Sungguh! Pikiran ini membunuhku dan mengambil alih semua sirkuit yang menjalankan otakku. Tidak ada yang ku pikirkan selain Sulu. Pria itu! Kadang-kadang aku kesal karena kabarnya selalu menggantung dan tidak jelas. Bukankah ini yang namanya penyiksaan sepihak. Seolah dia tak berjuang untuk membuatku berhenti mengkhawatirkanya.
Andai dia memiliki telepon genggam. Sudah pasti akan ku telfon dia beratus-ratus kali dalam sehari hanya untuk sekedar bertanya kabar. Geram sekali merasakan aku yang tidak bisa apa-apa. Lebih parahnya adalah, Sulu juga tidak bisa berbuat apa-apa untuk membuat semuanya tenang dan baik-baik saja. Bahkan dengan pancangnya aku berharap dia menenangkan badai yang sedang berkecamuk di dalam batinku.
Jam sudah menunjukkan pukul 4 pagi dan aku masih belum tertidur sama sekali sambil sesekali terisak mengalirkan air mata kekesalan atas kepayahanku sendiri. Aku baru ingat kalau perkuliahan pertamaku adalah kelas pagi. Jadi, aku memutuskan untuk mandi saja. Aku berencana akan berendam air hangat selama satu jam.
Benar saja, setelah keluar dari kamar mandi, jam dinding sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Tidak bisa dipungkiri kalau aku selalu menghabiskan waktu satu jamku untuk menghuni kamar mandi. Itulah wanita.
Seusai itu aku membuka lemari bajuku lebar-lebar dan memilih baju. Ku taris celana jeans putih dan melemparkan ke ranjang, tanda kalau dia sudah terpilih sebagai celana yang akan ku kenakan. Kemudian menarik kaos berwarna merah muda. Lalu ku kenakan keduanya. Tidak lupa untuk memadukan semua itu dengan cardigan berwarna pastel kesayanganku. Dan mengurai rambutku sambil menyisirnya rapi. Atau harus ku ikat? Biarlah dia terutai dengan bebasnya.
"Allia... Sarapan sudah siap! " teriak ibu setelah mengetuk pintu kamarku.
"Aku akan segera keluar," sahutku sambil menoleh lip balm ke bibirku. Sepertinya, aku juga perlu memoleskan sedikit bedak, merapikan alisku dan menggariskan eyeliner setipis mungkin. Lalu melentikkan bulu mataku. Sempurna! Aku siap menjalani hari perkuliahanku. Semoga mood baik ini tetap bertahan sampai perkuliahanku selesai. Aku harus meletakkan beban beratku terlebih dahulu untuk menjalani hari ini. Atau aku harus terbiasa untuk berpura-pura bahwa moodku akan baik hari ini.
Lalu aku turun menuju meja makan yang telah terpenuhi oleh makanan berat yang akan memperkuat daya energiku untuk menjalani hari ini. Aku segera duduk tanpa memperhatikan Alan yang sedari tadi mengamatiku sambil menikmati sarapanya. Aku mempercepat makanku, meminum segelas susu putih dan mengusap bibirku dengan tisu. Lalu, membereskan piring, sendok, garpu, dan gelas kemudian mencucinya.
Alan mengikutiku, dia juga membereskan piring dan mencucinya. Tentu saja aku akan membiarkanya menyelesaikan semuanya. Walau akan di marahi oleh ibu kalau tahu aku membiarkan seorang tamu mencuci piringnya sendiri. Biarlah!
"Apa kau selalu seperti ini setiap hari? " tanyanya dengan raut wajah yang tidak pernah lesu. Aku sempat bingung kenapa dia selalu ceria dan bisa mempertahankan mood baiknya walau sering tak ku hiraukan.
"Ayo berangkat! Aku tidak mau terlambat," ujarku mengalihkan perhatian.
"Wahh! Cewek kuliahan yang disiplin! " pujinya setengah keheranan. Mana mungkin aku tidak melakukan kedisiplinan atau ibuku akan mencercaku dengan seribu petuah kuno miliknya.
