Bab Duapuluh Tiga

37 21 4
                                    

Detik demi detik aku menunggu, tapi orang-orang yang sedang melakukan peribadatan suci itu belum juga usai. Aku duduk di atas pasir sambil melipat kaki dan memeluknya, terlihat sangat menyedihkan. Dan pasti memalukan.

"Hei... " seseorang menepuk bahuku dan membuatku enggan menoleh karena aku kenal suaranya.

"Alan," jawabku setelah meliriknya yang menggendong tas carrier besar dipunggungnya.

"Ayo kita pulang, paman dan bibimu menyuruhku untuk menemanimu pulang,"

"Apa? Sejak kapan kau mengenal mereka?" aku terkejut karena mereka terdengar akrab. Kenapa bukan Sulu saja yang sangat akrab dengan bibi dan pamanku.

"Allia... " pamanku berteriak memanggilku seraya berlari menghampiriku, "semua barang-barangmu sudah kami letakkan di jip yang sudah kami sewa untukmu dan Alan, kalian tinggal menaikinya dan menunggu jip itu berhenti didepan rumah kalian, berangkatlah sekarang," kata Paman Wangso setelah berada didepanku.

"Paman! Kenapa aku harus bersama orang lain? Aku ingin naik jip sendirian," keluhku sambil berdiri.

"Allia, sudahlah paman hanya mengkhawatirkanmu. Paman tidak bisa mengantarmu, maka dari itu paman menyuruh Alan untuk menjagamu," kata Paman membujukku.

Dengan sangat terpaksa aku harus berada didalam satu jip bersama Alan. Tidak ada pilihan lagi. Melewatkan hari pertama perkuliahan adalah hal terbodoh yang pernah aku pikirkan. Tidak mungkin juga jika aku tidak memprioritaskan perkuliahan yang sangat susah ku dapatkan itu.

Baiklah, Sulu. Maafkan aku tidak bisa menunggumu lebih lama. Tapi, aku berjanji akan mengambil kelas dengan jam yang lebih banyak dan akan ku pastikan menyelesaikannya lebih cepat agar bisa kembali ke sini dan menunggumu lebih lama lagi di padang savana.

Aku berjalan menuju jip tapi tatapanku masih tertoreh ke belakang, seakan masih ingin menunggu, menunggu dan menunggu lebih lama lagi. Sulu sampai jumpa! Semoga aku mendapatkan jawaban terbaik setelah penantian panjangku.

"Paman, sampaikan salamku pada Bibi Malia," ujarku setelah aku duduk di kursi jip bagian belakang dengan kap terbuka.

"Baiklah, dia sedang sibuk berkebun. Dia bilang dia ingin segera bertemu denganmu lagi saat liburan tiba lagi nanti," kata Paman Wangso, dan aku percaya kalau dia tidak berbohong.

"Sampai jumpa lagi paman," kata Alan sambil melambaikan tangan.

Setelah Alan dan aku duduk berdampingan, supir jippun menginjak gas selesai dia bertanya apakah kami siap atau tidak untuk pulang, "siap nona? Siap tuan? "

"Siap pak," sahut Alan.

"Berangkat," jawab sang supir yang mulai mengemudikan jip dengan sangat nyaman walaupun kecepatanya tinggi.

"Wahh aku suka sekali menikmati semilir angin dan suasana dingin nan menenangkan disini," celetuk Alan, aku tahu dia memancingku untuk menyahuti obrolanya. Tapi aku hanya memandangi hutan-hutan dan membuang muka untuk tidak melihatnya.

"Allia..." sapa Alan.

"Hmm? "

"Apa kau baik-baik saja? Kau melamun terus sejak tadi," katanya seolah mengkhawatirkan aku.

"Aku sedang ingin melamun dan tidak ingin berbicara, bisakah kau membiarkanku sendiri? "

"Tidak! " dia menyeru dan membuatku menoleh dengan wajah sinis yang tidak bisa ku sembunyikan.

"Jangan membuatku meledak jika kau tidak ingin mendengar kata-kata pedas dari mulut singaku," ancamku tapi Alan malah tersenyum.

