Bab Sebelas

78 35 0
                                    

Upacara Kasada Bromo atau Festival Yadya Kasada adalah Upacara Adat Suku Tengger Gunung Bromo. Suku Tengger Gunung Bromo merupakan salah satu suku tua di Pulau Jawa, merupakan penduduk asli di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, merupakan salah satu taman nasional yang terbaik di miliki Indonesia terletak di Propinsi Jawa Timur.

Sebagai Taman nasional yang menyedot perhatian wisatawan dari berbagai belahan dunia, di sini terdapat berbagai macam obyek wisata menarik yang menawarkan suguhan sebagai sarana berlibur wisatawan.
Suku Tengger, sebagai suku asli yang mendiami Gunung Bromo mempunya berbagai macam ritual adat.

Salah satu upacara adat yang terkenal adalah Upacara Yadya Kasada , merupakan ceremonial dari rakyat Tengger untuk persembahan kepada Tuhan yang di tuangkan dalam upcara di Gunung Bromo. Lokasi tepatnya upcara ini terletak di Pura Luhur Poten, dengan start jam 12 malam maka upacara ini sungguh sangat hidmat. Jadi, kami rela bangun pagi-pagi sebelum matahari terbit demi menyaksikan upacara ini. Masyarakat sekita Bromo familiar dengan menyebut istilah Kasodoan, kasadan atau hari raya kasodoan.

Keunikan dari Upacara Adat Yadnya Kasada adalah dengan ritual pelemparan berbagai hasil bumi yang berupa sayuran, buah buahan, atau hewan ternak ayam atau kambing atau sapi yang di lemparkan ke mulut kawah Bromo.

"Allia, bagian mana yang paling kamu suka pada Upacara yang dilakukan oleh suku Tengger ini?" Tanya Alan yang sedari tadi berdiri disampingku.

"Pertama, nama suku Tengger sendiri saja sudah membuatku jatuh cinta. Apalagi hal yang berkaitan denganya," Jawabku sambil terus memperhatikan para suku tengger membawa sesaji dan hasil buminya ke atas kawah. Agar tidak mengganggu ke khidmatan itu sendiri. Pak Agus melarang kami melihat terlalu dekat. Ku lihat Bibi Malia dan Paman Wangso juga turut hadir di barisan orang-orang pembawa sesaji. Senyumku bertambah lebar ketika melihat Sulu yang membawa rangkaian buah-buahan dengan gaya berjalanya yang keren. Mataku memperhatikan detail-detail kakinya ketika melewati tangga-tangga menuju kawah.

Gita sedari tadi asyik mengambil foto. Alan masih mengajakku mengobrol sambil mencatat sesuatu yang dirasa penting. Di tengah keramaian ini, serasa hening dan damai ketika aku memandangi Sulu Joko Sunantha.

"Bagaimana kalau sebagian dari makalah kita memuat kisah tenyang Roro Anteng dan Joko Seger,
Masyarakat suku Tengger asli sudah ada sejak zaman dahulu kala. Pada saat Majapahit mendapat serangan dari berbagai macam daerah. Para pengikut dari Majapahit banyak yang melarikan diri, diantaranya ke gunung bromo dan.pulau Bali. Hal itu menyebabkan kedua tempat ini memiliki kebudayaan yang hampir sama. Masyarakat asli suku Tengger membaur dengan masyarakat pendatang dari kerajaan Majapahit. Dilereng gunung pananjakan, di sekitar situ juga tinggal seorang pertapa yang suci. Suatu hari istrinya melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan, wajahnya bercahaya, menampakan kesehatan dan kekuatan yang luar biasa. Untuk itu anak tersebut diberi nama Joko Seger, yang artinyajoko yang sehat dan kuat. Disekitar gunung itu jugalahir bayi perempuan titisan dewa, wajahnya cantikdan elok, waktu dilahirkan bayi itu tidak menangis,diam dan begitu tenang. Sehingga anak tersebut diberi nama Roro Anteng, yang artinya Roro yangtenang dan pendiam.
Semakin hari Joko Seger tumbuh menjadi seoranglelaki dewasa begitupun Roro Anteng juga tumbuh menjadi seorang perempuan yang cantik dan baik hati. Roro Anteng telah terpikat pada Joko Seger, namun pada suatu hari ia dipinang oleh seorang Raja yang terkenal sakti, kuat, dan jahat. Sehingga ia tidak berani menolak lamarannya. Kemudian Roro Anteng mengajukan persyaratan pada pelamar itu agar dibuatkan lautan di tengah gunung dalam waktu satu malam. Pelamar itu mengerjakan dengan alat sebuah tempurung kelapa (batok kelapa). Dan pekerjaan itu hampir selesai, melihat kenyataan itu hati Roro Anteng gelisah dan memikirkan cara menggagalkannya, Kemudian Roro Anteng mulai menumbuk padi ditengah malam. Sehingga membangunkan ayam-ayam, ayam-ayam pun mulai berkokok seolah-olah fajar sudah menyingsing.
Raja itu marah karena tidak bisa memenuhi permintaan Roro Anteng tepat pada waktunya. Akhirnya batok yang ia gunakan untuk mengeruk pasir tersebut dilemparnya hingga tertelungkup di dekat gunung bromo dan berubah menjadi sebuah gunung yang dinamakan gunung batok. Dengan kegagalan raja tadi akhirnya Roro Anteng menikah dengan Joko Seger. Mereka membuka sebuah perkampungan dan diberi nama Tengger.
Nama tengger di ambil dari gabungan akhir suku kata Roro Anteng dan Joko Seger. Tengger juga berarti moral tinggi, simbol perdamaian abadi. Roro Anteng dan Joko Seger belum juga dikaruniai momongan setelah sekian tahun menikah, maka diputuskan untuk naik kepuncak gunung bromo. Tiba-tiba ada suara gaib menyatakan jika mereka ingin mempunyai anak mereka harus bersemedi agar doa nya terkabul dengan syarat apabila mendapatkan keturunan anaknbungsu harus dikorbankan ke kawah gunung bromo. Akhirnya merekapun mendapatkan keturunan 25 orang putra dan putri" begitulah cara Alan menjelaskan tentang Nama Tengger dengan pikiran cerdasnya yang luar biasa.