"Mom... Aku berangkat," teriakku sambil mengambil kunci mobil digantungan dinding dan berjalan menuju garasi.
"Hati-hati di jalan," kata ibuku dari kamar dalam kamar mandi.
"Apa aku juga harus berteriak 'mom aku berangkat?' ha? " tanya Alan yang alih-alih akan mendapat jawaban dariku, toh aku hanya membuang muka sambil terus berjalan.
"Cepat masukkan semua barang-barangmu ke bagasi mobilku dan kita akan segera berangkat! " tukasku sambil membuka pintu mobil dan duduk di kursi pengemudi.
Alan memasuki kursi penumpang bagian depan setelah dia meletakkan barang-barangnya di bagasi, "apa kau yakin kalau kau akan menyetir dan aku hanya diam duduk di kursi pengemudi?"
"Percayakan semuanya padaku," kataku sembari menyalakan mesin mobil dan menginjak gas perlahan. Perjalanan dari rumahku menuju ke kampus memakan waktu sekitar empat puluh lima menit. Jadi, aku menyalakan radio dan mendengarkan lagu "Heart Attack" milik Demi Lovato seperti biasanya.
"Apa kau mau mengantarku ke rumah kontrakanku dulu sebelum mengantarku ke kampus?" tanya Alan sambil memelankan volume radio yang sedari tadi terdengar kencang.
"Tepatnya aku hanya mengantarmu ke kampus!"
"Soal barang-barangku bagaimana? Apa setelah perkuliahan selesai kau akan mengantarku lagi?" huh dia begitu ceria seolah akan mendapat waktuku nanti.
"Tidak! "
"Kenapa?"
"Itukan urusanmu, bukan urusanku," kataku sambil tersenyum kecut.
"Gadis kejam! " cacinya "Lebih baik kau antar aku ke rumah kontrakanku sehingga aku bisa mengambil motor dan pergi ke kampus, "
"Wah! Ide Bagus! Akhirnya kau peka juga... "
"Baiklah, aku tahu kau tidak akan sudi membagi waktumu untuk mengantarku berulang kali," keluhnya sambil membanting punggungnya ke kursi penumpang.
"Aku sibuk, maaf! " kemudian aku menginjak gas dalam-dalam untuk memastikan bahwa aku harus segera sampai di rumah dekat kampus yang sudah di kontrak Alan lalu segera terbebas dari jeratanya.
"Lurus, di perempatan lampu merah belok kanan. Lurus, dalam dua menit ada sebuah gang, masuklah ke gang itu. Itu dia...rumah pertama berwarna putih tulang," Alan menunjukkan jalan menuju rumah kontrakannya.
Ku injak remku segera, "turunlah, tidak perlu mengucapkan terimakasih,"
"Kasar sekali! Baiklah... Apa kau tidak penasaran dengan isi rumah yang telah ku kontrak ini?" katanya sambil menuruni mobilku.
"Tidak! Baiklah aku ke kampus dulu,"
"Hey bagaimana denganku?"
"Perjalanan dari rumah kontrakanku ke kampus kan hanya memakan waktu lima menit, cepat ambil barangmu di bagasi mobilku... " ujarku dan seketika dia menuju ke bagian belakang mobilku untuk membuka bagasi dan mengambil barang-barangnya. Brak! Suara bantingan pintu bagasi mobil, pertanda kalau dia sudah selesai membereskan semuanya.
Aku menginjak gas sambil tersenyum, "akhirnya... Aku terbebas dari pria itu... "
"Hey hati-hati di jalan Allia!!!!! " teriaknya. Dan aku hanya membalas dengan suara klakson.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penunggang Kuda Tanpa Suara
RomantizmGenre : Dark-Romance Terkadang, mengungkapkan cinta dengan lidah membuat semuanya menjadi mudah. Bagaimana jika cinta itu tak pernah terungkapkan dengan kata-kata?