Pagi-pagi sekali ibuku mengantarku berangkat ke Sekolah menggunakan mobil. Itu karena barang bawaanku yang luar biasa banyak dan berat. Ah, jadi ingat semalam. Bagaimana caraku kemarin malam memilih pasangan pakaian yang cocok agar terlihat lebih baik bila ku kenakan saat akan bertemu dengan Sulu nanti. Dasar konyol! Astaga aku menertawakan diriku sendiri ketika melihat bayangan senyam-senyumku di kaca spion.
"Kenapa tertawa? Ada sesuatu yang lucu?" Celetuk ibu yang menyadariku tengah senyam-senyum sendiri.
Tawaku mereda seketika, "Tidak, hanya senang saja, aku akan berhari-hari di Bromo dan akan bertemu dengan...." mana mungkin aku harus berkata jujur kalau sebenarnya aku sangat senang karena aka bertemu dengan Sulu,
"Dengan?"
"Dengan.... Bibi Malia dan Paman Wangso,"
"Kadang-kadang, ibu juga merindukan mereka, lain kali bilang pada paman dan bibimu, suruh mereka yang berkunjung ke rumah," ucap ibu dengan riang.
"Baiklah," dan aku hanya mengangguk.
Lima belas menit berlalu, ibuku menginjak rem dan menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang sekolah. Menarik rem belakang, melepaskan sabuk pengaman, dan menuruni mobil setelah ku lakukan hal yang sama. Ku buka pintu bagasi dan ibuku dengan baiknya membantuku menurunkan koper dan ranselku.
"Allia, jaga diri ya," tutur ibu dengan lembut.
"Tentu," jawabku sambil merengkuh tubuh ibu dengan cukup lama. Ku lambaikan tanganku setelah semua itu. Sambil menyeret koper dan mengenakan ransel, aku berjalan melewati gerbang, menuju ke lapangan tengah dimana murid-murid Study Tour sedang berkumpul disana."Allia!" Gita mengagetkanku, ku lihat gayanya hari ini. Dia memakai kacamata hitam dengan uraian rambut yang tidak biasanya.
"Gita, very very glamour! Kitakan mau naik gunung bukan mau naik panggung!" Gurauku disusul dengan tawa Gita yang keras dan tawaku yang tidak karuan.
"Kau pikir Teteh Syahrini tidak akan memakai kacamata hitam kalau mau naik gunung, lalu kau pikir Selena Gomez tidak akan pergi dulu kalau mau ke gunung, Hello, inikan 2017! Semuanya serba glamour!" Lalu dia menertawakan perkataanya yang tidak jelas hingga bahunya terguncang-guncang.
"Ya, ya, ya,"
"Barang bawaan konyolmu hari ini apa?"
"Raket Badminton!"
"Apa? Dimana-mana kalau mau naik gunung bawa tali atau apapun itu, tapi kau...?"
"Pikirmu Lee Youngdae tidak akan membawa raket kalau mau naik gunung," kami tertawa lagi oleh lelucon yang ku buat.
Alan yang lewat, menghentikan langkahnya dan mengamati kami, "kalian sedang memebicarakan apa? Kelihatanya seru sekali," tapi tatapan matanya hanya tertuju padaku.
Aku mengalihkan pandanganku sambil menggaruk rambutku yang tidak gatal. Sementara Gita melirikku dengan senyuman tidak jelas, "apa aku harus pergi dan memberi kalian waktu untuk mengobrol?" Katanya sembari melangkahkan kaki. Tapi, segera ku tarik hingga kembali ke sisiku.
"Kalau kau meninggalkanku, aku benar-benar akan membunuhmu!" Bisikku di telinga Gita.
"Oh iya, nanti saat ada permainan yang di adakan oleh Pak Agus, kita bertiga satu tim," umunya dengan mata berbinar. Aku tidak yakin kalau dia merasa bahagia bisa satu tim denganku.
"Terimakasih infonya," itu hanya untuk menghargai perkataanya.
"Sama-sama," jawabnya sambil tersenyum. Tunggu, bahkan aku tidak ingat bagaimana cara cowok ini tersenyum padaku terakhir kali. Aku hanya mengingat cara Sulu tersenyum walaupun setiap hari tidak bertemu. Ternyata, senyuman Sulu benar-benar memberikan efek samping yang memanjang untukku.
*
Pak Agus mulai meniup peluitnya, memerintahkan kami agar memasuki jip-jip yang telah berjejer di lapangan tengah, dengan ayunan tangaanya. Aku memasuki jip berwarna merah, sesuai dengan intruksi yang diberikan si Ketua Kelas. Alan berdiri persis di belakangku, sementara Gita berdiri disampingku. Beberapa murid lainya juga menaiki jip ini.