Wawasan yang luas adalah wawasan yang dia miliki selama ini.
Just  For Your Information nih guys. Kata Tengger sendiri, diambli dari kata nama belakang dari kedua pasangan yang melegenda ditanah Bromo Semeru ini. Yaitu, Roro Anteng dan Joko Seger.

"Allia?" Alan memanggilku dengan sedikit sentakan.
"Iya?"
"Bagaimana?"
"Eh...ya...ya...ide bagus!" Padahal aku tidak tahu barusan dia berkata apa. Tapi, kalau dia bertanya 'bagaimana?' Sudah pasti tadi dia menjabarkan ide-idenya.
"Baiklah kalau begitu, tema kita tentang Roro Anteng dan Joko Seger,"
"Jadi, kita tidak mengambil tema Penunggang Kuda begitu?" Dan aku tidak bisa menyepakati begitu saja.
"Kamu bilang tadi ide itu adalah ide bagus. Jadi, kamu tidak memperhatikan kata-kataku begitu?"
Kalau aku menjawab jujur, pasti dia akan sangat kecewa, "ya sudah aku setuju,"
Kemudian, kami bertiga berjalan menuju pura setelah matahari menyingsing dan para Suku Tengger mulai berkeliaran. Disana, ada Paman Wangso, Ayah Sulu, Sulu dan juga para tetua lelaki lainya yang sedang melakukan sembahyang. Aku memotretnya ketika Sulu menempelkan ujung dupa didepan dahinya. Bagian atas dupa itu menyembul asap-asap berwarna abu. Sulu masih tetap memejamkan matanya. Rasanya ingin sekali memanggil dan melambaikan tanganku padanya. Tapi, dia terlalu khidmat sehingga aku pasti akan sengat mengganggu jika memanggilnya. Jadi, ku putuskan untuk pergi ke tempat lain.
Untuk sementara ini, kami dilarang mendekati kawah. Akibat dari hasil-hasil alam yang dilemparkan kesana, membuat kawah itu menyembul dengan asap hitam pekatnya. Bunyi gemuruh sangat jelas terdengar dari sini. Kami bertiga duduk-duduk di pasir, tiba-tiba aku menguap karena rasa kantuk menyerangku begitu saja. Ku pejamkan mataku perlahan-lahan. Dan dengan posisi apapun aku bisa tertidur jika sudah sangat mengantuk seperti ini.
Tanpa sepengetahuanku, Alan menarik kepalaku dan menyandarkan di bahunya. Dia mengusap rambutku sambil berkata, "kamu pasti kelelahan,"
Satu jam kemudian, aku terbangun dan menyadari kalau sedari tadi aku tertidur dibahu Alan. Aku mengangkat kepalaku dengan segera, "aku tadi tertidur dibahumu?"
"Ya, sejak awal ketika kamu mulai terlelap. Tenang saja, bahuku bisa kau pinjam kapan saja untuk bersandar,"
"Aduh...maaf ya, merepotkan," tuturku sambil merapikan rambutku yang berantakan.
"Ngomong-ngomong, ini ada selembar kertas untuk kamu," kata Alan sambil menyodorkan selembar kertas. Kertas itu begitu mirip dengan sobekan-sobekan yang selama ini Sulu berikan padaku.
"Dari siapa?" Tanyaku penasaran.
"Seorang teman yang entah siapa namanya. Sepertinya dia tidak mau berbicara padaku. Jadi, dia sama sekali tidak menyebutkan namanya, dia terlihat begitu angkuh," komentar-komentar Alan persis seperti komentar pertamaku ketika bertemu dengan Sulu. Apa surat ini dari Sulu?
Ku buka lipatan kertas itu cepat-cepat, didalamnya ada tulisan, "Maaf jika bahuku tak cukup baik tuk kau jadikan sandaran, maaf jika waktuku tak lebih luang untuk ku habiskan denganmu, lelaki yang meminjamkan bahunya itu, benar-benar membuatku iri. Kau terlihat begitu nyaman sehingga terlelap dibahu pria itu. Selamat tidur dan mimpi indah, Sulu," Bacaku dalam hati.
"Apa kau membaca surat ini?" Tanyaku pada Alan dengan tatapan was-was.
"Ku rasa itu privasimu, jadi aku tidak berniat membacanya. Tapi, kalau kau ingin menunjukkanya padaku, itu tidak masalah,"
"Jadi, apakah lelaki pemberi sobekan ini melihatku terlelap? Di sini? Di bahumu?" Tutunku dengan wajah yang begitu risau.
"Ya, tentu saja. Siapa saja yang lewat pasti melihatnya," jawabnya dengan enteng tanpa tahu apa-apa yang ku pikirkan.
"Jadi, kau membiarkan dia begitu saja?"
"Allia, apa maksudmu?" Tanyanya dengan muka polos yang sangat tidak ingin ku lihat. Tanpa menjawab terlebih dahulu, aku malah berlari untuk mencari Sulu.
***

Penunggang Kuda Tanpa SuaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang