Bab Sembilanbelas

74 36 18
                                    

Sepagian ini Sulu dan aku berjalan-jalan menyusuri savana sambil menuntun kuda putihnya dengan tangan kananya. Matahari secara malu-malu menampakkan dirinya dengan menyebarkan sinar-sinar hangat di sekitar savana.

Entah kenapa savana sangat sepi pagi ini. Seolah memberi ruang khusus untuk kami berdua. Dan satu lagi, aku tidak tahu kenapa senyumku tidak pernah menghilang sejak kemarin malam. Tapi, aku juga ingin menangis seketika itu juga.

"Sulu, aku masih tidak percaya kalau kau ada disini bersamaku," ucapku keras-keras.

"Benarkah?" Tanyanya dan aku hanya mengangguk, "Lalu, siapa lelaki yang berjalan bersamamu kemarin itu?"

"Siapa?" Ku coba untuk mengingat-ingat siapa yang berjalan bersamaku kemarin, lalu aku teringat seseorang, "Oh itu, dia Alan temanku sewaktu SMA, kami tidak sengaja bertemu,"

"Sebenarnya aku selalu cemburu ketika mendapati dirimu bersama orang lain, tapi aku mencoba bersikap dewasa, dan berpikir kalau kalian hanya teman," kemudian Sulu tersenyum paksa. Dan aku sangat merasa bersalah karena menyadari kalau dia menyimpan luka dibalik senyumanya.

"Maafkan aku, aku tidak pernah berniat untuk mendekatinya, tapi aku pikir dia juga tidak sengaja bersamaku saat itu. Jadi, intinya disini aku adalah yang bersalah dan aku sungguh minta maaf," ucapku penuh penyesalan.

"Tidak apa-apa. Aku tahu kalau wanitaku adalah seseorang yang setia," katanya sembari merangkul pundakku.

"Setidaknya, seberapa lama penantianku sudah mencerminkan seberapa besar kesetiaanku kepadamu," Gerutuku.

"Berhentilah pamer," guraunya.

"Allia!!!" Tiba-tiba Alan berteriak dari jauh sambil berlari ke arahku. Dan Sulu melepaskan rangkulanya ketika Alan sudah dekat.

"Ada apa?" Tanyaku.

"Apa kau mau meluangkan waktumu untuk sekedar bercengkrama denganku nanti sore?" Tanyanya seolah memohon.

Aku melihat mata Sulu yang menunduk, dia pasti sedang bersedih. Dan aku merasa tidak enak dengan Sulu. Aku ingin menolak ajakan Alan. Tapi, aku tidak cukup tega untuk mencampakkanya didepan orang lain. Aku tahu dia punya harga diri yang cukup tinggi. Aku yakin dia hanya ingin memastikan jawabanku atas pertanyaanya waktu itu nanti sore.

"Emm... aku pikir-pikir dulu, aku takut kalau tiba-tiba ada kesibukan," jawabku.

"Baiklah, aku berharap kau punya waktu," kemudian dia berlalu.

Aku melihat wajah Sulu lagi,  "Apa kau keberatan kalau aku menemuinya nanti sore?"

"Tidak. Tentu saja tidak. Kau boleh bercengkrama dengan pria manapun. Aku percaya padamu Allia," dia menepuk pundakku beberapa kali lalu lagi-lagi memaksakan senyumnya didepanku.

"Kalau kau tidak suka aku tidak akan menemuinya,"

"Temui saja dia, pasti ada hal penting yang ingin dia sampaikan,"

Sampai detik ini rasa kagumku tidak pernah berhenti atas apa-apa yang Tuhan ciptakan didalam diri Sulu. Dia begitu bijak dan baik hati. Mau memberiku pilihan dan kepercayaan yang utuh. Diam-diam aku berteriak didalam hatiku dan berjanji kalau aku tidak akan pernah mengecewakan Sulu. Karena aku mencintainya.

Penunggang Kuda Tanpa SuaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang