Aku berteriak seperti serigala kelaparan yang baru saja menemukan seribu mangsa. Ahh, suasana disini indah sekali. Walaupun disini sangat dingin dan aku tidak bisa melepas jaketku sedetikpun. Tapi, aku sangat menyukai Bromo dan penduduk sekitarnya. Terutama Paman Wangso dan Bibi Malia, mereka sangat mengerti kemauanku.
Bibi Malia melambaikan tanganya kepadaku dengan senyuman lebar khas orang Bromo. Aku menyebutnya begitu, Aku menghampiri Bibi Malia dan memeluknya dengan hangat. Bibi Malia melilitkan syalnya ke leherku dengan perlahan lalu menuntunku menuju ke rumahnya yang berada di kaki Bromo. Desa itu bernama Ngadas, Aku sangat senang sekali lagi.
* * *Kami segera bergegas menuju ke kawah, lebih tepatnya aku mengantarkan Bibiku untuk melakukan semacam sembahyang. Dia adalah wanita suku Tengger. Aku melihat Bibi Malia yang sedang berdoa dengan dua tanganya yang memegang dupa yang telah di bakar, ujung dupa itu menghembuskan asap-asap.
Kemudian Bibi Malia meletakkan ujung bawahnya di depan dahi, aku melihat mulutnya masih berkomat-kamit. Selepas itu, Dia menancapkan dupa itu di tempat berbentuk kotak yang di kelilingi oleh dinding-dinding kecil.
Akhirnya dia selesai melakukan sembahyang, Kami berjalan perlahan untuk melewati anak tangga. Aku menunduk ke bawah untuk merapikan jaketku. Sepatuku memiliki alas yang sedikit licin di tambah debu-debu yang bertengger di anak-anak tangga berwarna abu-abu itu, itu akan semakin membuatku mudah terpeleset. Aku melewatkan anak tangga yang di penuhi dengan debu dari anak tangga lainya, tapi aku malah terpeleset dan ini seperti slow motion. "Aa.." teriakan itu reflek keluar dari mulutku. Seseorang menangkapku dan menahanku dari terjatuh. Aku memejamkan mata hampir dua puluh detik lamanya, perlahan-lahan ku buka mataku, seseorang yang menangkapku membuat tubuhku beku dan mataku melebar. Dia adalah pria pemilik senyuman termanis itu, dan aku sangat tidak menyangka jika harus bertemu dengan dia dengan cara yang dramatis seperti ini.Aku melepaskan diriku perlahan tapi dengan wajah yang terkejut yang belum bisa ku netralkan. Aku menghembuskan nafas sampai akhirnya aku kembali menemukan suaraku "Ee.. Terima-kasih" Ucapku pada pria itu. Tapi dia hanya membalasku dengan senyuman yang membuatku meleleh. Setelah itu dia pergi ke atas, sepertinya dia menuju ke Kawah. Bibi Malia berteriak memanggil namaku dari belakang, seketika aku berbalik dan menghampirinya.
"Pria tadi itu siapa Bi, apa Bibi mengenalnya?"
"Dia Sulu, dia anak teman pamanmu. Dia pandai mengendalikan kuda saat menungganginya tanpa suara sedikitpun dan cambukan apapun" Bibi Malia terlihat sangat bersemangat menceritakan sosok pria itu. Sontak membuatku semakin mengagumi pria itu."Wah, kalau begitu dia adalah pria yang baik" Aku tidak terlihat berlebihan bukan? hanya memujinya dengan kata 'Pria Baik'
"Apa kau menyukai Sulu?" Bibi Malia mungkin menggodaku atau benar-benar menginginkan jawaban yang serius. Tapi, aku tidak bisa berkata jujur begitu saja.
"Ah Bibi, Bibi Malia ada ada saja" Aku harus menahan tawaku agar penyamaran ini tidak terbongkar. Aku bukanlah tipe wanita yang bisa mengatakan perasaanku yang sebenarnya secara begitu saja.Akhirnya kami sampai di bawah, aku bertemu dengan Paman Wangso yang sedang menuntun kudanya. Dia mengantarkan tourist ke atas kawah, Aku berpamitan kepada Bibi Malia untuk membantu Paman Wangso. Dan Bibi Malia mengiyakan permintaanku, dan itu selalu terjadi.
Aku berjalan di samping Paman Wangso, tangan kananya memegangi tali yang mengikat kuda cokelatnya. Aku menenteng air putih dingin yang belum ku minum sama sekali. Aku tidak akan capek walau harus naik turun kawah, asalkan bisa melihat senyum pria itu. Itu sudah cukup untuk ku jadikan sebagai bayaran. Dan benar saja kami bertemu dengan Sulu.
