Bab Duapuluh Delapan

21 14 8
                                    

"Selamat, " ucap Alan sambil menyodorkan buket bunga Mawar yang harum nan Indah.

"Untuk apa?" tanyaku heran.

"Kau berhasil menyelesaikan perkuliahan semester dalam waktu yang singkat,"

"Tapikan ini cuma perkuliahan semester, bukan wisuda... Maaf aku tidak bisa menerimanya,"

"Tidak! Kau harus tetap menerima buket ini," katanya sambil menarik tangan kananku dan memaksa jari-jariku untuk menerima sebuket bunga Mawar itu.  Sebelum aku mengucapkan terimakasih, Alan berlalu begitu saja.

"Jangan ucapkan terimakasih" teriaknya sembari membalikkan badanya.

"Ada ada saja," kataku sambil membawa bunga itu.

"Hey... " Gita yang mendadak muncul tiba-tiba menyenggol bahuku, "Wow! Bunga dari siapa itu?"

"Alan,"

"Wah dia romantis sekali. Padahalkan kau hanya menyelesaikan perkuliahan semester genap. Ternyata dia masih Setia menunggu,"

"Huss! Sudah jangan mulai,"

"Oke oke! Aku kehilangan berat badanku karena kelas cepatan ini. Walaupun aku berulang kali sakit. Setidaknya aku harus mengucapkan terimakasih pada sahabatku. Berkat kelas inilah berat badanku berkurang dan aku tidak perlu melakukan diet,"

"Kau ini sudah gila ya," ejekku lalu kami tertawa bersamaan, "Ngomong-ngomong, apakah kau sudah mempersiapkan semua yang kita butuhkan untuk ke Bromo?"

"Memangnya secepat itu ya?"

"Jika kita berangkat besok maka kita bisa menonton acara Festival sekaligus! "

"Festival? "

"Ya! Disana ada teater kolosal, pesta topeng tradisional dan juga tari-tarian khas Joko Seger dan Rara Antheng,"

"Wahh! Pasti seru. Kalau begitu ayo bersiap-siap sekarang dan segera berangkat esoknya,"

Keesokan paginya aku harus berjuang mati-matian untuk membangunkan Nagita yang habis begadang semalam. Jika aku tidak berhasil membangunkannya. Maka, macet akan menyerang perjalananku ke Bromo.

"Gita! Bangun! " teriakku sambil menggebuk-gebukkan bantal ke badanya, "Gita! Setengah jam lagi jipnya datang! " aduh tidak ada cara lain lagi.

Aku mengambil segayung air dari kamar mandi lalu menyiramkanya ke mukanya, "Bangun! Cepat! "

"Hujan! " dia terlonjak begitu ia terbangun.

"Bergegaslah! Setengah jam lagi jipnya datang,"

"Apa?!  Kenapa kau tidak membangunkanku dari tadi? " saking terkejutnya dia segera berlari ke kamar mandi.

"Apa... Kenapa kau tidak membangunkanku dari tadi?" aku mencoba menirukan gaya bicaranya yang menyebalkan.

Tepat setelah Gita ganti baju dan memakai jaket hangat. Jip kamipun datang. Kami segera keluar sambil membawa ransel dan beberapa tas kecil serta paper bag. Gita dan aku memakai kacamata hitam secara bersamaan. Begitu supir jip memulai perjalanan kami mengucapkan, "Bromo kami datang! "

Tapi hati kecilku terus mengucap, "Sulu, aku datang! " sambil terus merasakan dadaku yang gemetar karena takut akan sesuatu dan ingin akan sesuatu.

Penunggang Kuda Tanpa SuaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang