Alan, Gita, dan aku menyusun rencana pembuatan makalah tentang Upacara Kasodo. Mula-mula, Alan menuliskan nomor-nomor didalam buku catatanya. Gita mengusulkan beberapa tema. Tapi, Alan tidak begitu setuju. Alan menginginkan tema-tema yang berbeda dari yang pernah dibuat pada umumnya. Kebetulan, kami mendiskusikanya di Savanah yang biasa dikunjungi Sulu bersama kudanya. Sementara, mereka berdiskusi, mataku terus berkeliling dan mencari-cari keberadaan Sulu.
"Allia, menurut kamu tema apa yang bagus untuk makalah kita?" Samar-samar aku mendengar suara Alan karena masih fokus memperhatikan. Lalu dia berdehem dan membuatku menoleh.
"Iya?" Tanyaku dengan bodohnya.
"Tema!" Bisik Gita ditelingaku.
"Penunggang Kuda Tanpa Suara, Sulu Joko Sunantha," ucapku dengan wajah berseri-seri.
"Apa? Kita sedang membicarakan Kasodo Al," Alan berupaya mengingatkanku dengan nada lembut yang penuh dengan kehati-hatian.
"Oh, ya terserah sih. Aku dukung apapun tema yang kau pilihkan Alan," padahal aku berujar dengan nada datar dan biasa-biasa saja. Tapi, bisa-bisanya dia tersenyum seperti itu. Jangan-jangan dia salah mengartikan omonganku?
Tepat setelah aku menoleh. Sulu melambaikan tanganya. Dia menemukanku lebih dulu dari aku yang mencari-carinya lebih awal. Seketika, aku berdiri dan berlari-lari kecil menghampirinya.
"Sedang apa?" Tanyaku.
Dia mengeluarkan buku catatan kecil dari sakunya, lalu menuliskan, "sedang mencari-cari tempat yang ku pikir disana akan ku temukan seorang wanita," dia hanya memperlihatkan tulisanya. Seolah tak mengijinkan aku menyentuh buku kecil itu."Dasar genit! Kamu mencari-cari wanita? Siapa wanita itu?" Gerutuku sambil menyahut buku catatan kecilnya itu hingga terjatuh ke rumput-rumput. Lembar demi lembar dari buku catatan itu terbuka satu demi satu karena terpaan angin. Disana, ada gambar sketsa wajah. Ketika ku ambil buku itu dan mengamatinya. Tak kusangka kalau itu adalah sketsa wajahku. Di bawahnya, ada guratan tulisan, "Merindukan Allia," ejaku.
Wajah Sulu bersemu merah seperti tomat masak. Dia berusaha menyahut tapi tak ku biarkan begitu saja. Aku berlari ke balik pohon untuk melihat lembar selanjutnya. Sulu yang semakin malu terus mengerjarku. Jadilah, kami berkejar-kejaran dibawah pohon rindang ini.
Dari kejauhan, Alan mengerutkan keningnya. Gita yang selalu menjodoh-jodohkan aku dengan Alanpun malah senyam-senyum melihat aku dan Sulu berkejaran. Ku pikir dia sudah menyerah dengan misi perjodohan konyol itu.
"Gita, dia itu siapa? Kenapa mereka terlihat akrab sekali?" Tanya Alan dengan cemas.
"Dia itu Sulu," kini Gita merasa bersalah kepada Alan.
"Sulu?"
"Penunggang Kuda yang biasa dibicarakan Allia, ku rasa dia cukup populer di daerah Bromo-Tengger-Semeru," kata Gita berhati-hati.
"Apa mereka berpacaran?"
"Ku rasa tidak,""Syukurlah," Alan mendengus sambil menghembuskan nafasnya.
"Apa?" Ternyata Gita tidak mendengar perkataan Alan dengan jelas.
"Tidak. Kenapa yang ku dengar hanya suara tawa Allia? Apa Sulu tidak pernah tertawa sekeras cowok-cowok?" Alan curiga.
Gita tidak berani menceritakan soal Sulu terlalu detail, begitu suasana hening, Nagita mulai mengalihkan pembicaraan, "Apa kau akan hadir di pertandingan balap kudanya Sulu?""Aku harus memikirkan tema makalah untuk tim kita dulu sebelum memukirkan hal itu," dari nadanya sih. Alan sepertinya cemburu.
"Baiklah," lalu Gita terdiam sambil memandangiku yang berkejaran bersama Sulu. Kemudian, Alan bangkit dari duduknya dan pergi begitu saja.