Paman Wangso membantu tourist itu turun dari kudanya, Dia menyuruhku memegang tali kuda dan menjaga kuda itu. Ternyata dia menghampiri Sulu dan tidak mengajakku. Mereka terlihat berbincang, tapi aku tidak bisa mendengar suara apapun dari mulut Sulu. Atau dia memang benar-benar pria yang penuh dengan sopan santun sehingga memelankan suaranya saat berbicara kepada orang yang lebih tua.
Paman Wangso berjalan ke arah ku dan Sulu mengikutinya. Jantungku berdentum kencang entah kenapa, Ini bukan saat yang tepat untuk itu. Aku harus bagaimana jika dia menyapaku atau mengajakku berkenalan. Tapi itu tidak mungkin. Dia kembali tersenyum padaku, atau pada siapa. Tapi aku satu-satunya wanita yang ada di depanya. "Allia, ini Suli. Sulu ini Allia" ucap Paman Wangso. Ternyata perkenalan itu terjadi secepat tiga detik saja. "Allia, maafkan paman karena harus meninggalkanmu tapi paman harus melakukan Sembahyang bersama para tetua. Jadi, Sulu akan membantumu mengurus kuda. Sulu sangat pandai" Tutur Paman Wangso kepada kami, tapi Sulu tidak berkomentar jadi aku juga diam dan hanya mengangguk. Beberapa detik kemudian Paman Wangso pergi.
Sekarang tinggal kami berdua dan satu ekor kuda ini. Aku langsung menyeret kuda itu untuk berkeliling dan Ali mengikutiku. Kami sempat hening tapi Ali sama sekali tidak berupaya mengajakku berbicara. Jadi untuk pertama kalinya aku membuka pembicaraan bersama pria yang telah membuat jantungku tak karuan semacam ini "Mm.. Apa kau tidak bersekolah?" Tanyaku. Dia mengangguk. "Apa kau kursus Olahrahga Berkuda atau apa?" Tanyaku lagi, dan dia menggeleng. Baiklah, mungkin temaku kurang menarik. "Kalau begitu, bagaimana caramu menaklukan kuda tanpa suara sedikitpun, Sulu?"Aku mencoba menyebutkan namanya. Dia hanya tertawa tapi tidak terdengar suara tawa apapun dari mulutnya, lalu dia menggeleng-geleng.Aku kesal karena sepertinya dia memang tidak mau mengobrol denganku, aku rasa dia tidak menghargaiku. Dia sama sekali tidak mengeluarkan suara apapun, dan aku rasa dia mengabaikanku. Jadi, aku menyodorkan tali yang mengikat kuda paman Wangso kepada Sulu dengan sedikit hentakan dan aku pergi tanpa menoleh lagi ke arahnya. Dan dia sama sekali tidak berteriak untuk mencegahku.
Bibi Malia sedang memetik tomat di kebunya, aku membantunya dan menyahut keranjang tomat yang di gantung di dekat pagar kayu. "Ada apa Allia?" tanya Bibi Malia. "Yang benar saja Bi, aku di suruh menjaga kuda bersama pria bernama Sulu, dan dia sama sekali tidak mau berbicara saat ku ajak mengobrol. Menyebalkan sekali" gerutuku sambil memetik tomat-tomat kecil.
"Al" Bibi Malia memegang bahuku "Allia" panggilan kedua itu membuatku menoleh "Dia bukanya tidak mau bicara Allia, tapi dia kehilangan suara semenjak lima tahun yang lalu. Dan sekarang dia bisu"
Aku sangat terkejut dengan hal itu "Bibi, Maafkan aku. Aku menyesal telah memakinya" Aku menunduk "Bagaimana hal itu bisa terjadi padanya Bi?" Aku tidak bisa menyembunyikan sejuta ekspresi kawatir di wajahku.
"Dulu, saat dia mengikuti Festival Balap Kuda dia hampir menjadi pemenang. Tapi musuhnya tidak mau kalau Sulu menjadi pemenang, kemudian si musuh menggolakkan kudanya ke kuda Sulu, hingga Sulu terjatuh ke hamparan pasir. Lalu, kuda sang musuh menginjak-injak leher Sulu hingga Sulu terjatuh pingsan. Dokter melakukan operasi, Tapi Sulu kehilangan suaranya. Mungkin karena luka itu terlalu dalam, beruntung dia tidak mati"
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Penunggang Kuda Tanpa Suara
RomansaGenre : Dark-Romance Terkadang, mengungkapkan cinta dengan lidah membuat semuanya menjadi mudah. Bagaimana jika cinta itu tak pernah terungkapkan dengan kata-kata?