"Kau sangat berbeda," dia berhenti dan melanjutkan, "Ya, kau sangat berbeda. Saat bersama Si Penunggang Kuda itu, kau begitu manis dan enak dilihat. Makanya aku suka secara diam-diam mengamatimu saat berkencan denganya,"

Sekarang apa?!  Aku merasa bersalah pada Alan. Kenapa juga dia harus melakukan hal menyakitkanya itu. Apa dia sudah bodoh! Seharusnya dia tidak melihatku saat bersama Sulu agar tidak menyakiti dirinya sendiri.

"Kenapa diam? " tanyanya tanpa melepas pandangannya sedetikpun dari memandangku.

"Kenapa kau melihatku saat bersama Alan? Kau tahu atau tidak jika hal itu malah akan menyakitimu nantinya! " omelku.

Kemudian dia mengacak rambutku dan tertawa, "Tidak juga, aku pikir perkataan orang-orang tentang bisa ikut merasa bahagia saat melihat orang yang kita cintai bahagia walaupun bersama orang lain, adalah kalimat termunafik yang pernah ku tahui. Tapi, ternyata itu berlaku juga buatku. Aku bahagia sekaligus cemas saat melihatmu bahagia bersama orang lain,"

"Ee... " aku bingung sendiri harus berkata apa. Disaat aku sedang genting memikirkan apakah Sulu akan berpeluang untuk menikah besok, pikiranku malah bertambah bebanya karena ucapan Alan yang mengharukan. Ini adalah hal yang paling membingungkan untukku.

"Lucu bukan? Aku bahagia melihatmu bahagia bersama dia, tapi disaat bersamaan aku juga cemas, cemas akan berbagai hal yang kadang bisa ku sebut sebagai egois atau hal lain yang lebih baik," tambahnya.

Mulutku masih saja membeku dan kehilangan kata-kata, dan Alan terus saja mencerocos semua kata-kata yang sebenarnya tidak ingin aku dengar, "Tapi, aku beruntung bisa melihat sisi lain mu yang seperti singa dan gunung es kala bersamaku. Itu malah jauh lebih menggemaskan. Apakah kau pernah bersikap seperti ini kepadanya juga?" tanya Alan seolah aku hanya bersikap begini didepannya.

"Aku selalu bersikap dengan sebagaimana yang aku inginkan, tidak ada maksud untuk bersikap spesial kepada siapapun. Kalau kau merasa aku begitu, maafkan aku. Aku hanya bersikap apa adanya kepada semua orang yang aku temui," ku jabarkan saja semua yang aku pikirkan, daripada geernya bertambah.

"Ya! Aku juga suka kau yang apa adanya,"

"Hey... Alan... " kini aku berbicara sambil menatap matanya, "kau tahukan kalau aku sudah menyukai Sulu sejak lama?" dan Alan mengangguk mengiyakan, "kenapa kau masih mengungkapkan perasaanmu juga? "

"Memangnya tidak boleh ya? Siapa yang melarang? "

"Aturanya memang seperti itu,"

"Seperti anak SMU saja kau ini, kitakan sudah kuliah," godanya dengan senyum simpul yang memperlihatkan gigi taringnya itu.

"Baiklah, tidak ada yang berhak melarangmu untuk melakukan itu. Hatimu memang milikmu. Tapi.... Tetap saja... "

"Apa? " lagi-lagi dia menggodaku.

"Sudalah! " tukasku untuk menghentikan obrolan ini. Dan kami kembali hening selama perjalanan.

"Wah... Sudah di Pakis ternyata, sebentar lagi sampai di rumahmu,"

"Darimana kau tahu rumahku? Kau ini penguntit ya? Kau tahu juga rumah bibi dan pamanku! " sindirku dengan wajah ketus.

"Kalau rumah bibi dan pamanmu, aku memang sengaja pernah mengikutimu dan sebenarnya ingin menjagamu dari jauh. Sedangkan rumahmu, akukan ketua kelas dulu jadi semua data anggota kelas ada di tanganku! "

"Dasar sombong!"

"Perkuliahan akan dimulai besok, semangat ya! "

"Terimakasih, kau juga,"

"Aku selalu semangat memasuki perkuliahan Psikologiku,"

"Kenapa kau tidak mengambil Akuntansi, dulu kau sangat pandai berhitung,"

"Kau mengingatku ya? Hahaha" lalu Alan tertawa, "Pandai dalam suatu bidang bukan berarti memiliki minat dalam bidang itu sendiri,"

"Baiklah...baiklah... "

Penunggang Kuda Tanpa SuaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang