Menyelesaikan perkuliahan dalam dua bulan memang menyita begitu banyak waktu. Bahkan hari liburpun ku gunakan untuk mengevaluasi pembelajaran mata kuliahku. Takut-takut kalau hasil ujian akhirku nanti mengecewakan.
Kesibukanku dalam dua bulan ini akan seperti kesibukanku disaat aku mempersiapkan ujian nasional sewaktu SMA. Bedanya, aku tidak mengikuti les atau paduan guru di luar kampus.
Dalam dua bulan ini, rinduku terhadap Sulu tidak begitu menggebu daripada waktu itu saat berpisah. Itu karena pikiranku selalu teralihkan oleh bidang studi yang ku geluti ini. Rasanya kepalaku mau pecah karena memaksakan semua pembelajaran masuk ke otakku.
Nagita saja sudah sakit-sakitan karena terlalu terforsir untuk menyelesaikan perkuliahan lebih awal. Alhasil aku harus selalu menemaninya berulang kali pergi ke Rumah Sakit Universitas Brawijaya. Toh, rumah sakit itu sangat dekat dengan kampusku UB.
"Aduh Allia... Aku sepertinya ingin menyerah... Bahkan aku tidak sempat mengecek ponsel karena tugas-tugas selalu menerkamku," keluhnya sambil menempelkan wajahnya pada meja kelas.
"Jangan... Kau tidak boleh menyerah, aku ada ide lain,"
"Apa?"
"Aku akan membantumu menyelesaikan tugas-tugasmu, aku janji,"
"Janji ya?"
"Iya, janji,"
"Kau bertangung jawab penuh atas kesengsaraanku Allia! "
"Baiklah! Aku akan membantumu," dan aku harus selalu kerja dua kali lipat disetiap harinya. Sampai-sampai kondisiku juga hampir melemah. Beruntung ibuku mau menyiapkan menu-menu bergizi dan selalu memebelikanku vitamin. Jadi, sistem kekebalan tubuhku tidak selemah Gita yang tidak pernah terlepas dari makanan instan.
Setelah lama ku sembunyikan ponselku di laci. Aku sesekali mengeceknya sambil menyambungkanya ke colokan charger yang menyambung pada listrik. Tiga ratus dua puluh delapan panggilan tidak terjawab dan sembilan ratus pesan singkat telah masuk menjejali ponselku. Huh! Dan semua itu dari Alan. Memang sudah hampir sebulan sih aku tidak mengecek ponsel sama sekali.
Tiba-tiba ponselku berdering, telefon dari Alan. Aku mengangkat telefon itu, hanya sebagai teman biasa.
"Hallo?" sapaku.
"Hal... Hallo! Allia! Akhirnya kau menjawab teleponku juga," dia berteriak kegirangan dari seberang telefon.
"Ada perlu apa? "
"Sebenarnya tidak ada, hanya saja... Aku khawatir disaat kau tidak membalas pesanku,"
"Aku baik-baik saja, kau tidak perlu melakukan hal itu lagi,"
"Bahkan ketika beberapa kali aku berkunjung ke rumahmu kau dan orangtuamu tidak ada,"
"Ya, kami pindah sementara,"
"Apa? Kenapa? Kemana?"
"Emm... Kau tidak perlu tahu Alan. Ini urusan keluarga kami,"
"Lalu, kenapa kau tidak pernah ada di fakultasmu?"
"Aku mengambil kelas cepatan sejak awal semester ini, dan pindah rumah agar perjalanan ku tidak menyedot semua staminaku,"
"Astagah! "
"Sudah ya, aku sibuk, aku harus belajar untuk ujian besok,"
"Baiklah. Semoga berhasil! "
"Terimakasih! " lalu segera ku tutup telefonya, mencabut charger dan kembali memasukkan ponselku ke dalam laci. Ya! Tanpa ponsel anak muda sepertiku pasti akan bisa lebih fokus mencapai apa yang ku inginkan. Ponsel memang penggoda terbesar dalam hidup anak-anak muda.
Batinku masih berteriak memanggil nama Sulu. Kata Jalaluddin Rumi, apa perlunya teriakan bagi yang mampu mendengar bisikan. Tapi, apakah Sulu mampu mendengar dan merasakan batinku yang berkecamuk ini? Apa dia pernah memikirkan betapa sulitnya hari-hariku? Apa dia tahu apa saja kesialan-kesialan yang kurasakan semenjak aku pulang waktu itu? Semoga dia memiliki semacam kontak batin denganku.
Oh Sulu... Kata rindu memang tak pernah telat untuk hadir di pikiranku, rindu terlalu rajin dan berambisi untuk mewujudkan sebuah temu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penunggang Kuda Tanpa Suara
RomanceGenre : Dark-Romance Terkadang, mengungkapkan cinta dengan lidah membuat semuanya menjadi mudah. Bagaimana jika cinta itu tak pernah terungkapkan dengan kata-kata?