Aku melangkahkan kaki telanjangku menyusuri rerumputan, embun masih terasa membuat kaki ku tampak basah. Aku tak tau di mana saat ini aku berada, namun saat ini yang kulihat adalah hamparan bunga lily beraneka warna. Langkah kaki membawa ku menuju hamparan bunga mawar merah bak permadani yang memenuhi tempat ini, udara sejuk menyapa wajahku.
Aku memejamkan mata menikmati setiap hembusan angin yang menerpa wajahku. Di tempat ini seakan aku tidak memiliki kehidupan lain, kehidupan yang begitu menyulitkan. Aku melangkah, semakin menjauh dari tempat aku berdiri sebelumnya. Aku melihat sebuah dermaga yang berada di ujung, perlahan aku semakin melihat dengan jelas. Dermaga yang memanjang kearah danau yang tampak tenang, berhiaskan pepohonan yang rimbun di sekitarnya. Saat aku hendak menjejakkan kaki, aku merasa sesuatu melukai telapak kaki, aku mengabaikannya. Masih terus melangkah, pandanganku terpaku pada setangkai mawar merah yang begitu cantik, menggoda untuk ku petik.
Aku mengangkat gaun berwarna broken white milikku, bagian belakangnya menyapu di atas rerumputan. Ketika jarakku hanya sekitar beberapa meter dari letak mawar merah tersebut. Aku tak melihat dermaga yang sebelumnya terlihat, di pandanganku hanya terlihat mawar merah yang memukau. Aku tersenyum, memetik setangkai merah yang menjadi incaranku. Aku membawa mendekati hidungku, untuk menghirup kesegaran yang tersimpan di dalamnya. Aku pernah melihat kejadian ini.
Punggung seorang wanita yang menghirup mawar merah.
De javu.
Ya, aku melihat kejadian ini dalam lukisan yang ku lihat dalam pameran maupun di hotel.
Gadis yang berada dalam lukisan itu, aku merasa familiar.
Gadis itu adalah aku.
Aku.
Ketika aku menghirupnya, aku merasakan satu tepukan mendarat di pundakku. Aku memutar tubuh, dan melihat sesosok lelaki tua dengan senyuman mengembang di wajahnya. Wajahnya tidak menyiratkan kelelahan, melainkan ketegasan. Mengenakan pakaian bergaya bangsawan. Aku mengerutkan dahi, tidak familiar dengan sosok di hadapanku.
“Anie, begitu boleh aku memanggilmu?” Pria dihadapanku menundukkan tubuhnya dengan sopan, canggung. Tentu saja, aku tak mengenal pria ini. Namun bagaimana ia bisa mengetahui panggilan masa kecilku.
“Aku selalu menantikan untuk bisa menyentuhmu, Anie.”
“Siapa kau?” akhirnya aku bisa menyuarakan fikiranku, “Aku selalu mengawasimu sejak lahir. Aku selalu melindungi dan menjauhkan mu dari segala bahaya yang mengancam nyawa mu.” Aku semakin tak mengerti dengan ucapannya,
“Aku tak mengerti.”
“Aku adalah alpa dari kaum vampir, Vladimir Orean Varn Tehiglesh.”
“Apa aku mengenalmu?” aku mengenggam erat mawar merah, anehnya aku tak merasakan duri yang bisa saja menancap karena di genggam erat oleh diriku.
“bangunlah, maka kau akan mengenali diriku.”
Sedetik setelah mengatakan hal tersebut kabut putih menutupi pandanganku, aku tak bisa merasakan apapun. Kaki ku terasa kebas, tanganku mengapai apapun yang bisa kuraih. Hingga sebuah suara yang aku rindukkan terdengar, menuntunku untuk kembali menjejakkan kaki.
“Anabel, wake up please.”
Itu suara Harry.
“Aku sangat mencintai mu.”
Kudengar ia berujar lirih, sesuatu mengenai tanganku. Harry menangis.
“Maafkan karena semua adalah kesalahan ku. Jika aku bisa, lebih baik aku yang berbaring disini. Anie, wake up please.” Harry mengangkat tangaku yang terhubung dengan selang infus mendekati bibirnya. Ia mengecup punggung tanganku dengan perlahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
About You Is Impossible// h.s & n.h
VampireSemua berawal dari kedatangannya ke Philadelphia negara bagian Amerika Serikat, takdirlah yang membawanya ke tempat tersebut. Mempertemukan dengan sebuah kehidupan lain yang tak pernah gadis itu kira. Semua kejadian tak terduga menghampirinya satu p...