Bab Lima

94 43 1
                                    

Pagi ini, kelas Akuntansi dimulai seperti biasa. Kalau bukan paksaan dari ayah, aku pasti tidak akan pernah mengikuti kelas yang sangat-sangat membuatku tidak mengerti ini. Seperti biasa, kursi yang paling belakang selalu menjadi pilihanku.

Ketika Bu Elsa mula menerangkan materi tentang Pergitungan Pajak. Aku mulai memasang headset putihku tepat dikedua lubang telingaku. Ketika nyaris menekan play pada mp3ku ketua kelas rese bernama Alan mendadak menyahut mp3ku. Aku berupaya menyahut tapi dengan cepat dia masukkan mp3 itu ke dalam saku celenanya.

"Lebih memilih mp3mu ku simpan sementara atau ku adukan pada Bu Elsa?" Rupanya dia mulai berani tawar-menawar.

"Whatever!" Tukasku sambil mengalihkan wajah dengan cemberut. Dan terpaksa, mau tidak mau aku harus memperhatikan Bu Elsa hingga dua jam ke depan dengan terkantuk-kantuk. Setelah menjelaskan materi, Bu Elsa memberi kami soal-soal Perhitungan Pajak yang entah harus ku apakan. Aku bahkan tidak tahu harus memulai mengerjakan darimana. Sejenak ku lirik Alan si ketua kelas yang mengerjakan dengan mimik serius itu. Dengan mengintip beberapa kali, akhirnya aku bisa menyalin jawabanya. Yuhu!!!

Setelah dua jam yang membosankan itu berlalu. Aku pergi ke kantin. Segera ku ambil nampan dan memilih roti lapis dan sedikit biji jagung manis yang telah di rebus. Kemudian, mengambil segelas soda. Lalu, aku berkeliling mencari meja yang kosong. Tiba-tiba, Gita melambaikan tangan sambil meneriakkan namaku, "Allia!" Ketika aku menoleh dia menunjuk kursi sebelahnya yang kosong, "duduk disini saja!"

Dengan segera aku menghampirinya. Meletakkan nampan dengan hati-hati dan mulai duduk bersamanya. Aku bersiap-siap untuk melahap roti lapisku. Tapi....

"Bagaimana kelas Akuntansimu tadi?" Tanyanya sambil melahap roti berisi kacang merah. Dan aku tidak jadi melahap makananku karena harus meladeninya terlebih dahulu.

"Seperti biasa, membosankan sekali," jawabku dengan nada menerawang. Sementara dia tidak menjawab, aku mencoba untuk melahap roti lapisku lagi. Tapi, tiba-tiba...

"Hai Allia!" seru Alan setelah duduk di kursi depan kami. Ku banting roti lapisku ke dalam nampan.
"Apa?!" Cetusku kesal mengingat kejadian perampasan mp3 kesayanganku itu.

Dia merogoh sakunya, lalu menyodorkan mp3 itu padaku, "Ini milikmu, aku pikir kamu akan mengambilnya setelah pelajaran tadi. Lain kali jangan menggunakanya saat pelajaran sedang berlangsung, oke?" Dia mencoba memastikan kalau aku benar-benar mendengarkanya atau tidak. Tapi, aku hanya mengangguk untuk menghargai nasehatnya. Setelah dia tersenyum, dia berlalu ke meja lain.

"Allia, sepertinya Alan si ketua kelas itu.....menyukaimu," komentar macam apa itu Gita!

"Aduh!"!" Gerutuku mengalihkan perhatian.

"Kenapa sih?" Gita terheran.

"Aku teringat Pangeran Penunggang Kuda Tanpa Suara," aku mengatakanya sambil menopang dagu dengan kedua tangan. Dan mulai membayangkan wajah tampanya, cara Sulu berkuda, cara Sulu berjakan, hingga cara dia memberikan senyuman manis padaku.

"Penunggang Kuda Tanpa Suara? Gila! Yang benar saja! Ceritakan! Ceritakan!" tuntutnya antusias.

Sementara aku masih terbengong-bengong, "jangan-jangan kalian bertemu di Bromo ya!" Lanjutnya sambil mengguncang bahuku. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.

"Dia bernama Sulu, dia lumayan tinggi dan atletis, aku saja sebahunya, dia sangat menyukai jaket Army, dia Penunggang Kuda paling hebat yang pernah ku temui, tapi...dia tidak bisa berbicara...." kalimatku tersendat takut kalau-kalau Gita menertawakanya.

"Dia tidak bisa bicara apa? Tak bisa bicara kalau dia menyukaimu?" Dia menuntut lagi.

"Itu ada benarnya juga sih. Tapi...."
"Tapi, kau yang berbicara duluan padanya karena sudah terlalu lama menunggu?" dia menggelengkan kepalanya kekanan dan ke kiri, "itu bisa saja disebut sebagai tindakan berani. Tapi, apa itu tidak terlalu berlebihan? Kalian baru kenal dan....."

Sebelum dia melanjutkan omelanya, ku ambil selada yang dihimpit oleh kedua roti lapisku, lalu menyumpal mulut Gita dengan selada itu, "Tunggu! Kau tidak akan mengerti!" Aku menghela nafas panjang sembari menunggu Gita menelan selada itu, "berjanjilah tidak akan menertawakan perkataanku," ucapku sambil mengacungkan jari kelingking. Dia mengangguk dan menyatukan kelingkingnya dengan kelingkingku. Ku ceritakan seluruh kisah itu selama di Bromo. Awal kami bertemu. Dan rasa penasaranku kepada si pemilik senyuman manis nan mempesona itu, hingga akhirnya, "Dia tuna...wicara...sejak lima tahun....yang lalu..."

"Apa?" Mulut Gita melongo hingga membentuk huruf O. Sementara aku hanya mengangguk dan memikirkan apakah tindakanku untuk menceritakan Sulu pada Gita ini salah?

JANGAN LUPA VOTE!!!!! WKWK...

Penunggang Kuda Tanpa SuaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang