Sulu mengajakku jalan-jalan ke tempat pertama kali kita bertemu. Pagi yang cerah membuat Puncak gunung semeru terlihat begitu memukau. Berwarna biru tua bercampur dengan abu-abu dan putih. Kemudian ada sedikit asap yang mengepul di atasnya.
Kami menaiki tangga menuju kawah sambil menghitung jumlah tangganya, seperti yang pernah ku lakukan dahulu.
"Apakah kau sedang menghitung tangga? " tanya Sulu.
"Sembilan puluh satu, sembilan puluh dua," aku mengangguk sambil menghitung.
"Memangnya permintaan apa yang sedang ingin kau kabulkan? " Sulu yang terus berceloteh membuat konsentrasiku buyar dan aku lupa sudah berapa tangga yang ku hitung.
"Kau! Kenapa kau mengacaukan... Hitunganku! Payah! "
"Hahahaha... " Sulu tertawa sambil mengacak rambutku.
"Biar aku yang mengabulkan permintaanmu, apa itu? Ayo sebutkan! "
"Aku ingin... Apa kau penasaran? "
"Hey! Kau membalasku seperti kemarin ya? Dasar mengesalkan," ocehnya dengan mulut manyunya yang menggemaskan. Lalu, aku mencoba mengacak-acak rambutnya yang juga menggemaskan.
"Aku senang karena kau bukan pria yang terpilih untuk menikah, tapi aku takut kalau terjadi upacara lagi,"
"Allia...Allia... Upacara suci itu diadakan hanya satu kali dalam satu generasi,"
"Hah? Benarkah?" saking girangnya aku hampir terjatuh dan dengan sigap Sulu menangkapku.
"Kau selalu saja ceroboh. Bagaimana kalau kau terjatuh tapi disaat tidak ada aku?"
"Tenang saja. Pasti akan ada yang menangkapku,"
"Siapa?! Apakah Alan pria yang selalu mengikuti kemana saja pergimu itu?"
"Wow! Kau cemburu ya, " aku menertawakannya sambil memukul-mukul lenganya.
"Jangan tertawa aku serius," bentaknya tapi dia malah ikutan tertawa.
"Iya... Iya... " kataku tapi tetap saja tawa itu meledak-ledak.
"Apa kau ingin pergi ke tempat favoritku?" tanyanya.
"Kau punya tempat favorit?"
"Memangnya kau tidak punya tempat favorit di daerah bromo?" dia seolah terkaget-kaget mendengar pernyataanku.
"Aku memfavoritkan semua tempat, selagi di tempat itu ada kau... " lalu aku mencubit pipinya.
"Baiklah... Ayo ikut aku," sepertinya dia tersipu-sipu mendengarku menggodanya. Dia sontak mengalihkan pembicaraan. Hahaha.
Ketika matahari mulai kembali ke peristirahatanya, Sulu mengajakku ke bukit yang pernah kami kunjungi dengan menaiki kuda.
"Kita mau kemana?"
"Ayo kita bernostalgia! " ajaknya.
Lelah memang menanjakki bukit tanpa beristirahat sedetikpun hanya untuk menuruti kemauan priaku ini. Astaga, apa yang barusaja ku katakan? Priaku? Hahaha. Ketika telah sampai pada puncaknya Sulu menuding pemandangan kota di bawah bukit.
"Allia kau harus melihat dari sisi kanan... Lihatlah... " dan beberapa lampu mulai dinyalakan oleh pemiliknya dari ujung barat, lampu-lampu itu menyala berurutan seolah mereka hidup seperti gelombang di pinggiran pantai yang berjalan tanpa henti. Hingga pada akhirnya lampu-lampu di kota itu telah menyala seluruhnya dan membentuk sebuah lautan cahaya berwarna orange.
"Pemandangan lampu kota yang hanya pernah ku lihat bersamamu," bisik Sulu.
"Benarkah? Aku sudah sering melihat bersama banyak orang,"
"Apa? Tidak adil! Kau yang pertama dan terakhir bagiku. Aku tidak pernah melihat lampu kota dengan orang lain tau,"
Aku memandangi Sulu sambil senyum-senyum tanpa bisa menahan pipiku yang menghangat.
"Apa? Aku kelewat tampan ya sehingga kau tidak pernah memalingkan matamu dari memandangku? "
"Konyol!" kataku sambil berjalan mendekat dan memeluknya. Dan dia membalas pelukanku.
"Allia," kata Sulu sambil menangkup wajahku.
"Hmm? " tanyaku sambil tetap mempertahankan senyumku.
"Maukah kau berjanji padaku?" ujarnya dengan tatapan tanpa satu kedipanpun.
"Tentu,"
"Jangan pernah menghilangkan aku dari hatimu," Tapi aku malah tertawa mendengarnya bilang seperti itu.
"Hey! Aku serius! Kau pikir aku tidak punya rencana apa untuk membentuk sebuah keluarga bersamamu. Kita sudah sama-sama dewasa dan kau harus segera lulus agar aku bisa dengan segera pergi ke kota untuk menjemputmu sebagai pendamping hidupku,"
"Aku tidak menyangka kalau hal itu akan terfikir dibenakmu."
"Jika saja tidak ada aturan yang mengikatku, aku pasti akan sesering mungkin ke kota. Maafkan aku yang selalu merepotkanmu,"
"Sulu... Aku tahu... Aku paham dan mengerti,"
"Terimakasih Allia, Terkadang kita tidak tahu siapa diri kita bahkan kita akan sangat kesulitan untuk menjadi diri sendiri tanpa seseorang yang berarti. Aku beruntung memilikimu," Sulu tersenyum dengan senyuman yang sangat ku favoritkan. Lalu mendekapku kembali dengan hangat.
Sekian!!!
Dan terimakasih guys buat pembaca setiaku, aku harap kalian tetap ketagihan sama novel Penunggang Kuda Tanpa Suara ini hehehehe... Kritik dan saran selalu terbuka buat kalian para reader.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penunggang Kuda Tanpa Suara
RomanceGenre : Dark-Romance Terkadang, mengungkapkan cinta dengan lidah membuat semuanya menjadi mudah. Bagaimana jika cinta itu tak pernah terungkapkan dengan kata-kata?