Sulu berhasil menangkapku ke dalam pelukanya. Caranya menangkapku sungguh konyol. Nafasku terengah-engah. Dia memegangi kedua tanganku dengan salah satu tanganya. Tanganya yang lain berhasil menyahut buku catatan kecilnya."Kenapa harus malu kalau aku mengetahui semua isinya?"
Setelah berhasil merebut buku itu, dia melepaskanku, aku mencubit lenganya hingga dia meringis kesakitan seperti anak kecil. Dengan tergesa-gesa, dia menyembunyikan buku catatan kecilnya didalam saku bagian dalam pakaianya.
"Apa sih yang kamu sembunyikan dariku?" Tanyaku dengan mulut mengerucut.
Sulu kembali merobek kertas dan menuliskan sesuatu, "Kamu tidak perlu tahu isi dari catatan-catatanku selama ini selayaknya kamu tidak pernah mendengar suaraku. Yang perlu kamu tahu hanyalah, butiran-butiran rinduku yang kian hari kian menggumpal tiap kali tak ku lihat hadirmu didepan mataku,"
Begitu aku membacanya. Rasanya seolah menjadi wanita terbahagia. Aku merasa dicintai? Oh tidak, tidak, aku tidak boleh terlalu percaya diri. Lagipula dia tidak pernah membahas soa 'dia mencintaiku' atau apa. Sulu bukanlah Penunggang Kuda biasa. Pasti banyak wanita yang memuja dibelakangnya. Astaga! Ini pertentangan batin paling egois yang pernah ku alami. Kenapa hatiku seolah menuntut penjelasan? Seolah menuntut status yang sebenarnya? Seolah menginginkan kepastian yang nyata? Tapi, bukankah aku selayaknya wanita yang sudah pasti akan merasakan hal itu? Seperti yang para wanita lain rasakan, maksudku. Tidak boleh! Bukan itu, maksudku...maksudku hanyalah...aku menyesal pernah berpikir demikian. Ah, sudahlah. Cinta adalah dimana hal-hal rumit tengah bersarang di hati dan pikiranmu. Dan itu benar-benar membuatmu ingin berteriak.
Sulu menyadarkanku dari lamunan tidak jelasku barusan dengan lambaian tanganya didepan wajahku."Oh, maaf," kembali ku pandangi kertas itu.
Dia menyodorkan kertas lagi yang bertuliskan, "kau baik-baik saja?"
Aku hanya mengangguk, di sisi lain aku ingin segera pergi dan meluruskan pikiranku. Dan ingin membuang jauh-jauh konflik batin konyol ini. Tadinya aku yakin dia mencintaiku. Tapi, tiba-tiba saja keraguan itu datang. Di lain sisi aku masih ingin disini dan menghabiskan waktu bersamanya.
"Kau tidak percaya padaku?" Setelah dia menyodorkan sobekan kertas lagi dan lagi. Aku membacanya. Diam-diam aku membayangkan, bagaimana kalau Penunggang Kuda ini bisa berbicara. Pasti dia sangat-sangat cerewet.
"Aku percaya pada semua yang kau katakan padaku, tapi...bolehkah aku meminta satu hal?" Tanyaku sambil menatap matanya, sehingga dia mengangguk dengan penuh kepastian alih-alih dia akan mengabulkan apapun yang aku minta, "apa kau bisa mempertanggungjawabkan perkataanmu padaku?"
Dia menatapku lebih dalam dari tatapanku, tanganya mencengkeram kedua tanganku dengan lembut. Tiga detik kemudian, dia melepaskan salah satu tanganya untuk meletakkan rambutku ke belakang telinga, dia menggangguk sekali lagi, mengiyakan pertanyaan seriusku, "Seandainya, aku bisa berbicara, akan ku teriakkan kalimat-kalimat yang bisa membuatmu yakin akan perkataanku. Karena aku tidak bisa, jadi aku akan langsung melakukanya, mempertanggungjawabkan apa yang sudah aku katakan lewat tulisan-tulisan ini," demikian guratan di atas kertas yang barusaja dia berikan padaku.***
JANGAN LUPA VOTE, FOLLOW GUYS!!! :) :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Penunggang Kuda Tanpa Suara
RomanceGenre : Dark-Romance Terkadang, mengungkapkan cinta dengan lidah membuat semuanya menjadi mudah. Bagaimana jika cinta itu tak pernah terungkapkan dengan kata-kata?