Jip mulai berjalan keluar melewati gerbang. Melewati jalan raya, melewati The Forest dan lurus hingga tugu pertigaan. Kemudian, kami berbelok ke kiri dan melaju lurus lagi. Kami mulai melewati hutan sengon yang berjajar dengan rapi. Tingginyapun tak terkira. Warna batang putihnya membuat siapa saja yang memandangnya menjadi senang. Supir jip menyetir dengan sangat kencang, seperti gaya supir Bis pada umumnya. Badan kami terpontang-panting ke kanan dan ke kiri karena melewati belokan beberapa kali.Aku baru menyadari kalau aku baru saja melewati Rest Area. Disana juga banyak rombongan yang sedang beristirahat atau sekedar meminum kopi di kedai-kedai sambil menikmati pemandangan alam yang sangat indah dan sejuk. Kebun-kebun apel mulai kami lewati, hutan-hutan pinuspun telah menyambut kami dengan hangatnya. Jalanan semakin menanjak naik dan berkelok-kelok. Bunga-bunga berwarna kuning yang bermekaran mendayu-dayu karena tiupan angin gunung. Sayur-mayur yang ditanam terlihat begitu rapi. Kebun-kebun petani gunung memang luar biasa. Mereka pasti merawatnya dengan sepenuh hati. Aku saja bisa terenyuh melihat keindahanya. Ku rapatkan jaketku ketika cuaca mulai bertambah dingin.
Kicauan burung masih terdengar dari kejauhan. Wajahku nyaris beku terterpa angin, beruntung matahari masih bersinar dengan terik. Jadi, kehangatanlah yang ku rasakan saat ini, "kenapa harus pohon pinus yang ditanam di pegunungan?" Celetukku yang sedari tadi menemui pohon-pohon pinus."Aku tidak tahu, kenapa kau tidak menelepon tim perhutani Kabupaten Malang saja dan menanyakan hal itu?" Guraunya sambil cekikikan. Dan wajahku mengkerut seketika karena sebal.
"Karena pohon pinus bisa menahan tanah dari longsor. Di pegunungankan banyak lereng yang curam Al," sahut Alan di belakangku. Tunggu-tunggu, dia berbisik tepat di samping telingaku. Selain pintar, disiplin saat di kelas, tegas saat menjadi Ketua Kelas, pandai menghitung Akuntansi, ternyata dia juga berwawasan luas. Atau pikiranku saja yang terlalu sempit?
Tiba-tiba, srettttttt!!!!!!! Supir jip menginjak rem secara mendadak. Teman-teman yang lain terjatuh ke belakang. Sementara aku, ada Alan yang menangkapku. Padahal dia sendiri nyaris terjatuh. Setelah sepersekian detik kejadian itu. Aku segera berdiri dengan normal tapi tidak mengucapkan terimakasih padanya. Ku rasa ini masih terlalu kaku.
Syukurlah, setelah menikmati indahnya perjalanan yang berkelok-kelok tadi. Kini kami mulai melewati gapura yang bertuliskan 'Selamat Datang Di Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru'Indahnya ilalang-ilalang menyegarkan mataku yang memandangnya. Angin-angin menerpanya dengan lembut. Rumput-rumput tumbuh subur di tanah ini. Dan lautan pasir yang luas menambah keasyikan perjalanan yang kami lakukan. Penat-penatku mulai melebur, terhibur oleh indahnya pemandangan. Di sini, di tanah ini. Tanah yang sangat aku cintai. Bromo!
Kami berhenti di padang ilalang untuk mendirikan tenda. Pak Agus berkeliling untuk melihat kerja sama masing-masing tim. Satu jam kemudian, setelah pasak-pasak telah ditancapkan dengan dalamnya, dan tali-tali mengait dari pasak ke tenda. Alhasil, tenda kami berdiri dengan kokohnya. Pak Agus memberikan kami sedikit waktu untuk beristirahat dan memakan bekal. Kami semua duduk melingkar dengan masing-masing tim. Membuka nasi bungkus berisi ayam goreng dan lalapan. Bismillah, kami mulai memakan bekal.
***
JANGAN LUPA FOLLOW, COMMENT, DAN VOTE YA GOOD READERS!!! :) :)
MAAF KALAU ADA SALAH KATA DAN TYPO-TYPO BELAKA
HAPPY READING GOOD READERS : )
KAMU SEDANG MEMBACA
Penunggang Kuda Tanpa Suara
DragosteGenre : Dark-Romance Terkadang, mengungkapkan cinta dengan lidah membuat semuanya menjadi mudah. Bagaimana jika cinta itu tak pernah terungkapkan dengan kata-kata?