin aku cara pake senjata dong. Aku kan juga pengen bisa perang." Kataku.

           Aku sejak kecil sudah belajar sihir dari ibuku dan ayahku. Tapi, aku juga pengen bisa memakai senjata. Ya.... aku kan pangeran. Ayahku yang dulu belajar sihir saja bisa memakai pedang, aku juga ingin bisa! Sampai sekarang, aku baru bisa memakai panah.

          Kriiiiiiing!!! Bel tanda masuk sudah berbunyi. Semua siswa dan siswi pun masuk ke dalam kelas masing-masing. Hari ini, ada pelajaran farmasi. Mr. Virgo mengharuskan kami untuk meramu obat herbal yang dapat mengobati luka akibat tertusuk pedang. Tanamannya sudah disediakan di taman sekolah. Kami tinggal meramunya. Nanti saat jam istirahat aku akan mengajak Ray untuk mengambilnya bersama. Ray tidak menyukai pelajaran farmasi. Menurutnya, pelajaran itu hanya untuk anak perempuan. Aku sendiri menyukainya. Menurutku, semua orang harus bisa saling menolong, apalagi saat perang. Karena itu aku tidak terlalu pandai menggunakan pedang. Aku tidak tega melihat orang terluka.

Multimedia : Arthur dan Ray

The Princess and MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang